transisi kebijakan bulog
Source : Heryunanto Kompas ID

BULOG dalam Tiga Transisi Kebijakan

Tanggal 10 Mei 2022 BULOG genap berusia 55 tahun atau umur setengah baya bagi manusia. Kebijakan perberasan dan manajemen pangan pokok nasional sedang berada pada masa transisi ketiga.

Masa transisi pertama terjadi di awal Orde Baru sampai semakin mapannya kebijakan stabilisasi harga pangan pokok dan strategis.

Masa transisi kedua terjadi pada awal otonomi daerah dan perubahan status Badan Urusan Logistik (BULOG) dari Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) menjadi BUMN berbentuk perusahaan umum (perum).

Masa transisi ketiga terjadi setelah BULOG tak lagi mengurus beras untuk keluarga miskin (raskin) dan kehadiran Badan Pangan Nasional (BPN) dan BUMN Holding Pangan ID-Food.

Jika BULOG mampu melewati masa transisi ketiga secara baik, peran BULOG dalam ketahanan pangan nasional masih dapat diandalkan.

Teknokrasi Kebijakan Stabilisasi

Pertama, pada masa Orde Baru kebijakan perberasan sangat mengandalkan BULOG sebagai lembaga parastatal langsung oleh negara. Proses transisi dari ideologi revolusi ”pangan urusan hidup-mati suatu bangsa” menjadi ideologi teknorasi dan kebijakan ekonomi berlangsung sekitar 15 tahun.

Kebijakan harga dasar (floor price) dan harga atap (ceiling price) jadi acuan utama. BULOG sangat aktif melakukan pengadaan (baca: pembelian) gabah petani, menggiling dan menyimpannya di gudang di hampir seluruh Indonesia.

BULOG juga aktif mengelola stok beras nasional, termasuk melakukan operasi pasar jika harga eceran beras sangat tinggi. Fluktuasi harga beras masih dapat dibenarkan sepanjang berada pada rentang batas harga dasar dan harga atap tersebut.

Tak berlebihan untuk dikatakan, BULOG juga berkontribusi pada pencapaian swasembada beras pada 1984, karena kebijakan ”sabuk harga” itu menjadi insentif positif bagi petani dalam meningkatkan produksi dan produktivitasnya, sekaligus melindungi konsumen dari lonjakan harga yang terlalu liar.

Kebijakan perberasan ini dianggap berada pada tingkat kemapanan yang kuat. Pemerintah merasa enggan melakukan perubahan kebijakan, walaupun di lapangan mulai banyak deviasi.

Governansi kebijakan lebih sering bermasalah, perburuan rente lebih sering terjadi, perselingkuhan politik sering mewarnai kebijakan, hingga bersenyawa dengan krisis finansial Asia 1998, berujung krisis politik Indonesia dan kejatuhan Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi.

Berbisnis Tugas Layanan Publik

Kedua, pada masa Reformasi, kebijakan perberasan mengalami perubahan drastis karena Indonesia menganut desentralisasi ekonomi atau otda.

Ekspektasinya, kinerja perberasan dan penyediaan pangan akan lebih baik jika diserahkan urusannya pada daerah. Desain otda mengalihkan kewenangan pusat kepada daerah, kecuali untuk urusan keuangan, pertahanan, kehakiman, agama, dan luar negeri, lalu menyusul urusan pertanahan. Banyak pihak berupaya melakukan eksperimen sendiri untuk mendesain dan melaksanakan kebijakan pangan nasional.

BULOG lalu hanya memiliki mandat untuk mengurus beras, tapi bukan komoditas pangan lain. BULOG terbentur keterbatasan kewenangan birokrasi bahkan untuk melaksanakan operasi pasar karena kewenangan daerah lebih besar.

Pada 2003, pemerintah mengubah status BULOG menjadi BUMN berbentuk perum. Untuk sementara, BULOG terselamatkan dari kekuatan politik yang menumpang Reformasi, termasuk kekuatan asing, yang mencoba membubarkannya.

Persoalan beras dan pangan secara umum ikut bertransformasi ke tingkat yang lebih kompleks. Kasus gizi buruk dan gizi kurang muncul ke permukaan dan banyak daerah tidak siap menanggulanginya karena merasa bukan kewenangannya. Pada 2007, pangan lalu dijadikan urusan wajib bagi seluruh pemda, walaupun urusan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan lain-lain masih menjadi urusan pilihan.

Ketika dunia mengalami krisis pangan global pada 2008, Indonesia masih berada dalam lindungan Allah SWT karena musim hujan sangat bersahabat, produksi beras cukup baik, dan harga beras cukup stabil.

Kondisi pangan di banyak negara dilanda krisis hebat dan menyulut demonstrasi besar- besaran dan menjatuhkan pemerintahan di Filipina, Haiti, Mesir, Aljazair, dan lainnya.

Di masa transisi kedua ini, bisnis komersial BULOG tak begitu berkembang dan lebih banyak mengandalkan penugasan pelayanan pemerintah (PSO) sebagai sumber penerimaan perusahaan. BULOG aktif melaksanakan program raskin.

Akan tetapi, pelaksanaan raskin di lapangan tak lepas dari masalah enam tepat (jumlah, harga, kualitas, waktu, sasaran, administrasi), karena melibatkan simpul birokrasi dan jaringan yang tidak dapat dikontrol langsung oleh BULOG.

Transformasi Bisnis Modern

Ketiga, pada masa Kabinet Kerja, BULOG diberi mandat untuk menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen sejak 2016. Akan tetapi, BULOG tak dilengkapi dengan pilar-pilar ketahanan pangan yang telah roboh satu per satu sejak masa Reformasi.

BULOG tak mampu ditrasformasi menjadi suatu bisnis pangan kelas dunia dan menjadi state-trading enterprise yang disegani di tingkat global, baik karena faktor eksternal, maupun internal birokrasi yang cukup membebani.

Program raskin diubah menjadi bantuan pangan non-tunai (BPNT) dan dilaksanakan oleh Kementerian Sosial secara penuh sejak 2019. Akibatnya, BULOG jadi kehilangan sumber outlet utama dari tugas manajemen stok beras dan stabilisasi harga yang menjadi tanggung jawabnya.

Banyak beras di gudang BULOG jadi turun mutu dan rusak karena tak dapat disalurkan secara cepat sehubungan dengan mekanisme penjualan dan distribusi beras yang belum mengalami perbaikan.

BULOG pernah memperjuangkan untuk memperoleh diskresi untuk melaksanakan “penghapusbukuan” stok beras yang telah rusak tersebut, walaupun tidak semudah yang diperkirakan.

Transformasi bisnis modern BULOG masih berada di persimpangan. Di satu sisi, BULOG tetap ditugasi untuk menyerap gabah petani, walau dengan energi amat terbatas. Kasus kejatuhan harga gabah di tingkat petani kian mengkhawatirkan, apalagi kualitasnya tak memenuhi standar, terutama sejak 2021.

Di sisi lain, BULOG juga ditugasi untuk mengelola stok pangan nasional pada tingkat aman, setidaknya 1,5 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP), apalagi kondisi geopolitik global tidak menentu sekarang.

Pada saat yang sama, pemerintah juga mendirikan BUMN Holding Pangan atau ID-Food. Pemerintah juga mendirikan Badan Pangan Nasional (BPN) atau National Food Agency (NFA) guna merumuskan kebijakan pangan, melakukan koordinasi dan integrasi pelaksanaan kebijakan pangan nasional dan daerah, dan tugas-tugas pemerintah lain bidang pangan.

Sebagai penutup, penguatan kebijakan perberasan dan pembenahan aransemen kelembagaan ketahanan perlu dilakukan secara paralel sekaligus.

Pertama, perbaikan dan keberlanjutan usaha tani padi melalui inovasi dan perubahan teknologi menjadi hampir mutlak.

Kedua, penguatan kebijakan perberasan tidak hanya dari sisi suplai, tapi dari sisi permintaan dengan lebih serius melaksanakan diversifikasi pangan.

Ketiga, penguatan efektivitas kelembagaan BPN sebagai regulator kebijakan pangan harus dilakukan bersinergi dengan kementerian/lembaga (K/L) yang relevan, bersama para akademisi dan stakeholders pangan untuk memastikan kebijakan berbasis teknorasi (evidence-based policy) yang lebih beradab.

Bustanul Arifin – Guru Besar Universitas Lampung, Ekonom Indef, Ketua Umum PERHEPI

Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/05/09/BULOG-dalam-tiga-transisi-kebijakan