Budi Waseso benar-benar menunjukkan karakternya sebagai seorang fenomenal. Tidak mesti di sebuah lembaga yang mempunyai kewenangan penuh, dalam BUMN pun dia masih bisa menunjukan sebuah terobosan.
Baru satu minggu diangkat menjadi Direktur Utama Perum BULOG, Buwas panggilan akrab Budi Waseso sudah menelurkan ide brillian.
Dia menginginkan agar beras Bulog ada di setiap kantor kepolisian tingkat kecamatan atau polsek dan kantor TNI Koramil.
Hal ini bertujuan agar beras langsung dapat diakses masyarakat serta memastikan bahwa beras tidak dimainkan oleh para mafia pangan.
Untuk mendukung hal itu, Buwas akan mempersiapkan infrastruktur pendukung serta membuat nota kesepakatan dengan petinggi TNI dan Polri.
Sebuah pemikiran yang sangat sederhana dan langsung menuju sasaran. Itulah gambaran langkah terobosan yang telah diambil oleh Buwas.
Jika kita menelisik lebih jauh, ide tersebut tidak akan bisa dicetuskan oleh seorang pebisnis murni.
Terobosan itu, hanya bisa dilakukan oleh sosok yang mempunyai networking luas dan punya reputasi besar. Dan Buwas melakukannya. Ia tahu bahwa kelebihannya selama ini disitu.
Sebagai seorang yang dibesarkan di dunia Kepolisian, tentu hal biasa jika dia berhadapan dengan aparat pemerintahan.
Bahkan Kepala Kepolisian di daerah merupakan bagian dari unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). Sehingga unsur komunikasi dan koordinasi merupakan hal biasa yang dilakukan.
Kembali ke ide awal. Buwas sebenarnya tahu, bahwa Bulog di era nya sekarang tidak powerfull seperti Bulog di era Rizal Ramli (RR).
Di era RR, tanpa perlu perintah beras yang dikuasai oleh Bulog langsung dapat digelontorkan jika harga beras di sana terindikasi naik.
Waktu itu Bulog adalah lembaga yang langsung dibawah kendalu Presiden. Bulog selain berperan sebagai pembuat kebijakan (regulator) juga berperan sebagai operator (pemain).
Beras akan digelontorkan sebanyak banyaknya, hingga harganya tercapai stabil. Pengusaha yang sengaja menimbun barang, akan mengalami kerugian jika tidak segera melepasnya.
Oleh karena itulah, RR selalu mengatakan bahwa mana mungkin pengusaha mampu melawan pemerintah.
Bulog di era Buwas, sangat berbanding terbalik tiga ratus enam puluh derajat. Biasanya Bulog langsung lapor ke Presiden, sekarang atasannya adalah Menteri BUMN.
Bahkan atasan Bulog, hampir lebih dari sembilan Kementerian dan komisi di DPR yang membidangi masalah yang berbeda-beda.
Dengan berbentuk BUMN, maka segala kegiatan tentu memerlukan legalitas dari atasan. Mau menggelontorkan beras, mesti mendapat perintah dari Kementerian Perdagangan.
Administrasi yang lama dan panjang sudah pasti dilalui, namanya juga birokrasi. Keadaan inilah yang membuat terkesan pemerintah lambat dalam meredam gejolak harga beras. Akibat api sudah membesar baru mobil pemadam kebaran tiba di lokasi.
Itu baru satu contoh, masih banyak contoh lainnya. Seperti yang saya sebut diatas, bahwa Bulog memiliki sembilan atasan yang membawahi tugas berbeda beda.
Jadi semua tugas tersebut seakan berjalan lambat dan seperti kurang terkoordinasi. Sudah bukan rahasia umum, bahwa musuh terbesar pemerintahan kita sekarang adalah ego sektoral yang kuat.
Negeri ini belum mampu mengesampingkan kepentingan itu, karena akan berimbas kepada prestasi dan kinerja.
Apalagi semboyan yang digaungkan adalah kerja, kerja dan kerja. Ketika gagal maka akan timbul pertanyaan, apa yang sudah anda lakukan selama ini.
Ide Buwas diatas merupakan pancingan saja. Sebuah pemikiran yang brillian dan menerapkan ilmu reserse yang sangat ia kuasai.
Ia hanya ingin melihat bagaimana reaksi publik, terutama instansi Polri dan TNI jika tumpukan beras berada di kantor-kantor mereka.
Tentu pasti penuh sesak dan akan membuat ruang gerak menjadi terbatas. Belum lagi warga berduyun duyun untuk mengantri membeli beras.
Kantor TNI dan Polri akan menjadi penuh dan akan menambah daftar kerjaan baru bagi mereka.
Jika kita telisik lebih mendalam, sebenarnya Buwas sudah menyadari bahwa untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok tidaklah mudah.
Untuk mencapai hal itu, maka dibutuhkan dukungan dari semua pihak terutama pemerintah.
Buwas dengan idenya tadi, hanyalah ingin mengembalikan agar aparatur negara PNS, TNI dan Polri supaya kebutuhan berasnya tetap di supply oleh Bulog.
Mereka selama ini naturanya berupa uang, harus digantikan seperti dahulu yaitu jatah beras. Inilah salah satu cara yang ampuh, agar harga beras menjelang puasa dan lebaran tetap stabil.
Tidak hanya itu, masyarakat yang berduyun duyun mengantri di kantor Polsek dan TNI, juga ia ilustrasikan sebagai masyarakat miskin yang selama ini mendapat jatah beras rastra atau raskin.
Namun pada tahun ini justru membeli beras di pasaran karena diganti menjadi program bantuan pangan non tunai (BPNT).
Buwas memang ditempa menjadi abdi negara. Oleh karena itu, secara tidak langsung dia sudah menunjukkan bagaimana perlunya campur tangan pemerintah terhadap persoalan pangan di tanah air.
Jika kita cermati lebih dalam, jumlah masyarakat miskin yang menerima rastra ada sekitar 15.8 juta kepala keluarga.
Jika kita kalikan empat saja berarti ada 60 juta orang, yang perutnya sudah di jamin oleh negara. Lalu jika ditambah aparatur sipil negara, TNI dan Polri yang berjumlah 20 juta KK atau sekitar 80 juta jiwa juga mendapat jatah beras yang sama.
Maka bisa kita bayangkan harga akan menjadi stabil, karena hampir lima puluh persen kebutuhan pangan penduduk Indonesia sudah terpenuhi.
Apakah ini bisa terjadi. Jawabannya tentu sangat bisa. Dengan syarat jika didukung oleh berbagai pihak.
Bila dulu aparatur pemerintah mengeluhkan kualitas beras yang jelek, maka sekarang tidak lagi. Bulog sudah memiliki infrastruktur modern untuk menghasilkan kualitas beras yang sesuai dengan permintaan. Sehingga keluhan diatas tidak akan terjadi lagi.
Sebenarnya itulah cara yang paling ampuh untuk membuat harga kebutuhan pokok menjadi stabil. Karena, sudah dapat dipastikan, masyarakat yang membeli adalah mereka yang berpenghasilan rendah tidak terkecuali juga aparatur pemerintah.
Ide yang sangat brillian. Ibarat catur, Buwas sedang merancang strategi empat langkah ke depan. Tidak hanya itu, terkadang rencana tersebut terdiri dari beberapa strategi, plan a, plan b, bahkan sampai plan d. Rencana tersebut terkadang sifatnya memancing agar ada reaksi disetiap aksi yang dilakukan.
Semua langkah terobosan yang dilakukan oleh sosok seorang Buwas, terkadang sulit untuk dipahami oleh masyarakat awam.
Hanya orang yang telah mengenal lama karakter Buwas lah, yang mampu membaca tafsir itu. Lanjutkan pak Buwas, memang dunia pangan tanah air butuh sosok yang tegas dan tidak takut akan tekanan.
Artikel by Julkhaidar Romadhon via Kompasiana.com