Buwas dan Tantangan Baru BULOG

Penunjukan Budi Waseso sebagai Direktur Utama Perum Bulog telah memutuskan spekulasi siapa pucuk pimpinan baru Bulog.

Akhir spekulasi ini penting untuk memastikan seluruh jajaran Bulog dalam bekerja dan mengemban tugas-tugas penting yang sudah menunggu di depan mata.

Seperti yang disampaikan Kementerian BUMN, Buwas-panggilan Budi Waseso, yang berkarakter tegas, tidak kompromi, pernah memimpin organisasi yang kompleks (BNN dan Bareskrim Polri), dan kaya pengalaman permukaan, diharapkan bergerak Bulog.

Tak ada yang salah dengan alasan itu. Yang pasti, karena tanggung jawab yang menjadi tanggung jawab utama Bulog adalah hal baru, Buwas harus banyak belajar dan menyerap banyak informasi, baik dari internal maupun stakeholder pangan lainnya. Persoalan pangan sangat kompleks, bahkan multikompleks.

Melibatkan banyak pelaku. Sering kali yang terjadi, berada di luar urusan Bulog. Pangan juga berhubungan dengan pasar.

Karakter pasar pangan sangat sensitif. Kebijakan yang menciptakan ketidakpastian baru harus dihindari. Diperlukan keluwesan dalam bekerja dan bertindak.

Ramadan tinggal beberapa hari lagi, sementara saat ini harga-harga pangan masih bertahan tinggi. Presiden Joko Widodo agar harga pangan turun menjelang Ramadhan belum mencapai.

Sebagai nakhoda baru Bulog, Buwas tidak punya kemewahan berlama-lama belajar. Dia harus segera mengonsolidasikan tim dan memetakan masalah yang bermasalah.

PR pastikan pasokan dan menstabilkan harga pangan sebelum dan saat Ramadhan perlu segera dilakukan. Tidak bisa menunggu.

Karena itu di level eksekutif, pergantian dirut hanya diikuti per periode direktur keuangan. Agar tugas-tugas yang terkait dan stabilisasi harga makanan, tetap berjalan seperti yang ada.

Di luar perlunya memahami keamanan dengan seluruh bagian, yang paling krusial adalah fokus untuk mengubah Bulog yang berubah. Ini memungkinkan agar ia bisa bekerja optimal.

Pertama, kewajiban pelayanan publik.

Beras untuk rakyat miskin (raskin) yang berubah jadi rastra atau beras sejahtera, secara bertahap diganti jadi bantuan pangan nontunai (BPNT). Jangkauan BPNT menyebar dari 1,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pada 2017 menjadi 10 juta KPM pada Agustus 2018.

Jumlah ini membuat jumlah penerima rastra dimin drastis: dari 14,2 juta rumah tangga tinggal 5,4 juta. Akumulasi, kuota penyebar rastra berkurang drastis, dari 2,5-3 juta ton pada 2017 tinggal 960.000 ton pada Agustus 2018.

Pengurangan itu membuat portofolio PSO yang dilalui Bulog cuma tinggal sepertiga.

Sejalan kebutuhan pemerintah untuk mengubah semua bantuan jadi transfer tunai Secara bertahap, tahun-tahun berikutnya jumlah PSO itu akan terus menyusut dan hanya menyisakan daerah-daerah 3T: tertinggal, terpisah, dan terluar. Saat itu terjadi rastra hanya tinggal cerita.

Bagi Bulog, itulah yang jadi genting karena tugas-tugas PSO selama ini menyita hampir menyeluruh energi BUMN itu.

Ketika tugas-tugas PSO dikempiskan, agar tetap eksis, mau tidak mau Bulog harus mengembangkan dan bisa bertumpu pada usaha komersial sendiri.

Masalahnya, kebijakan peme­rin­tah yang bersifat ad hoc, pragmatis, dan berubah-ubah da­lam tempo amat cepat, mem­buat manaje­men sulit beradaptasi, apa­lagi harus mengem­bangkan usaha ko­mersial.

Meskipun telah dirintis sejak puluhan ta­hun lalu, divisi ko­mersial belum bisa jadi andalan. Mungkin baru 15% dari selu­ruh usaha Bulog.

Lewat BPNT dan bantu­an sosial rastra, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang dalam setahun bisa mencapai 2,5-3,4 juta ton.

Karena itu, jadi tidak relevan dan tidak logis menu­gas­kan Bulog me­nye­rap gabah/ beras pro­duksi pe­tani domes­tik, se­perti yang di­wajibkan peme­rin­tah saat ini.

Akan dike­ma­nakan beras se­rapan do­mes­­tik itu? Beras se­lain ber­sifat bulky  juga mu­dah rusak. Tanpa outlet  pe­nya­luran yang je­las dan pasti, me­nugas­kan Bulog menye­rap ga­bah/beras pe­tani bisa dipas­ti­kan bakal mem­buat BUMN ini pelan-pelan bang­krut. Buwas mesti me­mahami betul hal ini.

Baca juga : Momentum Tepat Merombak BULOG

Kedua, tugas Bulog se­makin luas.

Menurut Perpres 48/ 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, Bulog tidak hanya ber­tugas menjaga keter­sedia­an pangan, tapi juga harus menga­mankan harga di tingkat produsen dan kon­sumen.

Cakupan pa­ngan yang ditangani di­per­luas, yaitu beras, jagung, dan ke­de­lai, serta (bersama BUMN lain bisa me­nangani) gula, minyak goreng, bawang merah, terigu, cabai, da­ging sapi, daging ayam, dan telur ayam.

Bidang usa­ha tak hanya logistik, tapi juga di­per­luas ke produksi, per­da­gang­an dan jasa, serta industri berbasis pangan.

Beras, kedelai, jagung, gula pasir, daging sapi, tepung terigu, dan minyak goreng bukan hal baru bagi Bulog.

Sementara cabai, bawang merah, daging ayam ras, dan telur ayam merupakan komoditas baru.

Sepanjang era Reformasi, Bulog pernah men­dapatkan penugasan mena­ngani pangan di luar beras, seperti daging sapi, bawang merah, dan kedelai.

Namun, penugasan itu sifatnya hangat-hangat tahi ayam. Pemerintah ribut saat harga melonjak ting­gi. Setelah harga turun, peme­rintah lupa dan penugasan ditiadakan.

Selain itu, penugasan baru kepada Bulog untuk men­stabil­kan harga pelbagai pangan itu mengabaikan dua instrumen penting: harga (atas dan bawah) dan cadangan.

Tanpa peng­atur­an harga (atas dan bawah) dan cadangan, menstabilkan harga pangan sulit dilakukan, bah­kan se­suatu yang amat muskil.

Itu artinya, meskipun tugas PSO terkait beras pelan-pelan telah ditiadakan, Bulog tetap dibebani fungsi-fungsi sosial yang menyangkut kepen­ting­an dan pelayanan publik, sesuatu yang tidak masuk akal.

Bagai buah simalakama, si­tuasi ini membuat mana­jemen Bulog berada pada posisi ser­ba­salah.

Bila fungsi-fungsi sosial bisa dipenuhi, manajemen ba­kal menuai pujian. Masalah­nya, menunaikan fungsi-fungsi sosial itu potensial mem­buat Bulog merugi, bah­kan bangkrut dalam jangka pan­jang.

Sebalik­nya, jika ma­najemen abai pada fungsi-fungsi sosial, dan lebih meng­urusi fungsi komersial, maka Bulog bakal menuai ke­caman publik (juga pemerin­tah).

Mendayung di antara dua situasi sulit itu membuat kursi yang diduduki Buwas amat panas: tiap saat bisa diganti.

Diganti bukan semata karena tak becus, tapi karena kebijak­an pemerintah yang membuat me­reka terjerat situasi ser­ba­sulit.

Penulis KHUDORI