Keharusan berperang melawan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) tak membuat pemerintah kehilangan keseimbangan perhatian. Setelah lima tahun «paceklik», tahun ini petani padi mendapatkan kabar baik.
Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah atau Beras, menaikkan HPP gabah/beras.
Kebijakan itu mengubah HPP gabah/beras dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. HPP naik 13,5 hingga 14,1 persen.
Sudah lama ada desakan agar pemerintah merevisi HPP. Alasannya, situasi saat ini jauh berbeda ketika Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 disahkan.
Harga input produksi terus naik. Bahkan, secara riil, kenaikan harga input lebih gesit daripada kenaikan harga output atau hasil pertanian. Jika harga gabah/beras tidak dinaikkan, pendapatan dan kesejahteraan petani akan tetap rendah dan kian merosot.
Menurunnya kesejahteraan petani tidak hanya terjadi karena digerogoti kenaikan harga input, tapi juga akibat dirampok inflasi.
Hal ini tecermin dari harga pokok produksi gabah kering panen (GKP), yang berdasarkan hasil survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI) serta Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani), mencapai Rp 4.500-4.532 per kilogram.
Selain itu, patokan HPP yang tak disesuaikan tersebut menyulitkan Bulog dalam pengadaan gabah/beras dari produksi domestik. Sejak 2015 dan bahkan tahun-tahun sebelum itu, tingkat harga beli Bulog lebih rendah dari harga pasar.
Fleksibilitas harga 10 persen dari HPP tak menolong pengadaan karena, lagi-lagi, harga beli Bulog masih lebih rendah dari harga pasar. Inilah yang membuat pengadaan beras Bulog selalu meleset: pada 2015-2019 hanya menyerap 54,8 hingga 82,3 persen dari target.
Secara teoretis, kenaikan HPP gabah/beras bakal memperbaiki pengadaan beras Bulog di hulu. Namun, melihat realitas harga di pasar saat ini, perbaikan pengadaan ada kemungkinan tidak terlalu signifikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, secara nasional harga GKP rata-rata di tingkat petani pada Maret 2020 mencapai Rp 4.936 per kilogram, jauh di atas HPP baru. Padahal musim panen raya (Maret-Mei) merupakan momentum terbaik bagi Bulog untuk memupuk pengadaan.
Produksi pada periode ini mencapai 60-65 persen padi nasional. Jika momentum ini terlewatkan, akan sulit bagi Bulog untuk mendapatkan beras. Sebab, pada panen gadu (Juni-September) dan paceklik (Oktober 2020-Februari 2021), harga beras lebih tinggi lagi.
Saat ini di gudang Bulog ada 1,42 juta ton beras. Sebanyak 1,36 juta ton merupakan cadangan beras pemerintah yang didominasi beras sisa impor sebesar 0,74 juta ton.
Kualitas beras sisa impor pada 2018 itu akan menurun seiring dengan berjalannya waktu. Karena itu, agar beras tidak rusak dan disposal 20 ribu ton beras seperti akhir 2019 tak terulang, stok ini perlu diperbarui dengan beras segar. Caranya, pemerintah menugasi Bulog menjadi pemasok beras untuk bantuan sosial buat korban pandemi Covid-19.
Pemerintah telah menyiapkan sejumlah paket kebijakan dan bantuan untuk menghadapi Covid-19. Nilainya Rp 405,1 triliun, dengan Rp 110 triliun di antaranya diperuntukkan bagi jaring pengaman sosial.
Program Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) atau Kartu Sembako, misalnya, ditujukan bagi 20 juta keluarga. Setiap keluarga mendapatkan Rp 200 ribu per bulan selama sembilan bulan.
Kebutuhan beras untuk program BPNT selama April-Desember sebesar 1,8 juta ton, dengan asumsi satu keluarga mendapatkan 10 kilogram beras. Jika separuh dari kebutuhan ini dipasok Bulog, lembaga ini bisa mengurangi stok lama di gudang.
Pada saat yang sama, keluarnya beras dari gudang Bulog berpotensi menekan harga beras di level konsumen yang cenderung terus naik akhir-akhir ini. Harga beras naik karena penggilingan padi banyak memperoleh pesanan dari pemerintah daerah untuk keperluan bantuan sosial.
Stabilnya harga beras akan membuat harga gabah stabil. Ini memberikan peluang bagi Bulog untuk memperbesar pengadaan dari produksi dalam negeri. Membaiknya pengadaan beras dari produksi domestik bakal memperkuat cadangan beras pemerintah. Langkah ini amat penting sebagai antisipasi peluang terjadinya krisis beras saat paceklik nanti.
Indonesia tidak bisa berharap banyak dari beras impor seperti tahun-tahun lalu. Selain harganya mahal, negara produsen dan eksportir utama beras, seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar, sudah membatasi, bahkan menutup, keran ekspor.
Jadi, seperti mendayung dua-tiga pulau terlampaui, cara ini menyelesaikan sejumlah soal: stok lama Bulog diganti baru, harga beras lebih stabil, dan pengadaan Bulog membaik.
Penulis : Khudori
Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1342053/bantuan-sosial-pandemi-dan-beras-bulog/full&view=ok