petani gurem

Di Luar Impor Beras yang Gagal

Produksi beras nasional tahun 2021, sesuai data yang dirilis Badan Pusat Statistik, cukup menggembirakan. Sebab, meski luas panen padi turun 141.950 hektar dari 10,66 juta hektar tahun lalu menjadi 10,52 juta hektar tahun ini, produksi beras justru berpotensi naik, yakni dari 31,33 juta ton menjadi 31,69 juta ton.

Kenaikan itu, antara lain, ditopang oleh produktivitas lahan yang cenderung naik karena hujan yang cukup melimpah sepanjang tahun ini.

Selain fenomena La Nina yang membuat kebutuhan pengairan tercukupi, serangan hama tanaman relatif tidak ganas sehingga tidak signifikan mengganggu produksi tahun ini.

Situasi itu memupus kekhawatiran pemerintah yang sebelumnya berencana mengimpor 1 juta ton beras pada 2021. Sebanyak 500.000 ton di antaranya akan dialokasikan untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan sisanya untuk kebutuhan Perum Bulog.

Dengan demikian, pemerintah bisa mengantongi setidaknya 1-1,5 juta ton cadangan beras (iron stock) dan cukup berwibawa untuk mengintervensi pasar.

Rencana impor yang ”bocor” saat rapat kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3/2021), itu segera menyulut reaksi publik. Kalangan petani menyesalkannya karena rencana impor tersiar di tengah puncak panen tahun ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen dan produksi padi nasional tahun 2021 mencapai puncaknya pada Maret, yakni dengan 1,79 juta hektar dan produksi 9,67 juta ton gabah kering giling (GKG).

Wacana impor pun riuh di ruang publik. Penolakan datang dari sejumlah kalangan. Tak hanya petani, protes juga datang dari sejumlah akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan kepala daerah.

Impor diyakini bakal menekan harga gabah dan kesejahteraan petani. Presiden Joko Widodo akhirnya ”turun tangan”, Jumat (26/3/2021), dengan memastikan tidak akan mengimpor beras setidaknya hingga Juni 2021. Presiden meminta perdebatan soal impor diakhiri karena merugikan petani.

Tiga bulan kemudian, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memastikan pemerintah tidak akan mengimpor beras tahun ini.

Sebab, BPS memperkirakan produksi beras tahun 2021 akan lebih tinggi dibandingkan dengan 2020, sementara stok beras nasional diyakini akan mencukupi kebutuhan.

Petani tertekan

Terlepas dari kepastian itu, polemik impor semestinya bisa dihindari jika keputusan diambil dengan pertimbangan yang kokoh.

Jika menilik data produksi beberapa tahun terakhir, keputusan impor 1  juta ton semestinya tidak perlu ada, apalagi sampai menguras energi untuk berpolemik di ruang publik.

Sebab, produksi beras mencapai 33,9 juta ton tahun 2018, lalu 31,31 juta ton pada 2019, dan 31,33 juta ton tahun 2020, selalu di atas kebutuhan nasional yang rata-rata 29 juta ton per tahun.

Situasi harga juga tidak mencerminkan kekurangan pasokan sehingga mendesak kebutuhan impor. Apalagi, ada anomali yang terjadi hampir dua tahun ini, yakni kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP).

BPS mencatat, kasus harga gabah di bawah HPP terjadi 19 bulan berturut-turut hingga Oktober 2021, situasi yang jarang terjadi sebelumnya. Hal itu mengindikasikan ketidakseimbangan pasar sekaligus tertekannya kesejahteraan petani padi.

Oleh MUKHAMAD KURNIAWAN

Sumber : Kompas.id