Buwas dan Bulog saat mendekati Ramadan

Rumor tentang penggantian Direktur Utama Perum Bulog sudah jadi bahan perbincangan sejak dua minggu lalu. Dalam rumor itu, nama Budi Waseso–yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN)–disebut-sebut sebagai kandidat Dirut.

Rumor itu terbukti benar. Berdasar Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-115/MBU/04/2018, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) resmi mengangkat Budi Waseso sebagai Dirut Perum Bulog, menggantikan Djarot Kusumayakti.

Bersamaan dengan penggantian Dirut Perum Bulog, Kementerian BUMN juga mengganti Direktur Keuangan Bulog yang semula dijabat oleh Pardiman–digantikan oleh Triyana. Sedangkan Ketua Dewan Pengawas Bulog, yang semula dijabat oleh Sudar Sastro Atmojo, diganti oleh Teten Masduki–mantan Kepala Staf Kepresidenan.

Dari sejumlah komentar yang muncul di media, publik tampak mengapresiasi pengangkatan Budi Waseso, yang biasa dipanggil Buwas, sebagai Dirut Perum Bulog. Hal itu hampir bisa dipastikan terkait dengan citra Buwas yang terpatri dalam ingatan publik sebagai pemimpin yang tegas dan berani.

Hal serupa itu pula yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo perihal pengangkatan Buwas. “Kita perlu orang yang tegas, orang yang berani, orang yang jujur, orang yang memiliki rekam jejak dalam mengelola Bulog,” kata Presiden.

Bagi publik, latar belakang Buwas dalam menangani mafia pungutan liar di Bareskrim Polri dan mafia narkoba di BNN dianggap akan mampu menjadi modal yang baik untuk membongkar mafia pangan yang sering mempermainkan ketersediaan dan harga pangan.

Bagi Buwas sendiri, jika benar mafia pangan itu ada, maka hal itu menjadi tugasnya untuk menertibkan. “Kalau seandainya ada, itu tugas saya. Harus ditertibkan. Kalau tidak tertib, mana sampai? Kita bersihkan. Kalau perlu, disingkirkan. Disingkirkan,” katanya.

Bulog mempunyai tiga tugas publik. Pertama, pembelian gabah dan beras petani dalam negeri dengan bersandar kepada ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Kedua, penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam program Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Bansos Rastra).

Ketiga, penyediaan dan penyaluran beras untuk menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana, dan rawan pangan.

Tugas publik Bulog yang ketiga itu, dalam bahasa Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro, “pengelolaan stok pangan serta bahan pangan lainnya di luar beras.”

Tugas-tugas itu memperlihatkan betapa banyak aspek yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya melulu terkait dengan kejahatan mafia pangan.

Salah satu isu krusial dalam pengelolaan stok pangan adalah data yang valid mengenai produksi pangan. Data yang valid akan sangat menentukan langkah penyerapan produksi pangan dan pengelolaan stok pangan oleh Bulog.

Namun, kita tahu, data produksi maupun konsumsi pangan selalu menjadi polemik. Akurasi dan validitas data seringkali dipertanyakan. Hal itu sangat terlihat dalam polemik impor beras awal tahun lalu.

Tingkat penyerapan gabah dan beras dari petani oleh Bulog pun bukan hanya dipengaruhi oleh data tersebut. Ketentuan HPP tak jarang membuat penyerapan Bulog atas gabah dan beras dari petani menjadi rendah.

Terutama sekali apabila petani mendapat penawaran harga yang lebih tinggi dari pihak swasta ketimbang HPP yang ditentukan oleh pemerintah.

Dalam Inpres No 5 Tahun 2015 HPP gabah kering panen Rp 3.700, gabah kering diling Rp 4.600 dan beras Rp 7.300 per kilogram. Sampai bulan April lalu, Pemerintah membolehkan Bulog menyerap gabah petani dengan harga 20 persen di atas HPP.

Sangat tidak masuk akal jika Bulog dituntut untuk menyerap gabah dan beras dari petani dengan ketentuan HPP mana kala harga pasar yang ditawarkan kepada para petani melampaui HPP. Tuntutan semacam itu akan mendesak Bulog untuk memaksa petani tidak menikmati kesejahteraan yang lebih baik.

Namun, jika Bulog terus menerus kalah oleh pihak swasta dalam menyerap produksi pangan, bagaimana Bulog bisa mengelola dan menjaga stok pangan nasional serta menjaga stabilitas harganya?

Itu baru satu urusan. Beras saja. Belum terkait bahan pangan lainnya.

Hal lain yang juga sempat disampaikan Dirut Bulog sebelumnya, belitan peraturan di berbagai kementerian dan lembaga membuat Bulog harus meliuk-liuk. Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori, menyatakan bahwa ‘atasan’ Bulog–9 kementerian dan lembaga–sering membuat bulog menjadi lamban dan kurang responsif.

Tampaklah, bahwa tugas Buwas sebagai Dirut Bulog sangat kompleks. Bukan melulu soal ketegasan dan keberanian melawan mafia pangan saja.

Publik pasti sangat berharap Buwas bisa belajar dengan cepat segala sisik melik terkait tugas Bulog. Apalagi Ramadan sudah sangat dekat, yang biasanya diwarnai dengan persoalan stok dan stabilitas harga pangan.

Selamat bekerja, Pak Buwas.

Yayan Sopyan via beritagar.id