beras padi bagus

Beras, Komoditas Strategis Politis

Berbicara beras pasti tidak akan ada habisnya. Mulai dari data hingga sampai persoalan teknis di sawah. Sehingga, masalah perberasan hingga petani yang mengusahakan selalu menjadi topik hangat untuk dibahas di meja-meja rapat hingga ruang publik.

Mengapa..? Ya, karena beras merupakan kebutuhan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia. Stigma “kalau belum makan nasi belum kenyang” memang tetap melekat di penduduk Indonesia sampai sekarang. Andaikan tidak ada lauk pauk dan sayur mayur, nasi tetap enak dimakan walau hanya dicampur kecap sama garam.

Dengan alasan ini, gonjang-ganjing terhadap beras selalu menjdi isu yang sexy untuk diperbincangkan. Saya disini tidak untuk mengulas kasus per kasus, namun lebih kepada menyegarkan ingatan publik.

Bahwa isu beras kalau tidak ditangani oleh orang atau lembaga yang benar-benar paham, akan menjadi bola api liar yang tidak bisa ditebak arahnya. Enak kalau bola biasa yang tidak akan memakan korban, namun bola api liar tentu akan menyebabkan kerusakan dimana-mana.

Salah satu isu hangat yang sudah diketahui publik, seperti proses penggerebekan pabrik beras PT IBU di Bekasi. Gonjang-ganjing banyaknya pihak yang tidak berkompeten telah membuat isu ini menjadi liar kemana-mana.

Masing-masing pihak memberikan statement, saling mengkonfirmasi hingga saling meluruskan. Walau akhirnya, semua menjadi “clear” dengan adanya kejelasan kasus hukum dari Polri.

Tidak kalah hebohnya adalah soal peraturan Permendag yang mengatur harga beras tunggal yang sama di setiap Provinsi. Protes para pedagang berdatangan, hingga akhirnya membuat Kemendag mengurungkan niatnya untuk memberlakukan Permendag yang sudah mereka buat.

Namun, akhirnya semua “selesai” juga. Permendag terbaru akhirnya mengakomodir semua aspirasi yang ada. Ketentuan zonasi harga antar Provinsi hingga pembedaan kualitas medium dan premium termaktub disana.

Berkaca dari dua tahun sebelumnya tepatnya tahun 2015, dimana terjadi polemik impor beras. Perbedaan pandangan pemerintah yang tajam terjadi antara Presiden, Kementan dengan Wapres Jusuf Kalla.

Waktu itu Presiden dan Kementan berpegangan dengan data produksi diatas kertas yang mengatakan Indonesia surplus. Sedangkan Wapres JK berpegangan dengan data real kondisi lapangan sebenarnya yaitu stock pemerintah yang ada di gudang-gudang BULOG yang tersebar di penjuru negeri.

Akhirnya polemik tersebut selesai juga dengan endingnya impor beras. Karena menurut JK, pemerintah tidak mau berjudi dan mengambil resiko terhadap komiditi beras.

Jika pasokan beras tak mencukupi kebutuhan, maka harga beras akan melonjak sehingga potensi meningkatnya kemiskinan semakin besar.

Pemerintah selalu mengambil risiko yang agak pesimis, karena pemerintah tidak mau menanggung apapun. Namun keputusan tersebut semuanya bisa kita rasakan sekarang. Tidak ada kerusuhan yang terjadi, tidak ada pergolakan dan perekonomian tetap jalan dan tumbuh.

pangan beras raskin bulog

Beras Komoditas Powerfull

Beras selalu dianggap sebagai komoditas strategis yang dominan dalam ekonomi Indonesia. Ya tidak lain dan tidak bukan, beras adalah makanan pokok 250 juta rakyat Indonesia. Komoditas ini selalu berkaitan erat dengan kebijakan moneter dan menyangkut masalah sosial politik.

Kebijakan moneter yang dalam hal ini dilakukan Bank Indonesia, sangat berkepentingan dengan komoditas beras. Mengapa …?  karena beras merupakan salah satu faktor pemicu kenaikan harga kebutuhan lainnya jika harganya tidak dikendalikan. Ibarat kereta, beras adalah lokomotif yang mengendalikan harga bahan pangan lainnya.

Harga beras dalam bobot harga sembilan bahan pokok (sembako) masih menduduki posisi antara 60-65%. Namun, dalam bobot 150 jenis barang dan jasa yang biasa digunakan untuk mengukur biaya hidup secara umum dan laju inflasi, beras menduduki posisi sekitar 23%.

Artinya juga disini, kebijakan moneter akan menjadi sia-sia jika kestabilan harga pangan tidak tercapai. Penarikan uang dari masyarakat untuk mengendalikan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga, adalah senjata andalan Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan moneternya.

Oleh karena itulah, dalam Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Bank Indonesia selalu melibatkan lembaga BULOG untuk turut serta dalam mengambil langkah kebijakan.

Kelangkaan beras di negeri ini akan mengakibatkan kestidakstabilan politik  dan ekonomi. Begitupun juga sebaliknya, walaupun ada beras tetapi harganya mahal juga dapat menimbulkan potensi kerusuhan. Orang tidak bisa berpikir rasional lagi jika perutnya terasa lapar.

Mereka akan mengamuk secara membabi buta, berdemonstrasi ke jalan-jalan hingga membakar gedung-gedung pemerintahan dan swasta sehingga dapat kita bayangkan jika ini terjadi secara nasional di daerah-daerah.

Keadaan inilah yang pernah terjadi di Indonesia akibat tingginya harga beras sehingga mengakibatkan mundurnya para pemimpin bangsa di negeri ini.

Mengingat beras merupakan komoditas strategis dan politis, maka pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri harus selalu terpenuhi.

Pemenuhan kebutuhan barang lainnya mungkin bisa ditahan, tetapi khusus untuk beras merupakan sebuah pengecualian, disebabkan beras merupakan kebutuhan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia.

Orang belum merasa kenyang jika belum makan nasi, tetapi jika ada nasi walaupun tanpa lauk pauk nasi masih tetap enak untuk dimakan.

Isu kecepatan laju pertambahan penduduk Indonesia yang mencapai 1,3-1,5% per tahun, harus diimbangi dengan laju pertambahan produksi padi. Hal ini dimaksudkan agar Negara merasa aman untuk dapat memenuhi kebutuhan makan rakyatnya.

Tetapi kenyataannya, justru setiap tahun diperkirakan laju alih fungsi sawah hampir 100 ribu hektar dan kemampuan pemerintah mencetak sawah baru hanya 30 ribu hektar per tahun. Keadaan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk memikirkan fakta tersebut.

beras bulog padi

Filosofi Beras

Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin, dikenal sebagai sebagai pemakan nasi dalam jumlah besar. Awalnya, kultur makan beras hanya pada sebagian penduduk Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi.

Sementara itu, masyarakat Nusa Tenggara, Maluku dan Papua berkultur makan umbi-umbian, sagu dan sukun. Namun sejak “revolusi hijau” 1970-an, kultur makan beras masuk sampai pedalaman papua.

Selama empat dekade terakhir, terjadi diversifikasi kultur menyantap karbohidrat. Sayang pergeseran kultur lebih kuat mengarah ke gandum, dalam bentuk mi dan roti, bukan jagung atau umbi-umbian.

Kita tidak perlu berkaca terus kebelakang, karena masalah di depan mata sudah menanti. Menurut  para pengamat pertanian, kita semua berperan dominan dalam membuat keadaan masyarakat hingga sangat ketergantungan terhadap beras.

Pertama dengan menjadikan beras sebagai komoditas politis, perhatian terhadap beras melebihi dari proporsi yang seharusnya dan secara tidak langsung ini menjadikan komoditi lain menjadi inferior, kurang bergengsi untuk mengkonsumsinya.

Kedua, berbagai program sebelumnya, seperti pengadaan beras untuk pegawai negeri dan penanggulangan kelaparan dan raskin, makin memasyarakatkan konsumsi dan ketergantungan masyarakat terhadap beras dan menutup peluang pengembangan komoditas substitusinya.

Namun, semua permasalahan itu bisa diatasi jika masing-masing pihak yang berkompeten duduk satu meja dan meninggalkan ego sektoral masing-masing. Perlu ada lembaga baru yang menjadi penghubung antara kebijakan satu Kementerian/Lembaga dengan Kementerian/Lembaga lain.

Andaikan Badan Pangan Nasional sudah terbentuk, maka kemungkinan besar berbagai polemik yang terjadi selama ini tidak akan terjadi. Overlapping kebijakan satu dengan kebijakan yang lain juga tidak akan terdengar.

Polemik data produksi, konsumsi yang melahirkan impor sedikit demi sedikit akan sirna. Intinya adalah sesuai dengan pepatah “serahkan pada ahlinya” kalau memang negeri ini akan maju dan Berjaya.