Jika ada yang menilai dan meyakini status Bulog sebagai perum ialah desain kelembagaan yang baik bagi ketahanan pangan nasional, inilah saatnya berpikir ulang.
Desain ulang itu penting agar komplikasi antara tugas sosial dan tujuan komersial yang menyatu padu dalam tubuh Bulog tidak selalu berulang.
Perlu dicari dan diformulasikan kelembagaan yang baru agar Bulog bisa bekerja optimal. Momentumnya pas, pergantian Direktur Utama Bulog dari Djarot Kusumayakti ke Budi Waseso, 27 April 2018.
Negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok. Kegemilangan itu dicapai melalui pergulatan ekonomi-politik panjang.
Catatan penting dari prestasi itu ialah adanya sejumlah instrumen penting yang memungkinkan stabilisasi dilakukan.
Berbekal berbagai instrumen, termasuk pendanaan berbunga rendah yang seolah-olah tidak terbatas melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia, monopoli komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dan captive market (PNS+TNI), Bulog sebagai pengemban stabilisasi harga benar-benar berfungsi powerfull.
Posisinya yang langsung di bawah presiden menggunting birokrasi panjang dan berbelit.
Dua mandat penting Bulog dari pemerintah ialah pengamanan harga dasar gabah (HDG) dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah.
Menurut penelitian David Dev (1999), selama 20 tahun (1973-1997) hanya 10 kali dalam 240 bulan (4%) harga gabah jatuh di bawah HDG. Sementara itu, di Filipina, jumlahnya mencapai 72 kali dalam 279 bulan (26%).
Keberhasilan fungsi stabilisasi harga dan menjaga stok penyangga pangan tidak cuma ditentukan ketepatan waktu pembelian, penguasaan stok, dan pelepasan stok di saat yang tepat, tapi juga bergantung pada ketersediaan dana di Bulog (KLBI).
Namun, karena bersifat birokratis dan disorganized, segala aktivitas Bulog lebih banyak pertimbangan politis (ketimbang bisnis).
Posisinya yang banci ketika berstatus lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), menjadi sumber dari segala sumber terjadinya kasus nonbujeter Bulog yang sering menjadi pemicu keguncangan politik di Indonesia, seperti dimakzulkannya Presiden Gus Dur, diseretnya Akbar Tandjung ke meja hijau, dan dikirimnya Beddu Amang, Rahardi Ramelan, serta Sapuan ke penjara.
Sampailah Indonesia jadi pasien IMF setelah krisis menerjang negeri ini. Lewat Letter of Intent (LoI), September 1998, telah terjadi penggerusan habis-habisan terhadap bisnis dan berbagai privilege Bulog.
Sejak itu pasar Indonesia diserbu beras impor sampai 7,1 juta ton. Pasar domestik juga dibanjiri gula dan buah-buahan Thailand, paha ayam, dan kedelai transgenik AS, dan daging sapi Australia.
Puncaknya, Mei 2003 Bulog harus berubah status dari LPND menjadi perum yang harus untung. Karena merasa bersalah, berbagai koreksi dilakukan pemerintah.
Salah satunya, setelah status Bulog sebagai state trading entreprise (STE) di WTO dicabut pada 1998, pada 2002 dinotifikasi kembali.
Pemerintah memberikan hak khusus kepada Bulog, yakni ‘undertakes the government mandate to import and distribute rice, and maintain national rice reserve stock for price stabilisation and for emergency purposes’.
Ini terkait dengan pengadaan beras dalam negeri untuk mengamankan harga pembelian pemerintah (HPP), penyaluran raskin, cadangan beras nasional dari kredit komersial yang dijamin pemerintah, dan mengelola impor beras G to G, counter trade dan food aid.
Ada perbedaan penting antara STE saat ini dan dulu, dulu banyak komoditas dan monopoli impor, kini hanya pada beras dan tak monopoli.
Pelan-pelan pemerintah melakukan koreksi. Monopoli impor beras diberikan per Agustus 2007, dan–sesuai dengan Perpres 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional–Bulog diberi mandat mengurus 11 komoditas: beras, jagung dan kedelai, serta (bersama BUMN lain bisa menangani) gula, minyak goreng, bawang merah, terigu, cabai, daging sapi, daging, dan telur ayam.
Tugasnya tidak hanya menjaga ketersediaan pangan, tapi juga harus mengamankan harga di tingkat produsen dan konsumen.
Bidang usaha tak hanya logistik, tapi juga diperluas ke produksi, perdagangan dan jasa, serta industri berbasis pangan. Ada juga tugas-tugas ad hoc.
Meskipun demikian, kinerja Bulog belum begitu menggembirakan. Keuntungan korporasi bisa dipertahankan, bahkan naik selama kepemimpinan Djarot Kusumayakti.
Namun, selama bertahun-tahun target penyerapan beras tidak tercapai. Stabilisasi harga pangan juga tidak optimal dilakukan. Ini terjadi karena sejumlah hal.
Pertama, atasan Bulog terlalu banyak: 9 kementerian/lembaga. Akibatnya, proses pengambilan keputusan korporasi lambat. Bulog terkesan tidak responsif terhadap masalah dan perubahan.
Kedua, dukungan pendanaan kurang optimal. Saat ini Bulog beroperasi memakai kredit komersial. Padahal, merujuk UU No 18/2012 tentang Pangan, tugas-tugas sosial yang diemban Bulog saat ini ialah tugas pemerintah.
Ketika tugas itu diserahkan ke Bulog, segala konsekuensi yang timbul dari tugas sosial harus ditanggung pemerintah, termasuk dana. Dana komersial membuat Bulog kurang optimal dalam bekerja.
Ketiga, menggabungkan tugas sosial dan tugas komersial. Sebagai Perum, tugas utama direksi Bulog ialah mencari laba sehingga bisa menyetorkan keuntungan pada negara.
Di sisi lain, tugas pelayanan publik (public service obligation/PSO) potensial membuat Bulog merugi, bahkan rugi besar.
Jika merugi, direksi bisa dipecat setiap saat karena dianggap tidak perform. Tidak peduli dia merugi karena tugas PSO atau bukan.
Menggabungkan dua fungsi Bulog, antara tujuan memupuk laba dan fungsi sosial, akan menimbulkan komplikasi dan konflik kepentingan.
Kedua tujuan itu sulit bersatu karena fungsi sosial kebijakan sering kali bersifat sekunder. Karena sifatnya sekunder, misi kebijakan yang bersifat sosial, seperti menstabilkan harga gabah/beras, menyalurkan subsidi, menyerap beras/gabah petani dan menjaga stok pangan nasional, sering kali jadi kambing hitam.
Jika tidak ingin masalah-masalah ini terus berulang, perlu dicari solusi.
Pertama, mendesain ulang kelamin Bulog. Bulog dipilah dua: BUMN yang bergerak di jasa logistik dan institusi yang berfungsi sebagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) murni yang dibiayai APBN.
Lembaga pertama murni mencari laba, sedangkan yang kedua bertugas menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga pangan.
Kedua, Bulog LPNK langsung di bawah presiden agar proses pengambilan keputusan sederhana.
Ketiga, membentuk badan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU Pangan No 18/2012. Badan pangan inilah yang merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan semua pembangunan pangan.
Bulog bisa jadi tangan kanan lembaga ini untuk menangani tugas pengadaan, pengelolaan stok/cadangan, dan stabilisasi harga.
Penulis: Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan