Harga eceran tertinggi (HET) beras, biasanya dipakai pemerintah sebagai standar bagi BULOG untuk melakukan intervensi pasar. Namun, sekarang seakan menjadi rancu tafsirannya.
HET beras yang dibungkus dengan peraturan, seakan digunakan oleh pemerintah sebagai acuan harga penjualan di tingkat konsumen. Artinya, pedagang atau pengusaha tidak boleh menjual melewati harga yang sudah ditetapkan pemerintah di dalam peraturannya.
Pada titik itulah yang pada akhirnya menimbulkan kontroversi dan menuai kritik dari berbagai pihak. Ada yang mengatakan bahwa pemerintah ingin menyamakan dengan BBM dan listrik yang harganya bisa diatur (administrated price).
Ada juga yang berpendapat bahwa justru pemberlakuan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada beras akan memberi dampak negatif ke petani. Bila harga jual beras di tingkat konsumen sudah diatur, maka yang akan ditekan adalah harga gabah beras ditingkat petani.
Akibatnya, harga jual bisa jatuh dan yang paling parah, petani malas untuk menanam padi dan menggantinya dengan tanaman lain. Sehingga produksi beras dalam negeri bisa menjadi berkurang.
Lalu pertanyaan publik sekarang, mengapa pemerintah akhir-akhir ini semakin ngotot untuk memberlakukan HET beras. Padahal tahun-tahun sebelumnya, tidak seheboh seperti yang terjadi sekarang ini.
Apa alasan kuat pemerintah dibalik kengototannya itu ? Apa faktor pendorongnya ? Apakah tidak ada cara lain, selain pemberlakuan HET beras ?
Pada tulisan ini, saya akan mencoba mengupas sisi lain pemberlakuan HET beras oleh pemerintah. Kaitannya dengan Program Bantuan Pangan Non Tunai dan pengadaan beras yang dilakukan oleh BULOG.
Masalah ini akan saya coba kaitkan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang seperti terdapat rangkaian benang merah yang sama.
Upsus Swasembada dan HET
Pemerintah Jokowi dan JK tiga tahun yang lalu telah berkomitmen untuk mewujudkan swasembada pangan. Bahkan, Presiden Jokowi sempat berucap, jika tidak tercapai target tersebut maka dia sendiri yang akan mencopot langsung Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
Pada awal pemerintahan, tepatnya tahun 2015 mega proyek swasembadapun berlangsung. Program yang bertajuk Upaya Khusus (upsus) swasembada pangan resmi diberlakukan. Dimulai dari pengadaan bibit dan pupuk gratis diberikan kepada petani tanpa melalui tender, digelontorkannya bantuan alsintan serta infrastruktur, dilakukannya perbaikan irigasi hingga sampai menggandeng pihak TNI dan civitas akademika untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Tidak tanggung-tanggung dana yang digelontorkan, menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution hampir 50 Triliun. Namun apa dinyana, ternyata usaha keras yang dilakukan tidak sejalan dengan jumlah beras yang diserap oleh BULOG.
Pada akhir bulan Juni 2015, BULOG hanya sanggup menyerap 1,2 juta ton dari target yang telah ditetapkan sebanyak 4 juta ton. Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka dicarilah akar permasalahannya. Akhirnya, keterlambatan penyerapan beras ditimpakan sepenuhnya kepada BULOG.
Semua orang tahu, dalam hal ini BULOG merupakan lembaga yang paling lemah karena berbentuk BUMN dibanding lembaga lain yang langsung dibawah menteri. Maka, Direksi BULOG yang saat itu baru saja menjabat sekitar empat bulan langsung dicopot.
Itulah pergantian pimpinan di BULOG yang tercepat dalam sejarahnya. Keadaan ini sebenarnya secara tidak langsung dinilai publik sebagai bentuk pengkambing hitaman, untuk menyimpulkan bahwa kinerja BULOG lah yang bermasalah.
Apa yang didapat ketika manajemen BULOG diganti ? apakah kita langsung bisa swasembada dan dapat menyerap beras petani sebanyak 4 juta ton ? Jawabannya tidak.
Pada akhir tahun 2015, ternyata stock beras yang dikuasai belum masuk kategori aman 2 juta ton, oleh karena itu impor beras tetap dilakukan. Walaupun pada waktu itu, semua pihak yang terlibat Upsus Swasembada seperti TNI dan Kepolisian berkomitmen untuk membantu BULOG menambah stoknya hingga tercapai 2 juta ton pada akhir tahun.
Impor beras inipun menemui jalan terjal. Terjadi perdebatan antar pemerintah sendiri. Selisih paham terjadi antara Wapres Jusuf Kalla yang mantan Kepala BULOG dengan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Wapres JK menginginkan impor beras dilakukan untuk menjaga ketahanan stock, namun Mentan bertahan dengan data produksi beras diatas kertas yang mengatakan surplus.
Presiden Jokowi ternyata lebih menuruti apa yang diutarakan oleh JK, ketimbang menuruti Mentan Amran Sulaiman yang baru menjabat waktu itu. Impor beras akhirnya dilakukan BULOG atas izin Menteri Perdagangan, Rahmat Gobel menjelang akhir tahun 2015 hingga awal tahun 2106.
Pada tahun 2017 ini, kasus seretnya pengadaan BULOG seperti tahun 2015 terulang kembali. Pengadaan BULOG walau masa panen raya sudah lewat belum memenuhi target. Hanya 44 persen saja, yaitu sekitar 1,64 juta ton pada akhir Agustus.
Baca juga : Melempemnya Pengadaan Beras BULOG
Keadaan ini semakin membuat bingung Kementan yang memang tupoksinya mengurusi sisi produksi. Kegamangan ini semakin menjadi ketika manajemen BULOG sudah diganti, dana yang digelontorkan sudah semakin besar namun hasilnya semakin belum kelihatan, padahal tahun inilah janji Presiden untuk menepatinya.
Secara kebetulan atau tidak maka kegamangan tersebut terjawab dengan penggerebekan kasus beras PT IBU. Kasus ini seolah-olah menjadi jawaban bahwa inilah akar permasalahannya. Ada mafia pangan besar yang bermain dalam tataniaga beras tanah air.
Publik pun semakin bertanya, kenapa tidak dari tahun 2015 dilakukan penggerebekan. Mengapa baru tahun ini ? en toh, perusahaan ini sudah lama didirikan. Akankah kasus ini akan menjadi kambing hitam, penyebab kegagalan mencapai swasembada tahun ini ?
Rekam jejak digital menunjukkan, bahwa penggerebekan dilakukan karena PT IBU menjual harga diatas HET. Anggota DPR Komisi IV yang mebidangi masalah pangan dan pertanian Ichsan Firdaus menilai, bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam mengintervensi pasar menjadi penyebab utama terjadinya penggerebekan dan tudingan pidana terhadap PT IBU.
Ia mengatakan, sejatinya pemerintah bisa melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga beras eceran yang terlalu tinggi. Namun, tindak dan tudingan pidana seharusnya tidak perlu dilakukan.
BPNT dan Pengadaan BULOG
Pemerintah tetap bersikukuh untuk menerapkan program BPNT tahun 2018. Walaupun banyak pihak yang meragukan keberhasilannya serta didukung dengan bukti di lapangan. Kemensos begitu percaya dirinya, bahwa persoalan yang menerpa pada uji coba di 44 kota bisa diatasi pada tahun 2018.
Selain itu pula, tambah menjadi aneh lagi ketika pemerintah negeri ini sudah mengetahui kelemahan BPNT terbesar yaitu tidak bisanya mengontrol harga pangan. Justru peningkatan inklusi keuangan yang dibangga-banggakan sebagai keunggulan BPNT, untuk menggantikan program rastra tahun depan.
Baca Juga : Harga Beras Terancam Tidak Stabil Akibat BPNT
Dalam rangka BPNT tahun depan sukses dilaksanakan, maka kelemahan yang merintangi wajib diselesaikan. Kelemahan utama yang sudah diketahui bersama yaitu tidak bisanya mengontrol kenaikan harga pangan. Oleh karena itulah pemerintah mencoba menggunakan formula baru yaitu dengan memberlakukan kebijakan HET.
Pedagang harus menjual produknya dibawah harga HET yang telah diberlakukan. Para pedagang yang melanggar kesepakatan peraturan HET akan dilakukan tindakan hukum dalam hal ini satgas pangan. Tindakan hukum yang dikedepankan inilah yang menimbulkan kontroversi dan menuai kritik dari banyak pihak.
Lalu pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengedepankan intervensi melalui BULOG dengan operasi pasarnya untuk melakukan stabilisasi harga pangan? Logikanya, dengan adanya program BPNT maka BULOG tidak lagi melakukan penyaluran beras miskin secara langsung kepada masyarakat.
Sehingga, tahun depan sudah bisa dipastikan beras yang akan dibeli BULOG tidak sebanyak pada tahun-tahun sebelumnya. Nah faktor inilah, yang melatarbelakangi pemerintah lebih mengedepankan HET beras daripada operasi pasar oleh BULOG.
Namun masalahnya, di pihak lain sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres), BULOG ditugaskan sebagai penyangga dan memelihara cadangan beras pemerintah. Sehingga diperlukan pengadaan stock beras untuk mengantisipasi kenaikan harga pangan.
Jika stock beras di gudang BULOG tidak dapat disalurkan, maka sudah pasti akan mengalami kerusakan dan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Nah masalah inilah yang menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution akan dibahas dan dibawa pada rapat kementerian.
Sebenarnya, selama ini sistem perberasan tanah air sudah tersusun sistematis dan rapi. Pengadaan beras yang dilakukan oleh BULOG sebanyak 4 juta ton, disalurkan untuk masyarakat miskin lebih kurang 230 ribu ton per bulan.
Terkadang setahun bisa disalurkan sebanyak 13 atau 14 kali, sehingga rata-rata raskin yang disalurkan sebanyak 3 juta ton. Sisa stock beras sekitar 1 juta ton, bisa digunakan pemerintah untuk melakukan intervensi pasar, gangguan bencana alam hingga persiapan masa panen tahun yang akan datang.
Pengadaan beras menggunakan harga HPP menjadi jaminan harga bagi petani agar gabah berasnya tidak mengalami kejatuhan. Selain itu juga, menjadi jaminan pasar bahwa gabah beras petani pasti akan dibeli oleh pemerintah.
Disisi lain, program raskin sebenarnya merupakan bentuk secara tidak langsung intervensi pemerintah terhadap harga beras di tingkat konsumen. Akan terjadi penurunan permintaan beras di pasaran umum, karena 15,8 juta RTS sudah mendapatkan jatah beras rastra. Kalau permintaan beras turun, maka otomatis harga akan menyesuaikan dengan sendirinya.
Oleh karena itu, sistem perberasan yang sudah tersusun rapi seakan menjadi rumit dengan program BPNT yang baru ini. Namun, semuanya tetap bisa berjalan asalkan antara Swasembada, HET, BPNT dan Pengadaan beras BULOG bisa diselaraskan atau disinergikan.
HET tetap dikembalikan filosofinya seperti dahulu, yaitu sebagai harga acuan pemerintah untuk melakukan intervensi. Sedangkan niat baik pemerintah melalui program BPNT bisa difungsikan seperti program raskin gratis. Dalam hal ini, masyarakat penerima tidak perlu membayar lagi namun tinggal digesek saja kartu BPNT nya.
Disisi lain, pembelian beras petani sebanyak 4 juta ton juga tidak perlu dikhawatirkan penyalurannya. Dengan terjadinya sinergi program maka pembelian beras petani tetap jalan, sedangkan pada sisi lainnya swasembada pangan yang telah dicanangkan oleh pemerintah dapat diwujudkan.
Artikel by Julkhaidar Romadhon