Bulog melelang 20,39 ribu ton beras yang rusak karena termakan usia pekan lalu. Beras yang semula bernilai ratusan miliar rupiah itu dibanting harganya minimal senilai Rp 23,7 miliar (Koran Tempo, 17 Desember 2019).
Pro-kontra mengiringi langkah Bulog mengeluarkan cadangan beras pemerintah (CBP) itu dari neraca beras. Sebagai barang yang tidak tahan lama, kualitas beras pasti akan turun seiring bertambahnya waktu simpan.
Dari sisi ini, pelelangan beras rusak adalah lumrah. Apalagi, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan CBP, beras yang disimpan lebih dari empat bulan atau mutunya turun harus dilepas.
Masalahnya memang tak sederhana. Sebagai badan usaha milik negara yang berusia lebih dari setengah abad dan telah malang-melintang mengurus aneka komoditas pangan penting, termasuk beras, Bulog diyakini memiliki kapasitas mumpuni dalam menyimpan beras.
Karena itu, kalau kemudian ada CBP yang rusak, bukan mustahil ada salah urus di tubuh Bulog. Kecurigaan ini masuk akal. Bulog belum sepenuhnya terbebas dari stigma buruk, di antaranya sebagai sarang korupsi, kongkalikong, dan moral hazard lain.
Namun langkah mencurigai kerusakan beras kali ini karena salah urus mesti ditimbang ulang.
Sejak tiga tahun lalu terjadi perubahan drastis dalam kebijakan perberasan. Subsidi yang semula bernama beras sejahtera (Rastra) diubah jadi bantuan pangan non-tunai (BPNT).
Perubahan ini membuat kebijakan perberasan, yang semula terintegrasi hulu-tengah-hilir, menjadi terfragmentasi.
Pada Rastra, di hulu, Bulog harus melakukan pengadaan (dengan menyerap beras produksi petani domestik pada harga yang ditetapkan pemerintah), mengelola cadangan dan mendistribusikan stok di tengah, serta menyalurkan beras (ke sasaran) di hilir.
Pada BPNT, tugas di hulu dan tengah masih ada tapi outlet penyaluran di hilir ditiadakan.
Baca juga : Mengembalikan Peran BULOG
Peralihan ini berdampak pada dua hal.
Pertama, Bulog kehilangan pasar tertawan (captive market) Rastra yang amat besar: 15,6 juta rumah tangga sasaran (RTS). Lewat Rastra, selama ini Bulog bisa menyalurkan beras dalam setahun mencapai 2,8-3,4 juta ton.
Ketika Rastra diubah jadi BPNT, penyaluran beras Bulog dalam bentuk bantuan sosial Rastra terus menurun: 2,54 juta ton pada 2017, 1,2 juta ton pada 2018, dan tinggal 350-an ton pada 2019.
Tahun depan dan seterusnya, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran bantuan sosial Rastra.
Di sisi lain, tugas Bulog di hulu dan tengah tak berubah. Ketika Bulog diwajibkan menyerap beras produksi domestik dalam jumlah besar, harus ada outlet penyalurannya.
Ketika Rastra diubah jadi BPNT, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras Bulog. Karena itu, sebetulnya tidak relevan menugasi Bulog menyerap beras produksi petani.
Tanpa penyaluran pasti, Bulog pelan-pelan akan bangkrut. Beras, selain menumpuk, akan turun mutunya seiring waktu. Saat ini di gudang Bulog tersimpan 2,3 juta ton beras. Seiring berjalannya waktu, kasus 20,39 ribu ton beras yang dibuang akan terus berulang.
Kedua, menceraikan Bulog dari BPNT sama halnya dengan memisahkan program itu dari kewajiban negara melakukan stabilisasi harga dan ketahanan pangan, seperti amanat konstitusi dan undang-undang.
Harga pangan sering bergejolak karena struktur dan mekanisme pasar masih jauh dari persaingan sempurna. Masih terbuka celah bagi sekelompok kecil orang untuk melakukan kartel dan persekongkolan guna mengatur volume, harga, dan wilayah distribusi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha belum kuasa menutup celah ini.
Baca juga : BULOG “Macan Logistik” Bukan “Ayam Sayur”
Menyerahkan pangan ke mekanisme pasar tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen pejal pada guncangan pasar.
Masalahnya, instrumen stabilisasi terbatas. Praktis tidak ada badan penyangga yang berkekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan.
Kehadiran Bulog, sekali lagi, adalah perwujudan misi suci negara untuk mengoreksi watak predatoris pasar, melindungi warga dari perilaku kuasa pasar yang cenderung mengisap, dan menempatkan negara pada posisi terhormat.
Untuk itu, pada tempatnya Bulog diberi penguatan, dari sisi kelembagaan maupun keuangan.
Bukan justru diperlemah dengan melucuti satu per satu tugas-tugas pelayanan publik untuk kemudian diserahkan ke pasar atau menelurkan kebijakan yang bersifat ad hoc, pragmatis, dan berubah-ubah secara cepat yang mempersulit adaptasi.
Dari sisi kelembagaan, majikan Bulog saat ini ada sembilan.
Masalahnya, kebijakan mereka sering kali tak segaris, bahkan bertolak belakang. Mana yang harus dilayani dan didahulukan?
Banyaknya majikan juga membuat keputusan sering kali lambat. Dari sisi anggaran, Bulog beroperasi menggunakan dana bank berbunga komersial.
Padahal Bulog menjalankan tugas-tugas pelayanan publik sebagai kepanjangan tangan negara.
Dalam banyak hal, tugas-tugas mendadak dari pemerintah juga tak ditopang dukungan anggaran.
Semua ini memperlemah misi suci negara sebagai penjamin hak atas pangan warga.
Jika ini dibiarkan, negara bisa menjadi tertuduh tunggal sebagai pelanggar hak atas pangan.
Artikel by Khudori
Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat