bahan pokok sembako bulog

Menanti Sang Pangeran Ditengah Polemik Pangan

Polemik pangan dinegeri ini seakan tidak pernah ada habisnya. Silih berganti dan ada-ada saja masalah pangan, seakan-akan tidak berhenti. Kasus penggerebekan gudang beras di bekasi hingga polemik impor garam baru-baru ini, semakin menunjukkan bukti carut marutnya tata kelola pangan di negeri yang kita cintai ini. Baik dari sisi pemerintah yang mengeluarkan regulasi hingga sisi swasta sebagai pelaku usaha sama-sama mengalami masalah.

Mulai dari masalah data produksi dan konsumsi yang simpang siur, hingga terjadinya praktik kecurangan persaingan usaha. Tidak usah jauh-jauh kita melihat contoh, dari sisi pemerintah, penarikan Permendag yang mengatur HET (harga ecera tertinggi) beras dengan alasan akan dievaluasi cukup menjadi bukti. Selain itu, polemik data produksi garam berbeda yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah juga bisa menjadi bukti tambahan. Dari pihak swasta, penetapan tersangka Dirut PT IBU oleh Polri, juga sudah sangat cukup membuktikan terjadinya praktik kecurangan  di bidang pangan.

Sehingga lengkap sudah, masalah pangan di negeri ini baik dari sisi hulu sampai hilir. Para pengamat, akademisi, anggota parlemen hingga lembaga independen sering ditanya dalam berbagai kesempatan dan forum mengenai solusinya, lagi-lagi mereka menjawab secepatnya pembentukan “ Badan Pangan Nasional” yang sudah diamanatkan oleh UU Pangan. Namun pembentukan Badan Pangan Nasional sendiri yang diamanatkan oleh Undang-undang tersebut belum lahir juga sampai saat ini. Justru hal ini menjadi semakin aneh lagi, ketika aparat Kepolisian sudah menggunakan pasal pada UU Pangan tersebut, untuk menjerat pelaku praktik kecurangan pangan.

Tangisan Pangeran Pangan

Sang “Pangeran Pangan” yang dinantikan kelahirannya sampai sekarang belum terdengar suara tangisannya. Padahal, UU Pangan No 18 tahun 2012 mengamanatkan tiga tahun setelah diterbitkan harus segera terbentuk. Artinya, jika amanat UU dilaksanakan pangeran pangan tersebut sudah berumur 2 tahun. Ya walaupun baru lahir, yang penting tangisan sang bayi ini sudah terdengar kemana-mana. Minimal membuat takut para monster pangan yang selalu menghantui masyarakat setiap saat.

Agar pemerintah cepat melahirkan sang pangeran, maka diperlukan bukti kuat yang menyatakan bahwa negeri ini sedang mengalami gangguan dalam bidang pangan. Walaupun Menteri Pertanian ketika ditanyai Komisi IV DPR RI menyatakan bahwa akan melahirkannya pasca lebaran, faktanya sampai sekarang, tangisan sang pangeran belum terdengar. Padahal, kalau kita pikir-pikir sudah banyak bukti kuat, bahwa ada banyak masalah serta praktik curang pangan telah terjadi di negeri ini.

Catatan KPPU

Ketidakberdayaan negara dalam mengurusi bidang pangan, dapat kita lihat dari hasil sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah membongkar praktik kartel pangan. Sanksi denda dan administrasi menunjukkan bahwa mereka memang benar-benar terbukti sudah bersekongkol untuk menguntungkan kelompoknya sendiri.

Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is a group of separate business firms wich work together to increase profits by not competing with each other”. Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai.

Mudah-mudahan catatan hasil persidangan KPPU ini bisa sedikit merefresh apa-apa saja masalah pangan yang terjadi di negeri kita ini. Sehingga pemerintah menjadi terbangun dari mimpi dan cepat melahirkan sang pangeran pangan. Menurut catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) praktik kartel pangan di tanah air pernah terbongkar pada ;

(1) Garam

Pada tahun 2005 KPPU mengungkap terjadinya praktik kartel garam. Dalam hal ini garam ternyata bukan hanya bermanfaat di rumah tangga, melainkan bahan baku vital bagi sektor industri tertentu. Tidak main-main, sektor industri yang sering membutuhkan pasokan garam adalah industri perminyakan. Sektor-sektor lainnya yang cukup penting membutuhkan pasokan garam seperti industri minuman, industri kimia, industri farmasi, industri kertas, dan lain sebagainya. Begitu besar manfaat garam, tetapi bertolak belakang dengan kesejahteraan petani garam.

Kasus ini terkait “permainan” bahan baku garam yang dipasok di Sumatera Utara. Telah terjadi Kesepakatan tertutup antar produsen dalam mengatur pasokan garam yang disuplai dari Sumatera Utara. Saat itu KPPU memberikan sanksi denda kepada 7 perusahaan masing-masing sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

(2) Minyak Goreng

Pada tahun 2010, KPPU berhasil membongkar modus praktik kartel dalam industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah. Minyak goreng merupakan salah satu dari bahan kebutuhan pokok masyarakat yang kedudukannya sejajar dengan kebutuhan pokok pangan. Praktik kartel tersebut diketahui telah berlangsung selama periode April-Desember 2008 dengan modus price pararelism untuk jenis minyak goreng kemasan maupun jenis minyak goreng curah. Kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp 1,27 triliun untuk jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan sebesar Rp 374,3 miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian, kasus ini kandas melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA) atas pengajuan banding oleh sebanyak 20 produsen minyak goreng lokal.

(3) Bawang Putih

Kasus kartel bawang putih dan merah akhirnya terbongkar juga. Kenaikan harga yang tidak wajar terus menerus terjadi walaupun keran impor sudah dibuka akhirnya membuat KPPU masuk untuk melakukan penyelidikan. Hasil akhir dari investigasi yang dilakukan KPPU memutuskan bahwa telah terjadi praktik kartel disana. Hasilnya, majelis hakim memutuskan 19 pelaku usaha terlibat kegiatan kartel dan menjatuhkan denda Rp 11-921 juta. Sanksi berupa denda ditentukan berdasarkan kuota impor bawang yang didapatkan perusahaan tersebut sejak November 2012 sampai Februari 2013. menyatakan para pengusaha melakukan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dengan cara membatasi peredaran dan penjualan barang, dalam hal ini bawang putih. bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi atau memasarkan barang tertentu sehingga pasokan di pasar berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

(4) Daging Sapi

Kasus Feedloter (tempat penggemukan sapi) yang dengan sengaja menahan stok sapi demi mengejar keuntungan semata telah berujung sanksi dan denda. Mereka sengaja tidak memotong sapi impor yang mereka gemukkan untuk menunggu momen kenaikan harga yang semakin tinggi. Tiga puluh dua feedloter tersebut dianggap melakukan kartel lewat kesepakatan di dalam Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo).

Lima Hakim Komisi KPPU yang diketuai Chandra Setiawan ini menjatuhkan denda pada terlapor dengan kisaran dengan denda terendah sebesar Rp 194 juta, dan denda tertinggi sebesar Rp 21 miliar.Sebagai informasi, sebanyak 32 perusahaan feedloter tersebut dibawa KPPU ke persidangan karena dianggap melakukan praktik persaingan usaha tak sehat dengan melakukan penahanan pasokan sapi. KPPU menuding, perusahaan feedloter yang tergabung dalam Apfindo sengaja menahan pasokan sapi, agar pemerintah molonggarkan kebijakan kuota sapi yang diimpor yang dibatasi hanya 50.000 ekor pada triwulan III 2015. Hal ini membuat harga daging sapi di Jabodetabek sempat menembus di atas Rp 170.000/kg.

(5) Daging Ayam

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutus bersalah 12 perusahaan dalam praktik kartel ayam. Ke-12 perusahaan itu diputus bersalah karena terbukti bersepakat melakukan afkir dini induk ayam (parent stock) pada 14 September 2015 lalu. Bahkan, kesepakatan itu dicapai setelah serangkaian pertemuan yang dilakukan yang dilakukan sejak 25 Februari 2015.

Afkir dini induk ayam yang dilakukan para pelaku usaha, secara langsung merugikan peternak ayam skala kecil karena harga bibit ayam jadi mahal. Namun, secara tidak langsung juga merugikan konsumen karena harga daging ayam di pasaran turut terkerek naik.  Rinciannya, pada Agustus 2015, harga bibit ayam tak lebih dari Rp 4.200 per ekor. Namun setelah afkir dini 2 juta ekor induk ayam pada Oktober 2015, harga bibit ayam di tangan peternak menjadi Rp 4.500-6.000 per ekor. Dengan demikian, total kerugian peternak dari selisih itu mencapai kisaran Rp 224 miliar.

Urgensi Badan Pangan Nasional

Praktik kartel diatas, polemik impor pangan hingga perubahan atau pergantian kebijakan yang begitu cepat, merupakan cerminan belum adanya roadmap kebijakan pangan ke depan. Ini juga secara tersurat semakin menunjukkan carut marutnya penanganan pangan di negeri ini. Saling ambil alih kewenangan yang semakin terjadi, semakin menampakkan kuatnya ego sektoral suatu Kementerian atau Lembaga. Secara tidak langsung, inilah refleksi lemahnya koordinasi dan komunikasi antar lembaga yang ada dalam pemerintahan saat ini.

Andaikan Badan Pangan Nasional sudah terbentuk, maka perubahan atas Perpres satu ke Perpres yang lain tidak akan terjadi. Overlapping kebijakan satu dengan kebijakan yang lain juga tidak akan terdengar. Polemik data produksi, konsumsi yang melahirkan impor sedikit demi sedikit akan sirna. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional merupakan kewenangan lembaga pangan yang satu ini.

Semoga janji Menteri Pertanian Dr. Amran Sulaiman dihadapan Komisi IV DPR RI tanggal 7 Juni 2017, untuk mengumumkan pembentukan Badan Pangan Nasional setelah Hari Raya Idul Fitri bukan isapan jempol saja. Mari kita tunggu dan kawal bersama, agar lembaga pangan yang merupakan harapan besar bangsa ini untuk mengurusi masalah pangan benar-benar lahir dan segera terwujud. Semoga tangisan “sang pangera pangan” sudah dapat kita dengarkan bersama.

Artikel by Julkhaidar Romadhon

*) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya