sawah di flores

INDEF Nilai Badan Pangan Nasional Belum Tentu Jadi Solusi

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai Badan Pangan Nasional (BPN) yang baru dibentuk oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum dapat menjadi solusi dari sejumlah permasalahan pangan Indonesia seperti nilai tambah sektor pertanian yang masih kecil hingga impor komoditas pangan masih berlangsung.

“BPN ini apabila tetap dibentuk saya rasa tidak akan efektif jika sebagian kewenangannya masih ada di kementerian teknis. Jadi kesannya nanti hanya rebutan kewenangan,” ujarnya saat webinar yang digelar INDEF, Senin (30/08).

Lebih lanjut, Esther meyakini bahwa sejatinya apabila kementerian-lembaga teknis terkait pertanian dapat lebih dimaksimalkan fungsinya, maka Indonesia dapat mencapai swasembada pangan tanpa perlu adanya BPN. Hanya saja selama ini kinerja Kementerian terkait masih belum optimal.

“BPN bukan solusi untuk pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Seharusnya kementerian-kementerian teknis yang sudah ada ini dioptimalkan saja fungsinya. Sehingga kalau mereka dioptimalkan, maka di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian, saya yakin akan bisa mencapai swasembada pangan,” ujar Esther.

Tak hanya itu, menururtnya badan pangan tersebut berpotensi dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kementerian lainnya.

“BPN ini apabila tetap dibentuk saya rasa ya tidak akan efektif jika sebagian kewenangannya masih ada di kementerian teknis. Jadi kesannya nanti jadi rebutan kewenangan,” jelas Esther.

Untuk diketahui, BPN resmi dibentuk Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional per tanggal 29 Juli 2021. Badan ini akan fokus untuk penanganan pangan.

BPN memiliki tugas dalam koordinasi, penetapan kebijakan dan ketersediaan pangan, stabilisasi harga dan pasokan pangan, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan dan penyaluran cadangan pangan, pelaksana pengendalian kerawanan pangan, pembenihan hingga bimbingan teknis dan supervisi atas pangan.

Setidaknya ada sembilan pangan yang menjadi lingkup pemantauan, tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional, yakni: beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.

Esther menguraikan bahwa Indonesia memiliki sejumlah persoalan di sektor pangan seperti produktivitas rendah, petani yang unbankable, ketiadaan akses pasar dan kekuatan tawar yang menyebabkan petani menjual murah hasil taninya kepada tengkulak.

“Kalau lihat dari upah pekerja sektor pertanian, memang dibandingkan dengan sektor lainnya sektor pertanian upahnya masih relatif kecil, hanya sekitar Rp52 ribu per hari. Ini sangat kecil, maka tidak heran misalnya orang tua petani, anaknya tidak mau jadi petani,” ujar Esther.

Eshter menuturkan bahwa orang yang dapat bertahan di sektor pertanian adalah petani yang memiliki pekerjaan lain.

Adapun petani yang hanya menggantungkan hidupnya pada lahan sawah atau perkebunannya bertahan hidup dengan meminjam uang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai tiba waktu panen.

“Sebagian besar petani yang akan sustain, akan bertahan adalah petani yang punya pekerjaan sampingan. Katakanlah guru, PNS, mereka sambil mengajar mereka punya lahan pertanian. Jadi untuk makan sehari-hari mereka tergantung pada gaji bulanan, hasil panen untuk tabungan,” ujarnya.

Sejumlah masalah tersebut, jelas Esther, yang harusnya diselesaikan melalui peran pemerintah sehingga potensi sumber daya yang ada dimaksimalkan sebagai solusi permasalahan pangan nasional.

Sumber : https://www.gatra.com/detail/news/521203/ekonomi/indef-nilai-badan-pangan-nasional-belum-tentu-jadi-solusi