Tulisan ini berangkat dari pemberitaan di www.detik.com tanggal 7 Juni 2017 yang berjudul “Rastra diganti Bantuan Pangan Non Tunai, Hemat Rp 3,9 Triliun”. Hal ini disampaikan Mentan, Dr. Amran Sulaiman dalam Rapat Kerja Bersama di gedung DPR RI ketika mendapat pertanyaan mengenai kabar penyetopan Rastra selama 6 bulan.
Mentan menyatakan bahwa pemerintah memang sengaja menahan penyaluran beras RASTRA, untuk masyarakat tidak mampu sejak Januari untuk menyelamatkan para petani. Dikarenakan terjadi deflasi dan untuk menyelamatkan para petani, maka pemerintah menggantinya dengan menyalurkan bantuan tunai melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Ia mengumpamakan bahwa petani ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Sebagai seorang akademisi yang berkutat soal beras, saya mempunyai kewajiban untuk coba memberikan sedikit pencerahan agar ditemukan jalan terbaik terhadap polemik ini, dan syukur-syukur pemerintah membuka mata dan mau menerima dengan lapang dada.
Teringat saya ketika kuliah di semester pertamadi Program Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya, mata kuliah wajib yang harus diambil adalah Filsafat Ilmu. Disana, mahasiswa Doktor diajarkan bagaimana cara berpikir secara filsafati, agar kelak ketika sudah menjadi Doktor dia bisa bertindak secara filsafati disetiap aktivitas yang dilakukannya. Apa itu berpikir filsafati… ? Berfikir secara filsafat artinya berfikir secara menyeluruh dan mendasar. Artinya pemikiran yang luas dan bukan hanya ditinjau dari suatu sudut pandang tertentu serta pemikiran yang dalam bukan hanya kulitnya saja, tetapi sampai tembus ke dalamnya.
Dasar itulah yang coba saya pakai untuk membedah masalah ini secara mendalam dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Pernyataan Kementan yang mengatakan bahwa jika petani mendapatkan rastra maka dia seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Pernyataan itu saya analogikan seperti, ketika rastra disalurkan berarti petani yang memang miskin makin bertambah miskin lagi.
Menurut saya sebagai posisi seorang pengamat, logika berpikir yang dibangun seperti itu kuranglah tepat dan tidak dapat diterima secara akal sehat. Alasannya sangat sederhana, andaikan petani mempunyai persediaan gabah beras melimpah ketika panen, terus ditambah lagi dengan rastra artinya cadangan beras di rumah tangga petani tersebut bertambah banyak dan tentu ketahanan pangan rumah tangganya bertambah kuat.
Rastra adalah subsidi target oriented, artinya memang benar-benar disalurkan untuk rakyat miskin yang membutuhkan. Pemerintah yang dalam hal ini BPS sudah membuat garis kemiskinan sebagai acuan sehingga rakyat yang mendapatkannya memang jelas-jelas butuh dan tidak akan tertukar. Jadi sekali lagi saya garis bawahi bahwa petani yang menerima raskin bukannya mereka tambah miskin akibat harga jatuh, justru mereka tambah kuat. Rastra yang diberikan pemerintah dapat mereka gunakan sehari-hari, disisi lain hasil panen dapat disimpan kemudian bisa giling atau dijual untuk keperluan mendesak. Sehingga kesimpulan besarnya adalah tidak ada hubungan antara penyaluran rastra dengan harga jatuh ketika panen raya berlangsung sehingga membuat petani bertambah miskin.
Namun, jika Mentan tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan alasan Negara bisa menghemat APBN senilai 3,9 Triliun apabila Rastra di stop penyalurannya, maka siap-siap dengan konsekuensi yang akan diterima. (Baca: BPNT Ditengah Pusaran Mafia Pangan dan Kesaktian Rastra).
Agar tulisan ini tidak mengambang diawang-awang, kontroversial dan menjadi debat kusir di warung kopi. Dibawah ini, akan saya paparkan beberapa argumentasi dan fakta data. Selain itu, masih banyak pertanyaan-pertanyaan besar buat Bapak Mentan yang sangat memerlukan jawaban segera, diantaranya adalah :
1. Apakah Mentan tidak tahu bahwa Indonesia banyak petani gurem dengan kepemilikan sawah dibawah 0,5 hektar…. ?
Faktanya, menurut BPS, pada tahun 2013 jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia adalah 14,25 juta rumah tangga atau 55,53% dari total rumah tangga petani di Indonesia. Kelompokpetani gurem inilah yang merupakan petani paling rentan menghadapi resiko. Penerimaan yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga mereka tergolong dalam masyarakat miskin yang membutuhkan uluran tangan dari pemerintah dan rastra merupakan salah satu bentuk bantuan pemerintah yang tidak bisa disalahgunakan.
Biasanya lagi, para petani gurem memiliki modal terbatas sehingga meminjam dari rentenir dengan bunga modal yang cukup besar, kemudian begitu dijual menghadapi perilaku tengkulak yang sangat merugikan mereka. Setali tiga uang, belum lagi resiko gagal bayar akibat gagal panen yang membuat mereka meninggalkan sawahnya. Bahkan ada juga yang menjual sawahnya kepada petani berdasi hingga menjadi buruh ditanah mereka sendiri. Padahal petani gurem yang betelanjang dada inilah, yang sangat berjasa dalam mensukseskan program swasembada pangan.
2. Apakah mentan juga mengabaikan fenomena bahwa Indonesia banyak petani berdasi yang pemiliknya adalah pemodal besar atau orang kota…. ?
Menurut Prof Sajogyo, petani gurem sangat laris jadi objek penelitian dan diskusi namun petani berdasi seakan tabu untuk diusut ujung pangkalnya. Petani berdasi merupakan pemilik sawah atau kebun yang tidak pernah mengerjakan sendiri tanahnya. Menurut BKPM, selama lima tahun terakhir sudah mencapai nilai investasi 8 tiliun dengan jumlah proyek 377, dengan nilai investasi diatas 1 triliun. Belum lagi fenomena baru dimasyarakat kita, yang menanamkan uang dibawah ratusan dan puluhan juta di sektor pertanian. Sehingga subsidi rastra sangatlah tepat untuk petani gurem, sedangkan subsidi input justru tidak tepat sasaran kalau kita berdasarkan fakta diatas.
3. Apakah Mentan mencoba menutup mata bahwa negeri ini lebih banyak buruh tani bukan pemilik lahan sebenarnya… ?
Faktanya, menurut kepala BPS Suryamin, berdasarkan survey yang dilakukan selama periode sepuluh tahun antara tahun 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun.Rata-rata diakibatkan beberapa hal dimana antara lain seperti alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik dan perumahan. Kepala BPS juga menyatakan keperihatinannya mengenai pendapatan keluarga petani yang semakin tidak berdaya.
Rata-rata pendapatan buruh pertanian hanya Rp 1,82 juta per tahun per rumah tangga. Sangat timpang jika dibandingkan dengan buruh diluar pertanian seperti sektor perkebunan dengan pendapatan 3,27 juta per tahun per rumah tangga. Dapat kita bayangkan, jika uang sebanyak itu dibelanjakan keperluan sehari-hari pada zaman sekarang.
4. Apakah Mentan ingat bahwa masyarakat miskin banyak diperdesaan bukan di kota…?
Faktanya, menurut data yang dirilis BPS, pada bulan september 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,76 juta jiwa. Dimana, 10,49 juta orang berada di perkotaan dan 17,28 juta jiwa berada di perdesaan.
Jadi sungguh ironi dengan fenomena sekarang, dimana banyaknya kepala desa atau daerah yang menolak jatah raskin ketika panen raya berlangsung, sementara selama ini penduduknya mendapatkan jatah rastra. Apakah petani yang selama ini miskin dan mendapat jatah rastra tiba-tiba menjadi kaya mendadak ketika panen raya… ? Apakah data BPS yang salah mendata masyarakat yang benar-benar miskin… ? atau apakah karena adanya kepentingan terselubung dari pihak yang berkepentingan untuk pencitraan.. ?
5. Apakah Mentan tahu bahwa sebelum ada rastra hampir 80% pengeluaran rumah tangga di desa hanya untuk membeli beras dan setelah ada rastra turun dibawah angka 60%… ?
Faktanya, menurut data BPS pada tahun 2007-2013, rata-rata pengeluaran masyarakat Indonesia di desa untuk membeli pangan sekitar (50,7% -58,8%) hal ini berbanding lurus dengan hasil penelitian Arlin Karolin Sihombing dari IPB tahun 2014 yang menyatakan bahwa kontribusi raskin terhadap total konsumsi beras adalah sebesar 17,2 persen. Ini artinya, memang rastra yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah memang benar-benar efektif mengurangi sebagian pengeluaran rakyat miskin.
6. Apakah Mentan lupa bahwa 80% inflasi di perdesaan berasal dari sumbangan golongan bahan makanan…?
Menurut Prof. Bustanul Arifin Ekonom Senior INDEF, fakta teoritis dan empiris ekonomi menunjukkan bahwa pengendalian laju inflasi dari sisi penawaran sangat berhubungan dengan sistem produksi pangan yang rentan terhadap iklim. Antara lain seperti; manajemen stock dan gangguan produksi usahatani (www.kompas.com). Artinya apa, tahun ini merupakan tahun dimana kelembapan dan curah hujan tinggi. Sehingga produksi akan terganggu, maka agar inflasi tidak meluas dan masyarakat bawah daya belinya tidak semakin turun, maka diperlukan subsidi pangan langsung seperti rastra sebagai jaring pengaman.
Bagi negera berkembang Indonesia, pasar produk makanan (pangan) merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam penentuan laju inflasi. Pada periode 2002-2007, rata-rata kontribusi kelompok makanan terhadap laju inflasi mencapai lebih dari 50% (Bank Indonesia, 2007). Beras memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap laju inflasi di Indonesia sebesar 24 persen dan 45 persen dari total food intake atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama. (BPS, 2012).
Dari sejumlah fakta-fakta diatas, apakah kita tetap meragukan BPS yang merupakan lembaga resmi statistik yang diakui oleh pemerintah…? kalau kita meragukan kebenarannya,ingatkah Presiden Jokowi beberapa waktu lalu sempat menegur dan mengingatkan beberapa kementerian agar tidak mengeluarkan banyak data, cukup data dari BPS sebagai acuan. Apakah kebenaran ini yang mau kita dustakan… ?
Apakah gara-gara dengan menghemat anggaran 3,9 Triliun sehingga pemerintah mau mengabaikan fakta diatas serta sejarah yang pernah terjadi…. ? tidak cukupkah Uni Sovyet yang tercerai berai karena kekurangan pangan menjadi bukti… ? tidak ingatkah kita Tritura yang didengung-dengungkan rakyat pada tahun 1966.. ? lupakah kita dengan krisis moneter dibarengi dengan krisis pangan 1997 yang melanda negeri ini hingga melengserkan kekuasaan menjadi bukti juga… ?
Buat apa menghemat uang Rp 3,9 Triliun jika nantinya kita mengorbankan hal-hal yang lebih besar daripada itu, yang nilainya justru mungkin melebihi 3,9 Triliun.
Pepatah bijak mengatakan “penyesalan datang belakangan” dan lagi-lagi dengan tidak bosannya saya mengatakan sekaligus mengingatkan pesan Bapak Proklamator kita, seorang Pancasila sejati yang merumuskan sila ke lima keadilan sosial serta pasal 33 UUD 1945 “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah, pengalaman adalah guru yang terbaik.
Artikel By Julkhaidar Romadhon