Artikel ini sengaja diturunkan untuk memperkuat argumentasi dari artikel ekonom kawakan Faisal Basri. Patut kita kaji bersama pemikirannya yang berjudul “Menghindari Kutukan Siklus Krisis 20 tahunan” yang ditulisnya dalam forum kompasiana.
Pemikiran dan Kapabilitas beliau tidak perlu kita ragukan lagi, seorang ekonom, politisi sekaligus akademisi yang mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Dalam artikelnya, ia mengatakan bahwa dua puluh tahun setelah merdeka, atau sekitar tahun 1965 Indonesia mengalami krisis politik besar dan berdarah yang membawa keruntuhan rezim Orde Lama. Dimana, perekonomian morat marit, laju inflasi meroket ke atas 650 persen dan dibarengi kelangkaan barang yang sangat masif.
Dua dekade berikutnya tepatnya tahun 1998, kembali terjadi krisis besar yang ditandai dengan kejatuhan rezim. Krisis ekonomi terparah dalam sejarah Indonesia merdeka yang membawa perekonomian ke jurang amat dalam. Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,1 persen, jauh lebih dalam ketimbang tahun 1963 yang hanya 2,3 persen.
Selain itu, Faisal Basri dalam artikelnya juga mengatakan bahwa Krisis 1965 dan 1998 lebih dipicu oleh persoalan internal. Perekonomian Indonesia relatif lebih tahan banting menghadapi krisis global. Bahkan, beberapa kali krisis global berdampak positif bagi Indonesia, setidaknya tidak membuat perekonomian terpuruk atau mengalami kontraksi.
Krisis finansial global tahun 2008, misalnya, membuat perekonomian dunia mengalami kontraksi, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan positif cukup tinggi, yaitu 4,6 persen.
Statement terakhir ini yang sangat menarik dan saya akan ulas dari sudut pandang sebagai seorang pengamat kebijakan pertanian. Mengapa menarik.. ? ya, karena pada tahun 1965 dan tahun 1998 ketika menghadapi krisis kita tidak mampu melewatinya. Namun, justru ketika tahun 2008 krisis global menghampiri kembali kita mampu melewatinya dan perekonomian malah tumbuh diatas negara-negara lain.
Hal apa yang menjadi penyebab utama sehingga Indonesia mampu kokoh berdiri terhadap terpaan badai krisis.. ? apakah Indonesia punya ajian pamungkas sebagai resep anti krisis.. ? atau apakah karena pemerintah waktu itu menganut prinsip Bung Karno “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah yang sama maknanya bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.
Ya… jawaban terakhirlah yang sangat tepat menggambarkan pemerintahan waktu itu. Artikel saya sebelumnya yang berjudul “Kesaktian RASTRA” sebenarnya hampir sama dengan pemikiran yang disampaikan ekonom Faisal Basri, serta memperkuat pernyataan Sjahrir (1986) “siapa yang menguasai pangan, maka dia yang akan menguasai orang”.
Dalam artikel tersebut dikupas, bagaimana RASTRA menjadi jaring pengaman sosial yang efektif dalam meredam gejolak krisis, agar dampaknya tidak begitu dirasakan masyarakat lapisan bawah. Silahkan membaca artikel-artikel saya sebelumnya biar lebih detail dan paham lagi. Namun disini saya akan kembali meringkas, siapa tahu ada yang belum membacanya atau terlewat.
RASTRA menjadi pembeda antara krisis tahun 1965, krisis 1998 dan krisis 2008.
Krisis Tahun 1965
Kita tentu ingat dengan isi Tritura yang didengung-dengungkan oleh rakyat bersama mahasiswa pada tahun itu. Salah satu bunyi tuntutannya yang terkenal yaitu turunkan harga barang yang dalam hal ini adalah beras. Harga beras pada tahun tersebut sangat tinggi, antrean mengular dimana-mana, beras menjadi barang langka.
Krisis pangan telah membuat rakyat banyak yang mengalami kelaparan. Tiwul, gaplek dan bulgur menjadi santapan utama pengganti beras yang telah menjadi barang mewah karena mahal dan kelangkaannya. Imbas dari semua itu adalah krisis politik besar dan berdarah yang membawa keruntuhan rezim Orde Lama. Pertanyaan besarnya adalah kemana BULOG waktu itu… ? BULOG waktu itu belum lahir, baru pada 10 Mei 1967 Badan Urusan Logistik dibentuk.
Krisis Tahun 1998
Krisis yang bermula dari melemahnya Bath Thailand, Ringgit Malaysia yang akhirnya merambat ke rupiah Indonesia. Krisis yang memporak-porandakan bangsa ini benar-benar dahsyat, bagaikan kombinasi angin topan tornado yang bercampur tsunami yang berimbas juga runtuhnya rezim orde baru.
Dimana pada tahun tersebut, berbarengan dengan krisis moneter, meningkatnya suhu politik dan kemarau panjang. Serta potensi bahaya kelaparan yang dapat memicu keruruhan sosial sudah berada di depan mata.
Sebuah situasi yang sangat sulit dan akhirnya memaksa kita untuk mengundang Lembaga Moneter Dunia (IMF). Istilah “tidak ada makan siang yang gratis” terjadi dalam kesepakatan ini. Konsensus Washington dalam wujud Letter Of Intent (LOI) harus dituruti bagi setiap negara yang mendapat bantuan kredit.
Mau tidak mau, suka atau tidak suka bangsa ini harus menurutinya, termasuk melepas keberadaan negara dalam mengatur pasar pangan sembilan bahan pokok melalui BULOG (Badan Urusan Logistik). Prinsip liberalisasi, mekanisme pasar, neoliberalisme harus menjadi menu utama dalam setiap aktivitas perekonomian.
Pertanyaannya sekarang, dimana program RASTRA yang sakti pada waktu itu.. ? Jawabannya, justru RASTRA lahir dan baru terpikirkan akibat krisis tahun 1998 tersebut. Untuk mengatasi krisis pangan, serta menghindari kemungkinan terjadinya krisis sosial, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk memberikan subsidi pangan bagi masyarakat melalui Operasi Pasar Khusus (OPK).
Ternyata, langkah yang diambil pemerintah waktu itu sangatlah tepat. Program pemberian subsidi pangan Raskin, seiring berjalannya waktu terbukti efektif meringankan beban pengeluaran masyarakat. Dikarenakan, banyaknya masyarakat umum yang membutuhkan, maka pada tahun 2002 sampai dengan sekarang program tersebut sedikit dimodifikasi dengan menerapkan system targeting, yaitu membatasi sasaran dengan hanya membantu kebutuhan pangan bagi Rumah Tangga Miskin (RTM) saja.
Krisis tahun 2008
Nah.. tahun 2008 merupakan bukti bahwa RASTRA benar-benar sakti meredam krisis ekonomi, setelah 10 tahun dijalankan semenjak tahun 1998. RASTRA merupakan salah satu jaring pengaman sosial dinilai sangat efektif membantu perekonomian masyarakat bawah yang terkenal dengan daya belinya yang rendah.
Logikanya, tanpa krisis saja mereka daya belinya rendah apalagi terkena krisis sungguhan. Pada tahun 2008, pemerintah menambah pagu/jatah RASTRA dimana semula tahun 2007 sebanyak 15,7 juta RTS menjadi 19,1 juta RTS dengan kuantum sekitar 3 juta ton beras.
Jumlah sasaran ini, merupakan jumlah sasaran tertinggi selama RASTRA disalurkan dan mencakup semua rumah tangga miskin berdasarkan hasil pendataan program perlindungan sosial tahun 2008. Semua ini dilakukan guna meredam gejolak krisis global agar dampaknya tidak begitu terasa bagi masyarakat lapisan bawah.
Kesuksesan menyerap gabah beras petani oleh BULOG pada tahun 2008 sebanyak 3,2 juta ton, dilanjutkan pada tahun 2009 disaat krisis global belum mereda. Pengadaan terbanyak sepanjang sejarah dilakukan BULOG sebanyak 3,7 juta ton, dimana produksi beras nasional sebanyak 64.4 juta GKG atau setara 40 juta ton beras.
Sebuah kolaborasi tugas yang sangat apik, disatu sisi petani kesejahteraannya meningkat dangan pembelian gabah/beras mereka. Disisi lain, masyararakat miskin terbantu dengan program subsidi beras yang mereka tebus dengan harga murah. Dengan pengadaan melimpah, pemerintah menjadi lebih leluasa dalam mengintervensi pasar.
Memperbanyak penyaluran raskin merupakan strategi konkret, campur tangan yang dilakukan pemerintah pada sisi supply (penawaran) atau sisi produsen. Penambahan kuantum dan jumlah bulan penyaluran semakin membuat harga beras stabil di pasaran.
Sehingga masyarakat paling bawah yang biasanya paling rentan terhadap krisis menjadi terlindungi. Tidak ada kepanikan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Gejala “panic buying” tidak terdengar dan menjalar seperti pada krisis pangan 1965 dan 1998.
Konklusi
Namun jika kita merujuk artikel dari ekonom Faisal Basri tentang siklus krisis 20 tahunan, maka artinya krisis tersebut akan terjadi pada tahun 2018, yang berarti juga tahun depan. Tapi sayang seribu sayang, justru pada tahun tersebut sebuah kontradiksi akan terjadi.
RASTRA yang dikelola oleh BULOG dan sudah terbukti ampuh, akan digantikan dengan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) yang kental dengan aroma liberalisasi pasar. Semua pihak boleh memasok, bebas berkompetisi dan bukan hanya BULOG sebagai pemasok tunggal.
Negara sengaja menarik diri untuk mencampuri pasar untuk membiarkan swasta lebih berperan. Walaupun faktanya, KPPU sudah mengindikasikan adanya praktek kartel beras yang besar di sejumlah daerah sentra produksi padi.
Mudah-mudahan ramalan diatas tidak akan pernah terjadi dan pemerintah segera sadar untuk menghindari perjudian yang peruntungannya belum bisa dipastikan.
Artikel by Julkhaidar Romadhon