petani padi sawah

Meluruskan Kebijakan Pangan

Akhir-akhir ini, kita seperti dipertontonkan dengan beberapa kebijakan pangan yang dinilai kontraproduktif. Ada beberapa bukti teranyar untuk meperlihatkan ketidaksinkronan antara kebijakan satu dengan kebijakan yang lain.

Sepertinya keadaan ini semakin menegaskan ada sesuatu yang kurang beres dalam kebijakan pangan tanah air. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain :

Pertama, adalah pemberlakuan Permendag lama dengan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 untuk menggantikan Permendag No.47/M-DAG/PER/7/2017. Dimana permendag tersebut menuai polemik karena harga eceran tertinggi (HET) beras untuk kualitas medium dan premium Rp. 9.000/kg, sedangkan permendag lama harga beras Rp. 9.500/kg.

Hal ini buntut dari pertemuan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dengan para pedagang beras skala besar di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur. Mendag secara resmi menganulir peraturan yang seharusnya sudah berlaku sejak tanggal 18 Juli 2017 (https://kumparan.com). Pemberlakuan Permendag yang lama, sedikit meluruskan kebijakan pangan yang sudah terlanjur menuai polemic ditengah masyarakat.

Husein Sawit menyoroti bahwa penetapan HET digunakan oleh satgas pangan, sebagai acuan untuk memangkas jalur pemasaran dan menekan harga beras ditingkat konsumen. Pada saat sekarang, pemerintah lebih mengedepankan punishment buat para pelaku pasar daripada intervensi pasar.

Ia menilai, seharusnya untuk mengatasi hal itu pemerintah harus memperkuat BULOG.  Sehingga, lembaga pangan ini mampu untuk mengeksekusi HET beras. Artinya ketika beras sudah melampaui HET, BULOG sudah siap melakukan intervensi pada jenis beras manapun (Opini Bisnis Indonesia).

Kedua, Pemberlakuan Perpres No. 20 tahun 2017 yang menggantikan Perpres No 48 tahun 2017 tentang  penugasan kepada Perum BULOG. Inti Perpres tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan penugasan kepada Perum BULOG khusus untuk komoditas gabah dan beras, kewenangan dilimpahkan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.

Salah satu Pasal revisi yang terlihat rancu seperti Pasal 8 ayat (1) huruf b dan ayat (2); Penggunaan Cadangan Pangan Pemerintah dan/atau cadangan beras Pemerintah yang dikelola oleh Perum BULOG digunakan untuk stabilitas harga Pangan.

Pelaksanaan penggunaan untuk kekurangan Pangan sebagaimana dimaksud pada stabilitas harga Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui operasi pasar umum atau operasi pasar khusus pada sasaran tertentu.

Revisi diatas menyuratkan bahwa umumnya stabilisasi harga pangan selama ini dibawah koordinasi dan wewenang Kementerian Perdagangan, maka semenjak berlakunya Perpres tersebut berada dibawah wewenang Kementerian Pertanian.

Sehingga, BULOG sebelum melakukan intervensi pasar harus mendapatkan penugasan dari kementan terlebih dahulu. Inilah yang menjadi jawaban ketika publik mempertanyakan kenapa waktu penggerebekan PT IBU yang hadir Menteri Pertanian Amran Sulaiman, sedangkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tidak terlihat di sana.

Keinginan Kementan untuk mengurusi masalah stabilisasi harga juga dapat dilihat dari kehadiran Toko Tani Indonesia (TTI). Walapun terus menuai kritik, Kementan tetap melaunching kehadiran TTI diberbagai Provinsi.

Banyak pihak menyayangkan karena stabilisasi harga pangan sebenarnya dapat tercapai jika produksi pangan melimpah. Tidak perlu rasanya melakukan intervensi lagi pada tingkat konsumen. Karena pada sisi yang sama, Perum BULOG yang juga wakil dari pemerintah sudah lebih dahulu melaunching Rumah Pangan Kita (RPK) yang keberadaannya tersebar di seluruh Provinsi di Indonesia.

Sehingga, kebijakan tersebut terasa mubazir, membuang energy, biaya dan terlihat overlapping wewenang. Oleh karena itu, untuk meluruskan hal tersebut banyak pihak menyarankan agar urusan stabilisasi pangan tetaplah dipegang oleh Kementerian Perdagangan sedangkan Kementerian Pertanian tetaplah fokus pada masalah peningkatan produksi pangan.

Ketiga, Presiden Jokowi mengatakan bahwa tahun depan bantuan pangan beras sejahtera (Rastra) tidak akan ada lagi. Pemerintah akan mengganti kebijakan itu dengan penyaluran subsidi pangan non tunai. Hal ini dilakukan dalam rangka penyaluran subsidi yang tepat sasaran.

Pidato ini disampaikan di gedung DPR, Rabu 16 Agustus 2017 (m.viva.co.id). Kebijakan ini sepertinya sangat bertentangan dengan janji Presiden sendiri yang ingin mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun.

Logikanya, jika Presiden ingin swasembada pangan tercapai maka stock BULOG harus diperkuat. Hal ini disebabkan karena stock BULOG lah sebenarnya yang menjadi barometer  keputusan impor dan tidak impor. Pertanyaannya, ketika stock beras di gudang BULOG penuh maka diperlukan perputaran stock, agar beras tetap fresh.

Jika tidak ada perputaran yang dalam hal ini pasarnya, maka sudah dipastikan dibutuhkan biaya perawatan yang besar. Yang lebih ditakutkan lagi adalah terjadinya beras rusak karena turun mutu. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya Negara juga yang repot karena kerugian BULOG juga akan ditanggung oleh pemerintah.

Masalah utama yang menjadi sorotan dari wacana penghapusan rastra manjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), adalah pihak penyedia. Tahun depan, menurut pemerintah pihak manapun bisa sebagai penyedia tidak hanya BULOG.

Sehingga pengadaan beras BULOG tidak ada jaminan outlet untuk penyalurannya. Inilah yang sangat ditakutkan oleh banyak pihak. Mereka mengkhawatirkan bahwa pemerintah akan sulit untuk melakukan intervensi ketika terjadi kegagalan pasar, karena sudah pasti BULOG akan mengurangi jumlah serapannya.

Pasar pangan tanah air sangat berbahaya jika dibebaskan dalam pasar bebas.  Sudah bisa dipastikan dalam pembentukan harga akan ditentukan oleh kekuatan masing-masing penjual dan pembeli.  Sungguh ironis dengan fenomena sekarang, dimana satgas pangan sedang intensif melakukan perburuan para mafia pangan.

Ketakutan ini juga datang dari Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi yang menilai bahwa rencana penghapusan raskin sebagai tindakan gegabah yang berisiko tinggi terhadap peningkatan jumlah masyarakat miskin dan mengancam ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah.

Berikut kutipan  pernyataan Bayu Krishnamurtiyang baru kembali dari lawatannya dari Prancis dan Belgia. “Di Eropa, saat ini sedang bergejolak soal ketahanan pangan. Di Eropa Barat, 16 juta orang kelaparan. Di Amerika juga sedang dikaji tentang efektivitas stamp food atau kupon makanan semacam e-money. Pemerintah Prancis dan kawasan Eropa serta Amerika, sedang mempelajari mekanisme program raskin untuk diterapkan di negaranya masing-masing. ” ujar dalam diskusi bertema “Stop Liberalisasi Beras” yang digelar Perhepi di Jakarta, Senin (15/12/2014) (https://ekbis.sindonews.com/read/937656/34/rencana-penghapusan-raskin-dinilai-gegabah-1418644607 ).

Senada dengan Bayu Khrisnamurti, pakar ekonomi pangan Bustanul Arifin menilai penghapusan beras masyarakat miskin (raskin) sebagai upaya liberalisasi kebutuhan bahan pokok.

“Konversi raskin dalam bentuk e-money, akan membuat komoditi beras sepenuhnya masuk ke pasar bebas dan tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Ini sama saja dengan meliberalisasi beras,Jika raskin dihapus, bukan hanya ancaman inflasi yang akan melanda Indonesia, tetapi juga kehancuran bagi para petani lokal.”

Rencana konversi raskin ke e-money yang terkesan meniru program kupon makanan di AS, dinilai sulit dilaksanakan di Indonesia dan hanya akan melahirkan sejumlah persoalan baru selain keuntungan sepihak bagi industri perbankan. https://ekbis.sindonews.com/read/937701/34/penghapusan-raskin-upaya-liberaliasi-beras-1418651683)

MODIFIKASI BPNT

Oleh karena itu, agar pihak-pihak diluar sana tidak menuduh pemerintah meliberalisasi pasar maka BPNT harus ada sedikit modifikasi dalam program Bantuan Pangan Non Tunai.

Modifikasi ini diperlukan agar terjadi pelurusan dari berbagai kebijakan pangan sebelumnya yang dinilai kontraproduktif. Seperti kebijakan swasembada pangan, stabilisasi harga tingkat petani, stabilisasi harga ditingkat konsumen hingga program kebijakan pengentasan kemiskinan.

Modifikasi yang dimaksud adalah dengan tetap menugaskan Perum BULOG sebagai satu-satunya penyedia komoditas BPNT. Selain pemerintah mampu mengontrol harga, keberpihakan ini juga akan menselaraskan kebijakan-kebijakan pangan lainnya yang dinilai agak sedikit bertentangan sama lain.

Arti kehadiran pemerintah yang dalam hal ini BULOG tentu akan sangat dirasakan oleh masyarakat ditengah situasi pangan yang marak dengan praktik kecurangan.

Pembentukan satgas pangan merupakan salah satu bukti kuat, bahwa sebenarnya pemerintah sudah mencium ada ketidakberesan dalam rantai tataniaga pangan.

Namun, publik menilai rasanya kurang cantik jika hukuman yang dikedepankan, apalagi ditengah situasi ekonomi yang melambat seperti sekarang ini. Ketegasan satgas pangan akan membuat ketakutan para pengusaha pangan, baik dalam beroperasi maupun berinvestasi.

Oleh sebab itu, tidak ada acara lain yang lebih elegan selain memperkuat BULOG sebagai institusi pangan Negara. Dimana salah satu cara penguatan tersebut adalah dengan menjamin outlet penyaluran komoditi BULOG lewat program BPNT.