Akhir akhir ini banyak pihak menyangsikan kesanggupan BULOG untuk melakukan pengadaan beras sebanyak 4 juta ton pada tahun 2107. Mereka mulai membandingkan angka penyerapan tahun 2017 dengan tahun 2016. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut keluarlah statement yang menyatakan “ BULOG mandul”. Bahkan yang lebih “ekstreem” ada pihak yang menyarankan agar pemerintah mengambil langkah tegas dengan tidak memberikan kesempatan bagi jajaran direksi sekarang alias “diganti”.
Banyak pengamat baru lahir dan langsung berkomentar merupakan sebuah fenomena “baru” di tahun ini. Baru belajar sebentar, sudah mengelurkan statement yang bukan-bukan bahkan cenderung “memprovokasi” serta “memperkeruh” suasana. Negeri ini akan hancur kalau banyak komentator dadakan, sehingga pas lah kata-kata mutiara yang menyatakan bahwa “serahkanlah pada ahlinya” jika negeri ini akan aman damai sentosa, gemah ripah loh jenawi.
Beranjak dari kata-kata mutiara tersebut, pada bulan Mei tahun 2017 BULOG berusia emas atau 50 tahun. Sebuah angka yang tidak sedikit dan mungkin lebih tua dari umur para pengamat-pengamat dadakan tersebut. Sebelum mereka lahir, BULOG sudah dulu lahir dan mengurusi masalah pangan di negeri ini. Usia emas kalau kita ibaratkan usia pernikahan, merupakan usia yang sangat matang baik dalam berpikir maupun secara tindakan. Artinya kalau soal urusan pangan, kemampuan BULOG tidak perlu diragukan lagi.
BULOG memang dari tahun 1967 sampai dengan sekarang hanya mengurusi pangan dan tentu sangat ahli mengurusi bidang yang satu ini. Tidak perlu dan tidak usah diragukan lagi oleh pihak manapun. Negeri ini akan menjurus kepada kehancuran, jika urusan pangan diserahkan kepada lembaga yang bukan ahlinya. Jika pengamat banyak yang meragukan kemampuan BULOG, jawabannya sangat sederhana. Bayangkan lembaga seumur 50 tahun saja masih sedikit kesulitan, apalagi dengan lembaga baru yang seumur jagung ?
Lantas pertanyaannya sekarang adalah mengapa kinerja BULOG terutama penyerapan gabah beras tahun ini merosot jika dibandingkan tahun kemarin. Jika sampai dengan bulan Mei 2016 BULOG sanggup menyerap 2,6 juta ton tapi pada bulan Mei tahun 2017, BULOG cuma sanggup menyerap 1 juta ton. Sehingga keluarlah statement yang menyatakan “ BULOG mandul” karena kinerja tersebut.
Jika kita analogikan secara sederhana, siapakah yang bisa memastikan bahwa tahun ini akan sama hasilnya dengan tahun kemarin. Hidup hari inipun, semua orang tidak bisa memastikannya. Apalagi kita tidak bisa memastikan cuaca atau iklim diluar sana, perlakuan penggunaan saprodi, harga yang terbentuk, hingga motivasi petani supaya tetap sama seperti tahun sebelumnya. Pengamat-pengamat sosial ekonomi pertanian dan agribisnis seharusnya sangat paham, bahwa yang namanya penelitian lapangan/sosial variabel luar yang mempengaruhi tidak bisa di kontrol. Sehingga, masing-masing daerah mempunyai ke khasan sendiri dan memiliki problem yang tentu berbeda dari tahun ke tahun. Berbeda dengan penelitian di laboratorium ataupun rumah kaca dimana faktor atau variabel penggangggu bisa dikendalikan atau dikontrol. Sehingga sangat tidak tepat jika pengamat selama ini membandingkan tahun sekarang dengan tahun sebelumnya sebagai indikator kemandulan, namun jika digunakan sebagai referensi bisa dimaklumi.
BULOG sekarang merupakan BUMN berbentuk Perum, bukanlah BULOG yang dahulu yang mempunyai wajah LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian). Yang namanya perusahaan, dia pasti dituntut agar memberikan sumbangsih kepada negara dalam bentuk keuntungan. Semua kegiatan perusahaan baik itu keuntungan atau kerugian harus dipertanggung jawabkan. Sehingga BULOG sekarang napasnya harus memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari setiap gerak-geriknya.
Masalah utama yang dihadapi BULOG tahun 2017 ini adalah wacana penghapusan rastra manjadi BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), dimana BPNT ini berbasis “free market” atau yang lazim dikenal dengan istilah “mekanisme pasar”. Dimana tergantung kekuatan penjualan dan pembeli untuk mennetukan harga. Pihak manapun bisa sebagai penyedia tidak hanya BULOG. Sehingga, pengadaan beras BULOG tidak ada jaminan outlet untuk penyalurannya. Ironisnya lagi, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) pada tahun 2016, mensinyalir bahwa 12 Provinsi di Indonesia terindikasi praktik kartel beras.
BULOG pada tahun 2017 dituntut untuk menyerap beras petani sebanyak 4 juta ton. Stock akhir tahun yang dimiliki BULOG pada Desember 2016 adalah sebanyak 1,7 juta ton. Jika target pengadaan diawal tadi sebanyak 4 juta ton, maka jika ditambah stock akhir 1,5 juta ton maka stock total adalah 5,7 juta ton. Sekarang pertanyaan besarnya adalah stock tersebut mau dikemanakan jika rastra diganti dengan BPNT ?…
Apakah disimpan terus digudang seperti ikan atau daging beku yang tahan lama ? atau seperti makanan kaleng yang tahan beberapa tahun tanpa terkontaminasi bakteri ? dan perlu kita ingat dan ketahui bersama bahwa beras merupakan makhluk hidup yang melakukan proses biologi, kimia serta fisika, sehingga jika terlalu lama disimpan akan rusak dan turun mutu.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab oleh banyak pengamat atau stakeholder yang mempunyai tugas sama dalam menjaga kedaulatan pangan. Inilah problem utama BULOG yang membuat perusahaan ini menjadi “galau”, sehingga patut kita garis bawahi bersama bahwa kerugian BULOG merupakan kerugian negara juga.
Solusi konkret yang dapat diambil, andaikan pemerintah tetap bersikukuh untuk mengganti rastra dengan BPNT adalah mencarikan outlet baru. Sebenarnya tidak sulit, pemerintah tinggal mengubah kebijakan saja, yang mana para PNS, TNI dan Polri yang selama ini mendapatkan jatah beras diganti uang untuk dikembalikan kembali menjadi beras. Alasannya sangat sederhana, swasembada beras yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi dalam waktu tiga tahun merupakan tanggung jawab bersama bukan hanya BULOG. Sehingga ada kewajiban, para aparatur negara untuk turut serta mesukseskan program yang sudah dicanangkan tersebut.
Jika semuanya paham dan mengerti tentu tidak akan lagi timbul pertanyaan dan permasalahan seperti sekarang ini. BULOG tetap dapat menyerap gabah beras petani, sehingga harga gabah beras di tingkat petani tidak jatuh dan petani mengalami kemiskinan. Tetapi di sisi lain BULOG sebagai BUMN tetap dapat melaksanakan operasional perusahaannya, untuk turut serta menciptakan pertumbuhan ekonomi di Negeri ini dengan mendapatkan jaminan outlet penyaluran pengadaan berasnya.
Solusi dengan mewajibkan PNS dan TNI/POLRI untuk mengambil beras ke BULOG sebenarnya jalan tengah yang adil atau “win-win solution” serta bersifat harus atau mutlak. Ketimbang mengganti jajaran direksi BULOG, untuk mencari “kambing hitam” pihak mana yang paling bersalah terhadap permasalahan yang terjadi. Tentu kalau kita urutkan, pihak yang paling lemah dalam masalah ini adalah BULOG yang berbentuk BUMN, karena terlalu riskan jika Presiden mencopot seorang Menteri yang juga membidangi masalah ini.
Artikel by Julkhaidar Romadhon
*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya
Ketua Alumni Pasca Sarjana Agribisnis Universitas Sriwijaya