RASTRA vs bpnt

Mana Lebih Manusiawi, BPNT atau RASTRA?

Pernyataan Direktorat Jenderal (Ditjen) Penanganan Fakir Miskin (PFM) Kementerian Sosial (Kemensos) Andi Dulung yang mengatakan bahwa program BPNT lebih dapat memanusiakan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dibandingkan penyaluran bantuan sosial (Bansos) Rastra perlu dikritisi.

Menurutnya, kehadiran BPNT membuat penerima bansos memiliki hak dan kebebasan memilih kebutuhan melalui bantuan yang diberikan.

“Tidak seperti sekarang, dibagikan beras ya adanya itu. Terima atau tidak mau terima ya itulah adanya. Kalau ini tidak, dia mau ambil bulan ini boleh, bulan depan juga boleh. Ini saya kira suatu konsep membuat KPM itu lebih manusiawi. Mereka merasa lebih dihargai,” tegas Andi dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Rabu (12/12/2018).

Baca : Transformasi Bansos Rastra Jadi BPNT Dianggap Lebih Manusiawi

Untuk meyakinkan apakah BPNT memang lebih memanusiakan manusia dibanding Bansos rastra, maka saya akan berikan beberapa fakta di lapangan:

Kejadian pertama berasal dari daerah Jombang Jawa Timur. Dikutip dari lensaindonesia.com masyarakat merasa kesal karena mendapatkan telur busuk.

https://www..lensaindonesia.com/2018/11/27/program-bpnt-jombang-amburadul-warga-terima-telur-busuk-siapa-bermain-mengeruk-untung.html

Sungguh ironis, para warga kurang mampu yang seharusnya mendapatkan bantuan pangan yang layak berupa 1 Kg telur, 7 Kg beras dengan total nilai Rp 110 ribu, malah disuguhi telur busuk yang dipenuhi belatung. Mengapa program sosial ini amburadul? Benarkah ada oknum yang ‘bermain’ untuk mengeruk keuntungan?

Menyikapi masalah ini, sejumlah kepala desa (Kades) di Kabupaten Jombang yang merasa ‘malu’ pun angkat bicara. Menurut para kades, mereka merasakan adanya ketidak beresan program BPNT tersebut sejak awal pelaksanaan, salah satunya terlihat dari mekanisme penunjukan e-Warung.

Sesuai dengan ketentuan dari Dinsos Kabupaten Jombang melalui pendamping Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) penunjukan E-warung berdasarkan rekomendasi kades.

Namun dalam pelaksanaannya, tak satu pun warung hasil rekomendasi kades masuk dalam daftar e-Warung yang dikeluarkan Dinas.

Erwin menilai, Dinsos tidak siap dalam melaksanakan program ini. Baik dari sisi sosialisasi, penentuan E-warung, penentuan supplier dan persiapan lainnya.

“Malah ada yang di Desa Plosogeneng, kios pupuk jadi agen penyalur BPNT, ini kan aneh,” imbuhnya.

Kejadian kedua, berasal dari Tangerang terkait masyarakat yang tidak mendapatkan BPNT.

Dikutip dari jabodetabeknews.com dikisahkan bahwa Ibu Jasmani yang hidup ditinggal suami yang merupakan warga Kampung Ribut, Desa Ranca Labuh, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang.

Dimana sejak 2008 lalu. Wanita yang saat ini memasuki usia 70 tahun, hanya tinggal ditemani anak satu-satunya bernama Mad Rapi, yang berprofesi sebagai kuli bangunan.

Ia mengatakan pernah mendapatkan beras miskin (raskin) hingga 2017 lalu. Tetapi, tahun ini, dia sudah tidak menerima bantuan apapun dari pemerintah.

“Tahun lalu, saya masih dapat raskin yang diberikan Ketua RT. Tidak tahu kenapa, sekarang saya sudah tidak terima bantuan lagi. Saya tanya Ketua RT, dia jawab kalau bantuan beras saat ini, bukan wewenang dia lagi,” ujar Jasmani.

https://jabodetabeknews..com/warga-miskin-tak-terima-bpnt/

Dari dua fakta diatas yang ingin saya katakan adalah bahwa pernyataan bahwa BPNT lebih memanusiakan daripada rastra tidaklah tepat.

Perisitiwa pertama sungguh sangat memilukan dan memalukan. Telur busuk yang diterima masyarakat jelas tidak layak dikonsumsi. Apalagi sudah banyak belatung, jelas mengeluarkan bau tidak sedap dan mengandung bakteri pathogen.

Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah e-warung yang memberikan telur busuk mau melakukan penggantian. Bisa dibayangkan jika mereka mau mengganti, berapa biaya yang dikeluarkan.

Jangan-jangan mereka membeli sudah dalam keadaan tidak baik. Sehingga sangat kecil kemungkinan jika mereka mau melakukan penggantian, apalagi menurut Kades bukan e-warung resmi yang direkomendasikan.

Pada titik ini, saya ingin menyatakan bahwa disitulah kelemahan dari program BPNT. Penyelenggaranya adalah warung-warung kecil yang dimiliki oleh individu/pribadi sehingga tidak memiliki modal kuat.

Akibatnya jika terjadi pengembalian/retur komoditi yang rusak maka pasti akan sulit untuk dilakukan penggantian.

Coba kita bandingkan dengan program rastra. Walaupun cuma sekarung saja yang rusak, maka BULOG bersedia untuk melakukan penggantian. Warga tinggal membawanya ke kantor BULOG terdekat untuk ditukar dengan beras yang lebih baik.

Misal di kabupaten Aceh Tamiang, Camat Manyak Payed, Wan Irwansyah, Rabu (27/6) mengakui pihaknya sudah mengembalikan beras sebanyak 33 ton yang mereka nilai kualitasnya tidak bagus ke Bulog Langsa untuk diganti dengan beras yang sesuai standar seharusnya.

Pihak Bulog pun bersedia mengganti beras tersebut dengan kualitas yang lebih bagus.

Kejadian penggantian tidak hanya di Provinsi Aceh saja namun juga pada Provinsi lain dan Bulog bersedia melakukan penggantian.

Bulog merupakan lembaga pemerintah berbentuk BUMN atau korporasi dengan modal kuat serta dikelola dengan manajemen yang professional.

Sehingga pada titik inilah yang menjadi pembeda antara BPNT dan Rastra untuk melihat sisi program mana yang lebih manusiawi.

http://news.rakyatku..com/read/49944/2017/05/24/rastra-rusak-tanggung-jawab-bulog-

http://www.rmolsumsel..com/read/2018/02/20/88488/Rastra-Tak-Layak-Konsumsi-Bisa-Ditukar-

Namun dampak yang diakibatkan BPNT yang sampai sekarang luput baik itu perhatian maupun kajian adalah terkait soal kenaikan harga beras di pasaran. Sampai sekarang pemerintah belum sadar ekses negative penerapan BPNT terhadap kenaikan harga bahan pokok.

Hasil rapat terbatas yang digelar Presiden Joko Widodo bersama para menteri Kabinet Kerja dan pemangku kepentingan terkait di kantor Presiden, Jumat (21/12/2018).

Presiden Jokowi telah memberikan instruksi langsung agar Bulog melakukan operasi pasar yang lebih besar.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Biasanya tahun-tahun sebelumnya pemerintah menggelontorkan rastra di awal bulan serentak seluruh Indonesia, namun sekarang tidak bisa. Hal ini disebabkan hampir seluruh wilayah yang menerima rastra sudah beralih pada program BPNT.

Alih-alih mampu meredam kenaikan harga beras, justru program BPNT sendiri ikut menaikkan harga beras yang ada. Inilah yang ditakutkan penulis selama ini, jika program rastra digantikan dengan program BPNT.

Semua ini sejalan dengan pernyataan pemerintah sendiri Kementerian Sosial yang konsen dengan penanganan program rastra dan BPNT. Dirjen Fakir Miskin Kemensos Andi Dulung sendiri mengakui kelemahan pada program BPNT ini yang utama yaitu tidak dapat mengontrol harga pangan.

Kontraproduktif BPNT

Hal ini terlihat dari pernyataannya dahulu saat lokakarya “Pemanfaatan Teknologi untuk bantuan sosial” di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (24/8/2017).

Pernyataan pertama, “kelemahan dari bantuan lewat kartu ini yakni pemerintah tidak mengontrol harga pangan yang dijual oleh e-warong”.

Pernyataan kedua “itu kelemahannya (BPNT), jadi harga beras misalnya, itu terserah dari agen. Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan.

Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar Bulog untuk rastra”.

Kecenderungannya, malah orang lebih suka beli beras yang kualitasnya lebih bagus, harganya lebih mahal tak masalah. Mau beras Rp. 8.000/kg tak masalah, Rp 10.000/kg tak masalah”.

Dari dua pernyataan diatas, sudah jelas bahwa program BPNT yang digadang-gadang tahun ini terealisasi hampir 100 persen memiliki kelemahan yang sangat patal terhadap kenaikan harga beras.

Apalagi sampai dengan Presiden meminta operasi pasar besar-besaran, ternyata Bulog sudah menggelontorkan hampir 500 ribu ton beras untuk operasi pasar.

Dan ini terbesar dalam 5 tahun dari tahun 2013 dalam rangka menurunkan harga beras. Namun nyatanya belum juga efektif, hal ini disebabkan karena jangkauan sebarannya tidak seluas seperti program rastra dan tergantung juga dengan daya beli masyarakat.

Baca juga : Bulog Kucurkan Beras 500.000 Ton di 2018, Kok Harga Naik?

Penjelasan ilmiah dari dua pernyataan diatas, dapat dijabarkan sebagai berikut. Inilah yang selalu ditakutkan para pengamat kebijakan pangan yaitu “mekanisme pasar” atau “liberalisasi pasar”.

Ditengah maraknya kasus mafia pangan yang diungkap oleh satgas pangan, seharusnya membuat pemerintah semakin yakin bahwa BPNT belum layak untuk diterapkan tahun depan.

Pernyataan KPPU yang mengatakan bahwa struktur pasar beras di tingkat petani cenderung kompetitif, sedangkan ditingkat konsumen cenderung oligopoli menjurus kartelisasi seharusnya juga dijadikan pegangan.

Membiarkan masyarakat untuk membeli pada harga tingkat pasar dan semaunya adalah sangat berbahaya. Secara teori ekonomi, uang Rp 110.000/bulan akan dilihat para pedagang sebagai peningkatan pendapatan yang identik dengan tingginya permintaan.

Permintaan yang tinggi dari masyarakat penerima rastra yang beralih ke BPNT, secara tidak langsung akan ditafsirkan sebagai daya beli yang meningkat oleh para pedagang.

Sehingga secara realita, permintaan yang tinggi sudah pasti akan mereka barengi dengan harga yang tinggi pula. Bahkan bukan tidak mungkin, akan terjadi kenaikan harga beras dari hari ke hari dan ini sudah mulai terjadi seperti sekarang.

Mengapa semua ini bisa terjadi?

Pertama, terjadi pergeseran selera penerima BPNT yang selama ini mengkonsumsi beras medium beralih ke beras premium. Harus kita ingat, bahwa beras premium lah yang menjadi biang keladi kenaikan beras medium.

Semua ini bisa saja terjadi, karena mereka menganggap uang yang mereka terima cukup memadai untuk membeli beras premium serta bisa saja dalam pikiran mereka masih ada stigma yang melekat “kalau nasinya enak, maka tidak ada lauk juga tidak apa-apa”.

Kedua; adanya mafia pangan yang sengaja bermain untuk mengatur pasokan beras sehingga harga terus naik sesuai dengan yang mereka inginkan. Ini sudah dibuktikan, dengan adanya penggerebekan yang dilakukan oleh satgas pangan.

Dengan fakta diatas adalah sangat riskan jika apa yang penulis asumsikan benar-benar terjadi, yaitu peralihan selera konsumsi dari beras medium ke beras premium.

Apalagi tidak ada pihak yang bisa memantau dan yang bisa melarang penerima BPNT, agar tetap mengkonsumsi beras medium.

Jika mereka ikut-ikutan mengkonsumsi beras premium (daya beli semu), konsekuensinya juga harus mereka terima. Dimana pada tingkat ini, konsumen tidak perduli dengan harga beras berapapun harganya. Ujung-ujungnya uang tersebut semakin tidak mencukupi dan sedikit sekali untuk ditukarkan dengan bahan kebutuhan pokok.

Konklusi

Setiap program memiliki kelemahan dan keunggulan baik itu Rastra dan BPNT. Namun program pangan yang terbaik adalah tentu yang memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat.

Dari uraian panjang diatas, ternyata pernyataan Dirjen Fakir Miskin bahwa BPNT lebih manusiawi dari Rastra tidaklah tepat.

Masih banyak kelemahan BPNT di lapangan yang sangat sulit diatasi jika dibandingkan dengan rastra. Seperti bahan pangan rusak yang diterima warga serta kemungkinan sulit untuk dikembalikan.

Namun justru rastra yang dianggap kurang manusiawi, masyarakat bisa menukarkannya dan Bulog bersedia mengganti yang lebih baik.

Hal yang lebih besar lagi, ternyata rastra mampu meredam kenaikan harga beras sepanjang tahun dan ini tidak dapat dilakukan oleh BPNT.

Stabilisasi harga bahan pangan merupakan jaminan jalannya roda aktivitas perekonomian bangsa dari segala sektor. Muaranya tentu sangat dapat dirasakan bagi segenap lapisan masyarakat.

Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya mengevaluasi program BPNT dan lebih memilih program yang memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat.

Artikel by Julkhaidar Romadhon, Koordinator Jaringan Masyarakat Pangan Indonesia (JAMPI). Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya.