beras bulog indonesia

Menyibak Fenomena Kenaikan Harga Beras

Berdasarkan pemberitaan media massa nasional, pada awal tahun 2018 hingga detik ini harga beras di beberapa daerah Indonesia mengalami kenaikan.

Harga beras telah melampaui batas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sendiri. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata beras medium di Jakarta Rp. 14.100 per kilogram, melampaui HET yang ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kilogram. Angka ini melebihi harga beras pada awal tahun lalu sekitar Rp 9.500.

Menurut, Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Sentosa bahwa kenaikan harga beras mengikuti peningkatan harga gabah di sejumlah daerah.

“Kami ikut memantau dari jaringan di 84 kabupaten/kota, kisaran harga gabah kering panen mencapai Rp 5.200-Rp 6.000. Sehingga jika dikonversi ke kering giling mencapai Rp 7.000. itu naik sekitar 25%, yang kemudian menyebabkan harga beras jenis medium ada yang mencapai Rp 11.000 di Pasar Induk Cipinang”.

Dia menambahkan, “Dipasaran pasti lebih tinggi lagi, itu rekor nasional baru. Dia memperkirakan gejolak harga beras akan terjadi sampai awal maret 2018 dan meminta agar pemerintah segera mengantisipasinya”.

Dia menyebutkan musim panen dimulai pada akhir Januari atau Februari dan membutuhkan proses sebelum beras mencapai pasar kemudian ke konsumen.

“Jadi yang diperlukan adalah menambah stok atau menambah paling tidak untuk sekitar Februari, ya sumbernya hanya dua dari dalam negeri atau impor”

Baca : Harga Beras Terus Naik, Ini Alasannya

Namun seakan berbalik 360 derajat, hal tersebut dibantah dengan confidentnya oleh pihak Kementerian Pertanian. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian, Gatot Irianto memastikan produksi beras tidak berkurang dan stok di Bulog masih sebesar 1 juta ton cukup sampai panen raya pada Februari mendatang, sehingga pemerintah tidak akan melakukan impor.

“Beras yang ada di gudang BULOG itu cukup untuk lebih dari tiga bulan. Artinya sebentar lagikan panen raya sehingga tidak ada argumen sedikitpun kita harga beras naik”.

Sesungguhnya publikasilah yang menyebabkan adanya overhitting terhadap harga pangan khususnya beras, itu yang menyebabkan orang berburu berbondong-bondong. Meski begitu Kementan akan meminta bantuan satgas pangan Polri untuk menyelidiki kemungkinan adanya spekulan yang menimbun beras.

Dikarenakan produksi melimpah dan disinyalir rantai distribusi yang bermasalah, oleh karena itulah pihak Kementan meminta bantuan Kepolisian. Namun pihak Kepolisian juga agak meragukan kebenarannya setelah menerima infromasi dari satgas pangan di lapangan.

“Satgas Pangan kita mengecek suplai, apakah cukup betul? karena ada info suplai cukup karena panen, stok juga cukup. Tapi ada pendapat juga suplai terganggu karena cuaca sekarang banyak hujan ini,” tutur Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Jakarta, Selasa (9/1).

Ia juga mengungkapkan Satgas Pangan turun ke lapangan untuk mengecek distribusi pangan setelah harga beras mengalami kenaikan. Pengecekan ini dilakukan karena menurut Tito sejauh ini suplai pangan cukup setelah memasuki masa panen, namun harga tetap mengalami kenaikan.

Tito menjelaskan bahwa beberapa faktor bisa menjadi penyebab kenaikan harga beras. Diantaranya, kurangnya pasokan dan praktek permainan harga oleh oknum.

Namun, sebenarnya sinyal atau tanda-tanda kenaikan semestinya sudah ditangkap satu bulan yang lalu. Hal ini terungkap ketika ketua KPPU melakukan kunjungan ke Pasar Beras Induk Cipinang untuk mengecek stock beras yang ada.

Ketua Umum Koperasi Pedagang Pasar Induk Cipinang Jakarta (KOPPIC) Zulkifly Rasyid mengatakan bahwa ia meragukan pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahwa pasokan beras masih aman.

Faktanya pasar cipinang sudah kehabisan stock beras medium, notabene paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia, sejak tiga bulan lalu. (18/11). “Saya bingung, kami disini sudah kosong beberapa pedagang menjual beras premium. Beras medium rata-rata jenis IR 64 kelas 2 dan 3 sudah tidak ada. Tapi pemerintah bilang ada, dimana mereka simpan?

Kesaktian “Rastra”

Kejadian ini sebenarnya sudah terulang di waktu awal pemerintahan Presiden Jokowi dan anehnya tidak dijadikan pembelajaran. Pada awal tahun 2015, ketika ada wacana penggantian rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) maka Rastra pada waktu itu tidak jadi untuk disalurkan.

Pada saat yang sama pemerintah masih sibuk mematangkan rencana penyusunan pola e-money atau yang sekarang dikenal dengan istilah BPNT untuk menggantikan program rastra.

Namun apa yang terjadi saat itu? harga beras di pasar induk beras cipinang melonjak kenaikannya hingga Rp 300-500 per hari akibat kekurangan pasokan dari sejumlah daerah.

Melihat kondisi seperti itu, maka Presiden Jokowi langsung menginstruksikan untuk menyalurkan rastra serentak di seluruh Indonesia dan menunda pengkajian program e-voucher.

Bagaimana dengan Pemerintahan sebelumnya yang justru lebih hebat lagi tantangannya. Dimana saat itu ancaman krisis global jilid 2 pada tahun 2008 sudah di depan mata.

Yang terjadi adalah, pemerintahan waktu itu sudah belajar dari krisis jilid pertama pada tahun 1998. Rastra dilahirkan sebagai resolusi untuk mengatasi kriris moneter dan pangan yang sudah memporak-porandakan sendi perekonomian bangsa.

Rastra yang merupakan salah satu jaring pengaman sosial dinilai sangat efektif membantu perekonomian masyarakat bawah yang terkenal dengan daya belinya yang rendah.

Logikanya, tanpa krisis saja mereka daya belinya rendah apalagi terkena krisis sungguhan. Pada tahun 2008, justru pemerintah menambah pagu rastra dimana semula tahun 2007 sebanyak 15,7 juta RTS menjadi 19,1 juta RTS. Dari rastra dengan alokasi sebanyak 12 bulan menjadi 15 bulan alokasi.

Jumlah sasaran ini, merupakan jumlah sasaran tertinggi selama RASTRA disalurkan dan mencakup semua rumah tangga miskin berdasarkan hasil pendataan program perlindungan sosial tahun 2008. Semua ini dilakukan guna meredam gejolak krisis global agar dampaknya tidak begitu terasa bagi masyarakat.

Baca : Kesaktian Rastra

Kenaikan harga beras yang terus-menerus harus cepat dan segera diantisipasi. Imbas yang paling ditakutkan adalah kepada rakyat kecil dan miskin yang daya belinya sudah rendah. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah memiliki dua pilihan. Pertama, mengatasi sisi supply (pasokan) dan kedua menanganinya dari sisi demand (permintaan).

Permasalahannya sekarang adalah banyak pihak telah meragukan sisi pasokan. Mereka mempertanyakan data produksi yang mengatakan pasokan cukup dan aman untuk beberapa bulan ke depan. Data produksi subjektif yang terus diperdebatkan sampai dengan sekarang.

Baca : Mempertanyakan Produksi Beras

Lalu bagaimana dengan sisi permintaan? ada dua opsi yang bisa dilakukan pemerintah pada sisi ini; pertama menyalurkan rastra serentak diseluruh daerah dan kedua melakukan operasi pasar secara massif.

Biasanya momen kenaikan harga beras muncul ketika hari besar keagamaan, masa paceklik, hingga akhir tahun. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah selalu mengandalkan senjata pamungkasnya yang bernama “operasi pasar”.

Dengan sekejap kota-kota yang mengalami kenaikan harga, akan dibanjiri dengan komoditas dengan harga di bawah harga pasar. Operasi pasar ini ada dua jenis (1) Penyaluran Beras Sejahtera (Rastra) yang secara filosofi sebenarnya bentuk intervensi pemerintah dari sisi permintaan dan (2)  Operasi pasar, yang merupakan senjata pemerintah untuk menstabilkan harga dari sisi supply atau penawaran.

Baca : BULOG dan Operasi Pasar

Opsi pertama, pemerintah justru sekarang sudah mempersiapkan penggantinya yaitu Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang mekanismenya diserahkan kepada pasar. Sedangkan opsi kedua, pemerintah juga sudah melakukannya sekarang secara massif dan besar-besaran.

Namun, apa yang terjadi ternyata harga tetap saja bertengger tinggi dan tidak mau turun kembali. Penyebabnya, karena harga yang ditawarkan sedikit lebih rendah dari harga beras di pasaran dan tentu sangat menyulitkan masyarakat miskin yang daya belinya sudah rendah.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah sekarang? Sebenarnya solusinya mirip dengan kejadian waktu lalu. Sebelum harga benar-benar terlanjur naik, pemerintah seharusnya menambah jatah rastra di masyarakat.

Dengan penambahan bulan alokasi yaitu untuk bulan ke 13, 14 dan seterusnya hingga harga benar-benar mampu teredam. Namun jika sudah melewati akhir tahun, opsi yang cepat adalah dengan menyalurkan rastra untuk beberapa bulan alokasi serentak di seluruh Indonesia.

Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan stock beras pemerintah di BULOG yang sudah menipis sedangkan panen yang digadang-gadang tidak kunjung datang.

Disisi yang lain, beras disalurkan untuk rastra beberapa bulan pada bulan Januari yang tentu akan menguras stock beras.

Opsi dan jalan terakhir yang bisa ditempuh, yang sangat genting dan penting, mau tidak mau yaitu dengan menambah pasokan dari luar.

Isu yang tidak popular namun jika melihat situasi seperti ini dan untuk kepentingan bangsa yang lebih besar tentu tidak masalah.

Artikel by JULKHAIDAR ROMADHON, Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya