Dibandingkan emak-emak istri tukang batagor, seorang presiden lebih takut pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Sebab itulah salah satu indikator penting berhasil-tidaknya pemerintah. Apalagi, sejarah kejatuhan pemerintahan di Indonesia adalah sejarah lonjakan harga-harga, terutama harga pangan pokok.
Saya lebih sreg menggunakan frasa “mengendalikan inflasi” dibandingkan “menjaga stabilitas harga”.
Saya khawatir khalayak pahami istilah stabilitas harga sebagai harga tetap, bukan sebagai persen selisih antara harga patokan dengan rata-rata pergerakan harga pada tingkat yang dapat ditoleransi.
Harga tidak mungkin konstan. Inflasi (sesekali deflasi) adalah keniscayaan.
Pertama karena tidak ada perekonomian yang sanggup menjadikan semua kebutuhan pokok sebagai administered price.
Kedua, tidak ada pemerintahan yang sanggup menjaga administered pricetanpa penyesuaian dalam kurun waktu tertentu.
Tugas pemerintah adalah mengendalikan fluktuasi harga agar tidak menembus persentase yang jadi patokan dan mengendalikan inflasi bulanan dan tahunan pada tingkat yang wajar (misalnya 4 persen plus/minus 1).
Inflasi yang terlampau tinggi akan menyebabkan peningkatan pendapatan nominal rakyat keteter mengimbangi laju harga riil kebutuhan hidup.
Sementara fluktuasi harga yang tidak terpola akan menyulitkan industri dan rumah tangga melakukan perencanaan keuangan, baik untuk investasi atau untuk konsumsi.
Soal prestasi mengendalikan inflasi, kita harus jujur memberikan kredit kepada Pemerintahan Jokowi dan Bank Indonesia.
Tingkat inflasi dalam 3 tahun ini (2015, 2016, 2017) belum ada yang tembus angka 4 persen. Bandingkan dengan kondisi 2013 dan 2014 yang di atas 8,3 persen.
Bicara pemerintahan Jokowi berarti bicara kementerian terkait seperti Kemendag, Kemenperin, Kementan, hingga Kementerian Kelautan.
Ya, berterima kasihlah kepada mereka. Tetapi jangan berlebihan juga agar mereka tidak melupakan sejumlah pekerjaan rumah yang mendesak untuk dibenahi.
***
Artikel ini tidak dibuat untuk menyanyikan puja-puji atau melitanikan cemooh kepada pemerintah. Saya hanya hendak memberi masukan sebagai orang awam, siapa tahu ada benarnya dan sedikit berguna.
Saya tidak bicarakan inflasi umum, melainkan fokus pada pengendalian harga pangan pokok karena sejumlah alasan.
Pertama, setahu saya harga pangan pokok sering menjadi pemicu tingginya tingkat inflasi.
Pada 2014 misalnya, lebih dari 40 persen tingkat inflasi disumbangkan oleh harga bahan pangan, pangan olahan dan tembakau (3,37 persen dari tingkat inflasi 8,36 persen).
Dalam beberapa tahun terakhir, hanya pada 2017 komponen bahan makanan jadi kontributor terkecil terhadap tingkat inflasi.
Sejak November 2017 hingga Februari 2018 ini, kenaikan harga pangan kembali jadi kontributor terbesar.
Kedua, mayoritas rakyat Indonesia miskin. Pengeluaran terbesar rumah tangga miskin adalah pada belanja pangan.
Maka ketika harga pangan naik, tingkat kesejahteraan rakyat juga tergerus signifikan.
Gara-gara ini, sumbangan garis kemiskinan makanan (GKM) terhadap garis kemiskinan masih yang paling besar.
***
Ada banyak produk perundang-undangan yang mengamanatkan pengendalian harga pangan pokok kepada pemerintah.
UU 18/2012 tentang Pangan menetapkan kewajiban pemerintah untuk mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan pangan pokok, dan distribusi pangan pokok.
UU 7/2014 tetang perdagangan menugaskan pemerintah dan pemda untuk mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok di seluruh wilayah NKRI.
Dalam kondisi yang mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah wajib menjamin menjamin pasokan dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok.
Pengendalian ketersediaan dilakukan oleh pemerintah melalui peningkatan produktivitas pertanian pangan nasional dan pembelian oleh BULOG.
Jika oleh sebab tertentu produksi nasional tidak mencukupi, pemerintah membuka keran impor.
Pengendalian harga dilakukan dengan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi.
Berdasarkan penetapan harga ini, BULOG melakukan operasi pasar murni (OPM) dengan menggelontorkan cadangannya ke pasar.
Selama ini kebijakan operasi pasar murni yang berasal dari impor (terutama beras) dipandang merugikan petani.
Kritik dan kekhawatiran banyak pihak ini beralasan tetapi bisa juga berlebihan.
Impor beras memang seharusnya langkah akhir ketika produksi beras nasional terganggu.
Impor juga perlu dilakukan sangat hati-hati agar tidak sampai menyebabkan kelebihan pasokan yang berdampak pada turunnya harga beras di tingkat petani.
Tetapi tuduhan bahwa operasi pasar murni hanya akan merugikan petani kadang kurang berasalan.
Mayoritas petani pangan, terutama padi dan jagung adalah juga net consumerketika off-season.
Di musim panen, petani menjual beras atau Jagung pada harga rendah, berkisar HPP. Ketika musim paceklik tiba mereka harus membeli kembali pada harga tinggi, kadang tiga kali lipat dari harga jual.
Operasi Pasar Murni BULOG untuk menekan harga pangan eceran di tingkat konsumen juga membantu petani sebab saat off-season ketersediaan pangan pokok telah berada di tangan pedagang sementara petani telah berstatus konsumen.
Tetapi salah timing dalam operasi pasar, apalagi jika bersumber pada impor memang berisiko memukul harga di tingkat petani.
Ada dugaan bahwa tingginya harga eceran di tingkat konsumen disebabkan struktur pasar yang monopsoni di hulu dan monopoli di hilir.
Hanya ada segelintir pedagang besar di tiap-tiap provinsi yang menguasai perdagangan pangan. Para pedagang besar ini berpeluang melakukan praktik kartel harga.
Pemerintah bisa saja memaksakan harga eceran tertingi beras BULOG yang disalurkan melalui para pedagang eceran dalam operasi pasar murni.
Tetapi hal ini sulit dilakukan untuk perdagangan normal, ketika pangan, terutama beras yang dipasarkan pedagang eceran berasal dari pedagang besar.
Untuk menyiasati ini, hemat saya pemerintah perlu menerobos langsung ke hulu.
Pembelian beras dari petani perlu diambil alih dari rantai panjang yang dikuasai para pedagang besar, dan garda depan pengendalian pasokan dan harga perlu diserahkan ke lembaga lokal di tingkat terkecil, tidak bisa hanya mengandalkan BULOG.
Ada beberapa persoalan yang tidak selesai jika hanya mengandalkan BULOG.
Pertama, pengadaan beras BULOG sering tidak efisien. Pengangkutan dari desa-desa sentra produksi pangan menuntut biaya.
Oleh pemenang lelang pengadaan pangan BULOG, biaya ini dibebankan kepada petani di hulu sebab pengendalian harga di tingkat produsen menggunakan acuan HPP di gudang Perum BULOG.
Sebaliknya operasi pasar di tingkat konsumen membutuhkan biaya pengangkutan dari gudang subdivre Bulog, terutama ke pasar-pasar di pedalaman. Biaya pengangkutan ini, sebagaimana diatur Permentan, membebani APBD.
Kedua, karena tersentral di divre dan subdivre, penggelontoran beras operasi pasar murni sering terlambat.
Meski Tim Pengendalian Inflasi ada hingga tingkat kabupaten/kota, sebagaimana ditetapkan Keppres 23/2017, pengambilan keputusan tidak terindarkan dari kecenderungan kelembaman birokrasi.
Operasi pasar murni juga sering tidak menjangkau pasar-pasar kecamatan, berdampak pada luputnya orang-orang desa dari manfaat operasi pasar.
Ketiga, pengadaan pangan pokok oleh BULOG tidak menyelesaikan problem disparitas harga antara musim panen dan musim paceklik yang dialami petani.
BULOG membeli pangan pokok dari petani di saat musim panen saat harga berada di tingkat terendah. Ketika musim paceklik tiba, petani adalah net consumersdan harus membeli pangan pada harga pasar off-season.
Meski disparitas harga beli (HPP) dan jual (HET) pangan oleh BULOG tergolong tipis (pada 2017, disparitas HPP panen raya dan HET off-season beras hanya sekitar Rp 2.000,- atau di bawah 25%), kenyataan di pasar, disparitas yang dihadapi petani lebih tinggi dari harga acuan resmi.
Keempat, operasi pasar oleh BULOG menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan pokok masyarakat menjadi monokultur beras.
Meskipun Perpres 48/2016 atau peraturan sebelumnya, jagung termasuk dalam pangan pokok yang pencadangan untuk ketahanan pangan ditugaskan kepada BULOG, dalam kenyataan jarang dijumpai BULOG melakukan operasi pasar di saat harga jagung pangan melonjak.
Di Timor pada 2016 lalu, berdasarkan survei pasar yang saya lakukan ketika menjadi business consultant subsektor pascapanen jagung untuk sebuah proyek negara pasifik.
Harga eceran Jagung di tingkat konsumen dapat mencapai Rp 12.000 per Kg, sementara harga pembelian di tingkat petani saat musim panen hanya Rp 3.000 – Rp 4.000 per Kg.
Biasanya petani di Timor telah kehabisan persediaan jagung di tingkat rumah tangga pada bulan Oktober, dan baru akan panen lagi di bulan Maret-April.
Sepanjang Oktober hingga Februari, harga jagung bergerak dari Rp 7.000/Kg hingga Rp 12.000/Kg. Sepanjang masa itu, saya tidak menjumpai adanya operasi pasar murni untuk jagung yang diselenggarakan oleh BULOG.
Pengistimewaan beras dalam operasi pasar berdampak pada berubahnya pola konsumsi pangan pokok menjadi monokultur beras.
Dalam jangka panjang hal ini mengacaukan upaya mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Kedaulatan dan ketahanan pangan hanya akan terwujud jika pola konsumsi pangan pokok sesuai dengan potensi lokal.
Berdasarkan empat poin kelemahan dari kebijakan pengendalian harga pangan yang bersandar kepada operasi pasar oleh BULOG, saya menyarankan agar pemerintah memikirkan alternatif kelembagaan stabilitas pasokan dan harga pangan pokok melalui Bumdes berbentuk Lumbung Desa.
Modelnya bisa meniru Sistem Resi Gudang (SRG) yang pernah dikembangkan dahulu.
Kelemahan SRG dahulu adalah gudang yang berkapasitas sangat besar, hanya satu dan terletak jauh dari sentra produksi pangan.
Hal ini yang menyebabkan gudang-gudang mangkrak dan SRG tidak dimanfaatkan petani pangan.
Jadi, kegagalan SRG bukan terletak pada business model-nya, tetapi pada lokasi yang jauh dari sentra produksi dan kapasitas gudang yang terlampau besar.
Sistem ini akan berhasil jika gudang-gudang itu dipindahkan ke tingkat desa. Artinya SRG yang dahulu merupakan kerjasama Disperindag-PT Pertani-Bank BRI dan gagal itu, direplikasi ke tingkat desa dengan Lumbung Desa berformat Bumdes sebagai ujung tombaknya.
Dengan memindahkan ujung tombak kelembagaan pangan di tingkat desa, berbagai kelemahan sistem berujung tombak BULOG sebagaimana saya uraikan di atas dapat diminalisir.
Ketika musim panen, petani dapat menyimpan pangan ke lumbung desa dan mendapatkan pinjaman berbiaya murah dengan agunan resi gudang.
Ketika paceklik, petani dapat mencairkan simpanan pangannya dengan membayar harga penyimpanan yang lebih rendah dibandingkan disparitas harga pangan panen-paceklik di pasar umum.
Dengan cara itu, BULOG cukup menjaga pasokan dan harga pangan bagi masyarakat perkotaan. Untuk masyarakat desa, yang sebagian besar adalah petani, biarlah mereka mengurus mandiri melalui Lumbung Desa berformat BUMDes.
***
Artikel by Tilaria Padika