Akhir-akhir ini publik dipertontonkan oleh dua isu yang sangat hangat dan meruncing. Isu tersebut adalah polemik impor beras dan surplus produksi.
Kedua isu ini membuat opini publik menjadi terbelah dua. Masyarakat menjadi aneh dan bertanya-tanya, mengapa impor beras dilakukan disaat pemberitaan panen raya dimana-mana?
Dua Kementerian yang sedang berpolemik sekarang adalah Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Masing-masing memiliki pendapat serta argumentasinya.
Kementerian Pertanian tetap ngotot bahwa kita tidak perlu impor beras karena surplus atau produksi melimpah. Sedangkan Kementerian Perdagangan juga tetap bersikukuh melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang sebenarnya terjadi ?
siapa yang bertanggung jawab tehadadap polemik impor beras ini? Kementerian Perdagangan kah yang mengambil keputusan impor?
Ataukah Kementerian Pertanian yang tidak bisa menjamin tersedianya produksi?
Artikel ini akan membahas dua sisi yang saling terhubung dan berkaitan yaitu sisi supply dan demand yang tercermin dari harga.
Alasan Dibalik Impor Beras
Pemerintah akhirnya memutuskan impor beras sebanyak 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam.
“Di depan para wakil rakyat, Enggar menyebutkan impor beras terpaksa dilakukan untuk menambah suplai komoditas pangan itu di dalam negeri. Minimnya pasokan beras itu yang kemudian memicu kenaikan harga beras. Sejak awal tahun, tren harga beras memang terus naik,” katanya di Ruang Rapat Komisi VI DPR, Jakarta, Kamis, 18 Januari 2018.
Lanjutnya lagi, Menurut Enggar, kenaikan harga beras ini juga diikuti oleh stok beras di Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Perum Bulog yang masih belum maksimal.
Hingga 17 Januari 2018, kata Enggar, stok beras PSO (Public Service Obligation) Bulog hanya mencapai 854 ribu ton, atau berada di bawah angka psikologis stok sekitar satu juta ton (https://bisnis.tempo.co/read/1051661/jelaskan-impor-beras-ke-dpr-enggar-saya-tak-mau-ambil-risiko).
Hal ini sangat beralasan, karena berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, awal tahun 2018, harga beras di beberapa daerah di Indonesia mengalami kenaikan harga beras yang melewati batas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Harga rata-rata beras medium di Jakarta Rp. 14.100 per kilogram, melampaui HET yang ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kilogram. Angka ini melebihi harga beras pada awal tahun lalu sekitar Rp 9.500 (tribunnews.com).
Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Sentosa menyebutkan kenaikan harga beras mengikuti peningkatan harga gabah di sejumlah daerah.
Kami ikut memantau dari jaringan di 84 kabupaten/kota, kisaran harga gabah kering panen mencapai Rp 5.200-Rp 6.000. Sehingga jika dikonversi ke kering giling mencapai Rp 7.000.
Itu naik sekitar 25%, yang kemudian menyebabkan harga beras jenis medium ada yang mencapai Rp 11.000 di Pasar Induk Cipinang. Di pasaran pasti lebih tinggi lagi, itu rekor nasional baru.
Dia memperkirakan gejolak harga beras akan terjadi sampai awal maret 2018 dan meminta agar pemerintah segera mengantisipasinya.
Melihat fenomena diatas, sehingga bisa dipahami alasan Menteri Perdagangan melakukan impor beras.
”Saya tidak mau berdebat bagaimana penyebabnya segala macem. Nanti kita lupa bagaimana menyelesaikan kebutuhan rakyat, kebutuhan perut” tegasnya. “Yang pasti di pasar kekurangan beras medium” (m.kumparan.co.id).
Alasan yang sangat logis dilontarkan, karena sejarah telah mengajarkan jika salah mengantisipasi, beras untuk kesekian kalinya akan menunjukkan jati dirinya kembali sebagai komoditas strategis, politis dan ekonomis yang bermuara kepada kerusuhan sosial.
Oleh karena itulah Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Perdagangan tidak mau berjudi dengan sesuatu yang tidak pasti.
Argumentasi Surplus Produksi
Kementerian Pertanian (Kementan) tetap mempertanyakan rencana impor 500 ribu ton beras yang akan dilakukan oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Sumarjo Gatot Irianto menyebut sampai saat ini produksi beras dalam negeri masih mencukupi kebutuhan nasional.
Tak hanya itu, rencana ini, kata Gatot, cukup ganjil. Sebab, Kementan sudah memastikan bahwa pasokan beras selama ini selalu dijaga pada batas aman.
Luas tambah tanam Indonesia, kata Gatot, selalu berada di atas angka 1 juta hektare dari Juni hingga saat ini. “Luas segitu sangat cukup,” ujarnya.
Kementan, kata Gatot, justru mencurigai ada sesuatu yang ganjil dalam kenaikan harga beras karena alasan kelangkaan selalu berulang setiap tahunnya.
Ia menilai, aktor intelektual di balik kenaikan ini perlu diselidiki lebih lanjut. “Apakah benar ini by nature atau by design, saya gak tahu, itu yang harus dijawab,” katanya (https://bisnis.tempo.co/read/1049923/kementan-pertanyakan-alasan-menteri-perdagangan-impor-500-ribu-ton-beras).
Hal ini mereka buktikan dengan melakukan panen raya di karawang. Keberhasilan petani Karawang yang melakukan panenan padi saat musim paceklik ini, mendapat apresiasi dari Menteri Pertanian Amran Sulaeman.
Bahkan, menteri melakukan panen padi, pada hari Rabu (3/1). Amran juga menyampaikan,” di 2018, Indonesia sudah swasembada pangan dan tidak lagi mengimport beras, bahkan sudah bisa ekspor beras naik 0,09 persen”.
“Kondisi itu berkat keberhasilan program pertanian yang sesuai dengan paradigma modern. Di samping, Kementerian Pertanian juga menurunkan Tim Upsus serta memberikan bibit unggul bantuan alsintan” (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/03/p1z7ct396-karawang-panen-raya-padi-musim-paceklik).
Namun seakan berbalik tiga ratus enam puluh derajat, keberhasilan panen raya dibantah oleh petani padi disana pasca datangnya Menteri Pertanian Amran Sulaeman ke Kabupaten Karawang
beberapa hari lalu.
Ternyata para petani mengeluh karena gagal panen yang dialaminya hingga mengalami pendapatan yang turun drastis dan merugi akibat harga padi anjlok per kilogramnya.
“Padi saya tidak jadi semua, gagal pertama akibat wereng waktu padi lagi kecil, yang kedua dihantam sama padi yang tidak tumbuh. Orang sini biasa menyebut zonk, akarnya tidak berkembang, kalau dicabut ada semacam cacing tapi dia ada kakinya di depannya,”.
Lanjut dia, tidak hanya Desa Sukasari saja yang mengalami gagal panen, tetapi juga desa sekitar mengalami hal yang sama. Jika ditotal di Kecamatan Purawasari kerugian bisa 400 hektar lebih, jumlah dari Desa Sukasari, Desa Tegalsari, Desa Cengkong, Desa Darawolong, dan Desa Mekarjaya (https://karawangbekasiekspres.co.id/9224/panen-raya-karawang-simbolis.html).
Dari pemberitaan diatas, apa masalah yang bisa dijadikan benang merahnya? terus solusi apa yang bisa ditawarkan untuk memperbaikinya ?
Iklim dan Tanah Penyebab Gagal Produksi
Lagi-lagi pertanian tanah air belum lepas dari sosok yang namanya iklim atau cuaca. Faktor eksternal atau alamiah ini selalu saja menjadi momok yang menakutkan.
Sejarah pertanian di Indonesia terus membuktikan bahwa ketika cuaca baik atau bersahabat, secara alamiah produksi tidak akan terganggu. Namun begitu juga sebaliknya, ketika cuaca berubah menjadi ekstreem kekeringan “el nino” dan banjir “la nina” produksi pertanian kita pasti kelimpungan.
Lahan kekeringan atau lahan kebanjiran seakan tidak bisa terselesaikan walaupun dengan dukungan dana dan infrastruktur yang lebih besar.
Fenomena ini tentu akan menjadi tantangan di sejumlah daerah sentra pertanian tanah air. Jika tidak segera diantisipasi, tentu akan salah dalam mengambil kebijkan akibat gagal panen karena guyuran hujan yang terjadi terus menerus.
Contoh saja pada tahun 1998 ketika kita mengalami “el nino” parah, terpaksa kita mengimpor beras dari negara tetangga. Begitu juga tahun 2015, ketika “el nino” melanda kembali, kita juga melakukan hal yang sama.
Perubahan iklim yang akan mengganggu produksi pertanian sebenarnya sudah diingatkan banyak pihak. Peneliti Cides Indonesia mengatakan fenomena fenomena La Nina dengan “hujan berlebih” diikuti banjir dan longsor masih dipicu angin timur dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia utara Australia, akan terjadi hingga pertengahan Februari 2017. Keadaan itu bahkan sudah diprediksi saat masih terjadi kekeringan akibat El Nino pada 2015/2016.
Selanjutnya, terjadinya perubahan iklim juga diperkuat oleh Prof Dwi Andreas. Pada bulan Juli 2017, ia telah menemukan sedikitnya 400.000 hektare lahan padi terkena serangan hama yang massif.
Peninjauan ini dilakukan bersama asosiasi bank benih tani ke sejumlah sentra padi di seluruh Provinsi Indonesia pada bulan Juli 2017.
Sehingga ia menyimpulkan bahwa produksi beras pada 2017 itu akan lebih rendah ketimbang realisasi produksi pada 2016, dan konsekuensinya adalah perlahan-lahan harga beras akan naik.
Prediksinya pun tidak salah. Berdasarkan dari data Kemendag, harga beras medium rata-rata nasional setelah Agustus 2017, terus merangkak naik. Pada bulan September 2017, harga beras tercatat Rp10.635 per kg, lalu naik menjadi Rp10.710 per kg pada Oktober, dan menjadi Rp10.793 per kg pada November 2017.
Dari sisi internal Kementerian Pertanian sendiri sebenarnya juga sudah memprediksi. Bahwa ada berbagai faktor yang menyebabkan intensitas serangan hama kali ini cukup tinggi.
Hal itu antara lain, selain pola tanam petani yang terus menerus menanam lahannya dengan padi, juga dipengaruhi oleh kondisi iklim, jenis varietas tanaman padi yang ditanam, dan faktor-faktor lain.
Menurutnya, gejala akan mengganasnya serangan hama penyakit tanaman padi, sebenarnya sudah bisa diduga dalam musim tanam sebelumnya.
Saat itu, hama wereng dan hama padi lainnya, sudah mulai menyerang sebagian areal persawahan. Namun petani masih bisa mengatasi hal itu, sehingga luas areal lahan yang terserang tidak terlalu banyak.
”Kondisi cuaca yang sebelumnya diwarnai kemarau basah, menyebabkan petani tidak lagi menggunakan pola tanam padi-padi-palawija. Namun sepanjang tahun terus ditanami padi, sehingga tidak memotong rantai perkembangan-biakan hama,” ujarnya.
Dia juga menyebutkan, jenis tanaman padi yang ditanam petani, ikut mempengaruhi luas lahan yang diserang hama. ”dalam pemilihan varietas, petani lebih cenderung menanam varietas yang memiliki hasil panen tinggi produksi yang tinggi. Padahal varietas yang produktivitasnya tinggi, belum tentu tahan hama, khususnya wereng,”
Ia juga mengakui, faktor keterbatasan jumlah pengamat hama dan organisme pengganggu tanaman, juga ikut mempengaruhi. Hal ini menyebabkan penanganan terhadap serangan hama, menjadi agak terlambat dilakukan.
”Di Banyumas saat ini, seorang pengamat harus menangani dua hingga tiga kecamatan sehingga jika terjadi serangan hama wereng, penanganannya menjadi terlambat,” ((http://republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/08/06/ou9ti7382-serangan-wereng-di-banyumas-semakin-ganas).
Berdasarkan berbagai fakta diatas, telah menunjukkan bahwa banyak sekali tantangan yang dihadapi dunia pertanian tanah air. Lagi-lagi faktor eksternal selalu menjadi hantu yang menakutkan.
Dana besar yang dikucurkan tidak menjadi jaminan tercapainya slogan swasembada pangan dalam tiga tahun. Bisa jadi, untuk mengejar dan mewujudkannya petani terpaksa melakukan tanam padi terus tanpa ada rotasi pergantian tanam.
Akibatnya, blunder besar terjadi, hama wereng menyerang dan daya dukung tanah menjadi berkurang alias tidak subur lagi akibat diberi pupuk secara terus menerus.
Kucuran dana besar yang terkonsentrasi di sisi hilir alat mesin pertanian (alsintan) seperti, combine harvester, traktor, dryer hingga rice milling seakan tidak berdaya ketika sisi hulu tak terselesaikan.
Sehingga ke depannya perlu pembagian alokasi yang benar-benar pas termasuk memperhatikan kesejahteraan penyuluh sebagai ujung tombak di lapangan.
Jika kita melihat fakta yang ada diatas, keputusan impor memanglah bisa dipahami karena diambil pada detik-detik terakhir dan memang mendesak.
Pemerintah tidak boleh “berjudi” dengan panen beras beberapa minggu kedepan yang kebenarannya tidak bisa diprediksi. Kalah akibat salah memprediksi justru akan merugikan bangsa sendiri dan bayarannya sangat mahal.
Secara logika, tidak mungkin keputusan impor ini tidak dibicarakan dan saling koordinasi antara dua Kementerian terkait. Sekali lagi, inilah potret pertanian kita yang tidak terlepas dari fenomena klasik “gangguan cuaca”.
Artikel by Julkhaidar Romadhon, Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya