Lima tahun lalu, pemerintah memutuskan bantuan pangan disalurkan secara nontunai setelah bertahun-tahun sebelumnya diberikan dalam wujud natura. Bantuan pangan nontunai diluncurkan agar penyaluran lebih tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu.
Program yang dikenal dengan bantuan pangan nontunai (BPNT) itu diharapkan memberikan keleluasaan bagi penerima manfaat dalam memilih jenis, kualitas, harga, dan tempat membeli bahan pangan.
Program BPNT juga diharapkan meningkatkan ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan kios, warung, dan toko yang terlibat dalam penyaluran.
Penyaluran bantuan melalui transfer langsung ke keluarga penerima mengatasi problem ketidaktepatan jumlah, waktu, dan kualitas bantuan dalam program beras untuk keluarga miskin (raskin/rastra).
Bantuan nontunai juga dinilai memberikan akses jasa keuangan kepada lebih banyak warga miskin, mengefektifkan anggaran, serta memudahkan pengawasan.
Perubahan itu diharapkan mengatasi sederet problem yang terjadi di hilir. Namun, mekanisme baru penyaluran bantuan pangan juga berdampak ke sektor tengah dan hulu industri perberasan nasional.
Perum Bulog sebagai pelaku di tengah, misalnya, terkena dampak langsungnya. Badan usaha milik negara bidang logistik pangan ini kehilangan pangsa pasar (captive market) karena tidak lagi memasok beras untuk program bantuan pemerintah.
Realisasi penyaluran beras dari Bulog untuk program raskin, rastra, atau bansos lain berangsur turun, yakni dari 3,21 juta ton (tahun 2016) menjadi 2,74 juta ton (2017), lalu 1,9 juta ton (2018), dan 1,1 juta ton (2019), seiring meluasnya penyaluran BPNT.
Tahun ini, BPNT/Kartu Sembako ditargetkan menjangkau 18,8 juta keluarga penerima manfaat, lebih tinggi dibandingkan dengan 15,6 juta keluarga tahun 2020.
Dengan kanal yang menyempit, Bulog menghadapi situasi dilematis, terutama terkait fungsinya sebagai stabilisator harga di hulu dan hilir.
Selama ini fungsi tersebut dijalankan dengan menggelontorkan stok ke pasar ketika harga di pasaran naik serta menyerap hasil panen petani ketika harga di tingkat produsen anjlok. Regulasi mengamanatkannya demikian.
Akan tetapi, ketika saluran di hilir terganggu, bagaimana memastikan fungsi menyerap di hulu bisa tetap jalan? Apakah Bulog bisa terus menyerap tanpa bisa menyalurkannya?
Penurunan realisasi penyerapan produksi dalam negeri, penumpukan stok beras di gudang, dan kasus beras rusak atau turun mutu karena terlalu lama disimpan membuktikan kekhawatiran banyak pihak soal risiko perubahan mekanisme bantuan pangan.
Dengan saluran yang mampet di hilir, Bulog menjadi tidak lagi bergairah menyerap gabah petani di hulu. Buktinya, realisasi pengadaan beras dalam negeri terus turun dari 2,96 juta ton tahun 2016, menjadi 1,57 juta ton (2017), 1,21 juta ton (2018), lalu 957.694 ton (2019), dan 752.079 ton (2020), meski Bulog sebenarnya bisa menyerap dan menyalurkan beras melalui operasi pasar.
Dampak yang paling krusial menyangkut insentif bagi petani sebagai ujung tombak produksi. Ketika gairah pasar untuk menyerap produksi semakin redup, risiko harga jatuh di hulu semakin besar.
Kekhawatiran itu kini benar-benar terjadi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kasus harga gabah anjlok di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang semakin intens dua tahun terakhir.
Pada 2018 dan 2019, kasus harga gabah turun di bawah HPP di tingkat penggilingan terjadi pada puncak panen di periode Maret-Juni, yakni dengan jumlah kasus 0,1-3,7 persen dari total sampel survei. Namun, pada tahun 2020, kasus harga gabah di bawah HPP terjadi sepanjang tahun dengan jumlah yang semakin banyak, yakni mencapai 1-16,2 persen.
Tahun ini, situasi harga jauh lebih memprihatinkan, baik di tingkat petani maupun penggilingan. Kasus harga gabah di bawah HPP terjadi sepanjang Januari-Juli 2021.
Jumlah kasus bulanan mencapai 5,29-46,66 persen di tingkat petani, sementara di tingkat penggilingan berkisar 5,43-44,68 persen. Situasi itu berarti harga gabah di tingkat petani semakin tertekan dan jumlah petani yang mendapatkan harga tak layak semakin banyak.
Situasi paling parah terjadi pada Juli 2021. BPS mencatat, jumlah kasus harga gabah di bawah HPP mencapai 46,66 persen di tingkat petani dan 44,68 persen di tingkat penggilingan dari total 1.166 transaksi jual beli yang jadi sampel penelitian.
Harga jatuh di musim gadu merupakan situasi yang tidak lazim karena biasanya saat itu volume produksi dan pasokan ke pasar tidak optimal.
Selain problem fungsi stabilisasi, sejumlah pengamat menduga permintaan pasar melemah seiring turunnya daya beli, salah satunya karena terdampak pandemi. Situasi itu terjadi ketika produksi relatif aman atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Akibatnya, harga tertekan di tingkat produsen.
Akan tetapi, fenomena itu memperkuat fakta bahwa petani belum terlindungi. ”Konsistensi” kejadian kasus harga di bawah HPP selama 16 bulan berturut-turut mengindikasikan bahwa sederet instrumen yang diamanatkan konstitusi tidak berjalan. Situasi itu semestinya jadi alarm bagi semua pemangku industri perberasan nasional.
Ketika harga di tingkat produsen turun, insentif produksi turun. Situasi itu mengganggu motivasi pelaku di rantai produksi. Ketika itu terjadi, apakah kita masih berharap petani tetap semangat berproduksi? Solusi menyeluruh dibutuhkan untuk mengatasi problem tersebut sebab tanpa insentif produksi, roda industri bakal melambat dan berhenti.
Oleh MUKHAMAD KURNIAWAN
Sumber : Kompas.id