Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga beras medium dipasar tradisional DKI Jakarta menyentuh Rp.13.300 hingga Rp.14.050 per Kamis, (11/01).
Untuk mengatasi lonjakan harga beras tersebut Wapres Jusuf Kalla menilai perlu adanya impor beras dan kamis malam (11/01) pemerintah melalui Kemendag mengumumkan akan melakukan impor beras khusus yang tidak ditanami di Indonesia sebanyak 500.000 ton beras yang akan dibeli dengan harga berapun dan tetap akan dijual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium.
Adapun perusahaan yang akan melakukan impor beras tersebut adalah perusahaan BUMN, PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Pertanyaan-pertanyaan yang mencuak kepermukaan adalah, bagiamana dengan statement surplus beras yang dimaksudkan oleh Mentan pada saat akhir tahun 2017 kemarin.
Dengan sangat tegas Mentan menyatakan Indonesia akan surplus beras dan stock beras akan aman serta impor tidak akan terjadi sampai dengan April 2018 mendatang.
Kemudian Amran Sulaiman bersikeras untuk tidak melakukan impor, sebab surplus pada saat panen bulan Februari mendatang diperkirakan akan mencapai 4,9 juta ton atau surplus sebesar 3 juta ton.
Dan tentu statement tersebut sangat kontradiktif dengan kondisi dilapangan hari ini.
Maka perlu dipertanyakan apakah data yang dimiliki kementerian pertanian benar-benar faktual atau sengaja mendengungkan kepermukaan agar tetap dicap dapat bekerja dengan benar dan konsisten untuk tidak melakukan impor beras.
Pertanyaan kedua adalah mengapa kelangkaan beras dipasar tidak diprediksi oleh pemerintah jauh-jauh hari sebelumnya?
Sebab hanya dalam hitungan hari kemudian Kemendag mengumumkan akan mengimpor beras sebanyak 500.000 ton sedangkan harga beras dipasaran sebenarnya sudah merangkak naik sejak bulan November 2017 yang lalu.
Harga beras medium di pasar tradisional DKI Jakarta berkisar Rp. 10.749 per kilogram yang masih lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh kementerian Perdagangan yaitu sebesar Rp 9.450 hingga Rp 10.250.
Apakah analisis pemerintah yang lamban atau koordinasi antar kementerian yang memang tidak berjalan dengan baik sehingga menimbulkan ketergesa-gesaan dalam melakukan impor beras.
Seharusnya jika ingin melakukan impor beras, pemerintah, dalam hal ini Kemendag sudah harus mengumumkannya pada bulan Juli atau Agustus 2017 yang lalu.
Sehingga hal ini tidak menimbulkan banyak opini dikalangan masyarakat apakah impor memang satu-satunya pilihan yang sangat harus dilakukan pemerintah dalam waktu dekat untuk menekan harga beras medium.
Dan tentunya publik juga beranggapan bahwa impor beras ini atas keinginan, kepentingan dan keuntungan siapa?
Mengingat petani dalam negeri yang sudah mulai melakukan pemanenan pada akhir bulan Januari sampai dengan bulan April mendatang.
Tentu harapannya impor beras khusus ini tidak mempengaruhi harga serapan gabah atau beras petani karena dampak dari impor tersbut dan pemerintah harus melindungi petani dari anjloknya harga gabah dan beras.
Pertanyaan ketiga adalah mengapa pemerintah melakukan impor beras khusus? Apa faktor yang menjadi landasan sehingga harus beras khusus, apakah ini hanya spekulan saja agar masyarakat tidak gaduh ketika tahu sebenarnya pemerintah memang melakukan impor beras medium dari Thailand dan Vietnam.
Atau Mendag dengan sengaja mengimpor beras khusus agar tidak perlu mendapatkan izin dari Kementerian Pertanian, yang dianggap tidak merestui akan adanya impor beras?
Publik beranggapan perlu adanya publikasi yang jelas terkait mekanisme impor beras juga surat izin pengadaan impor beras tersebut.
Agar tidak menimbulkan polemik dikalangan masyarakat dan tentunya menegakkan revolusi birokrasi dan revolusi mental yang di dengungkan pemerintahan Jokowi-Jk dapat benar-benar berjalan dan pro terhadap kesejahteraan rakyat.
Pertanyaan ke empat adalah Mengapa impor beras ini di lakukan oleh PT. PPI dan mitranya, mengapa bukan Perum BULOG yang melakukan pengadaan impor beras tersebut?
Merujuk pada Inpres No 5 tahun 2015 pasal 7 point ke 3 bahwa “Pelaksanaan kebijakan pengadaan beras dari luar negeri dilakukan oleh Perum Bulog”.
Point diatas memperjelas bahwa impor beras yang dilakukan Kemendag bukan hanya terksesan tergesa-gesa namun juga sangat tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ini merupakan anomaly dari revolusi birokrasi yang ingin dicapai pemerintahan hari ini.
Perlu kita ketahui bersama PT. PPI lebih terang benderang fungsinya adalah sebagai perusahaan perdagangan yang diperbantukan hanya untuk menyerap gabah atau beras petani yang tidak dapat diserap oleh Perum BULOG karena tidak sesuai dengan Harga Pedoman Pemerintah (HPP).
Namun PT. PPI tidak memiliki fungsi sebagai buffer stok, sehingga beras yang dimiliki PT. PPI pasti akan langsung dilempar pada mekanisme pasar dan bukan sebagai beras cadangan pemerintah.
Dari kondisi hari ini kita belajar dan mari memetik hikmahnya mungkin kita telah melupakan perlunya kehadiran lembaga pangan yang seharusnya sudah dibentuk paling lambat pada 17 November tahun 2015 lalu.
Amanat Undang-Undang No 18 tahun 2012 Tentang Pangan dimana mengintruksikan agar pemerintah segera mendirikan Badan Pangan Nasional (BPN) agar persoalan pangan dapat lebih efektif dan efisien teratasi.
Sebab dalam UU Pangan telah diatur seluruh aspek pangan yang relevan dengan perkembangan dewasa ini.
Seperti halnya Bab XII Pasal 128 tentang Lembaga Pemerintah (BPN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Kemudian BPN juga berhak melakukan pengawasan terhadap setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan Perdagangan Pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh Pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan.
Menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga yang digunakan dalam pengangkutan Pangan serta mengambil dan memeriksa contoh Pangan, membuka dan meneliti Kemasan Pangan, memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan.
Termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut dan memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain yang sejenis.
Dengan demikian maka kewajiban dan wewenang lembaga-lembaga Negara non Kementerian seperti Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Badan Ketahanan Pangan (BKP) Satgas Pangan, Perum Bulog dan PT. PPI dapat dikerjakan oleh BPN sehingga birokrasinya menjadi satu pintu saja sesuai dengan tugas dan fungsi BPN menurut amanat konstitusi.
Dan inilah yang dinamakan dengan revolusi birokrasi dan revolusi mental menuju perubahan yang lebih baik untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Catatan : Penulis ANANDA BAHRI PRAYUDHA, Alumnus Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Pernah Menjabat Sebagai Sekertaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) Periode 2014-2016, Koordinator Umum Forum Komunikasi Mahasiswa Pertanian Indonesia (FKMPI) Periode 2015-2016 dan Saat Ini Aktif di Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (BPP PISPI) Periode 2016-2021