Penundaan BPNT, Langkah Tepat Presiden

Presiden Jokowi mengambil langkah tepat untuk menunda pelaksanaan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Presiden mendapatkan masukan banyak pihak, bahwa program BPNT yang diuji cobakan menghadapi berbagai kendala.

Beliau tidak ingin program BPNT pada tahun 2018 terlalu dipaksakan.

Keputusan tersebut seakan mengejutkan publik karena ditengah gencar-gencarnya Kementerian Sosial (Kemensos) untuk menyiapkan program BPNT.

Usai membuka acara persiapan pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2017, Presiden Jokowi langsung memimpin rapat terbatas (ratas) bersama beberapa menteri kabinet kerja.

Ratas tersebut mengenai evaluasi pelaksanaan program beras sejahtera (rastra) dan program bantuan pangan non tunai, Istana Bogor selasa (5/12/2017) (m.kontan.co.id).

Sejak 2017, Presiden Jokowi mengatakan bahwa penyaluran rastra telah diubah skemanya dari yang langsung menjadi non tunai, melalui kartu yang telah diujicobakan di 44 kota dan melibatkan 1,2 juta penerima manfaat.

Dari uji coba tersebut, Presiden meminta untuk tidak ditambah dahulu melainkan dicek dan dievaluasi dengan betul.

Beliau juga mengingatkan bahwa di bulan Maret 2018 akan ada Susenas yang jadi perhitungan angka kemiskinan, BPS juga akan bertanya apakah dalam 4 bulan terakhir menerima rastra.

“jangan sampai saya minta ada keterlambatan, saya minta BULOG mengikuti, Mentan, BUMN, Menko PMK bisa ikuti supaya beras ini sampai ke penerima manfaat tanpa terlambat satu hari pun”.

Pernyataan Presiden yang terungkap memang benar dan sesuai fakta kondisi terakhir di lapangan.

Realitanya memang uji coba BPNT pada tahun 2017 yang telah diujicobakan di 44 kabupaten/kota memang mengalami berbagai kendala dan hambatan.

Hal ini berdasarkan hasil rapat koordinasi (rakor) yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI, Andi Z.A. Dulung di Hotel Sheraton Bandar Lampung Jum’at 4 Agustus 2017. (Detik Lampung).

Keterlambatan BPNT terlihat dari jumlah serapan yang baru 18 persen. Kendalanya antara lain; lambatnya distribusi Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) penerima BPNT, bantuan Rp 110.000 ke KKS terlambat, lambatnya pendirian e-waroeng, distribusi barang dari Bulog sering mengalami keterlambatan, mesin EDC dari BRI sering mengalami error hingga terdapat beberapa nama yang dobel dan beberapa nama yang salah.

Kesulitan lain dalam penerapan BPNT di lapangan adalah penyalahgunaan kartu. Sangat sulit memastikan bahwa masyarakat pemegang kartu tidak membeli barang-barang kebutuhan lain.

Jika BULOG yang menyediakan seperti tahun ini yaitu komoditas beras 10 Kg dan gula 2 Kg, maka pengawasan penggunaan kartu bisa dilakukan.

Namun, tahun 2018 penyedia kebutuhan pokok untuk BPNT ini tidak lagi pemerintah yang dalam hal ini BULOG, tetapi siapa saja bisa (free market).

Sehingga, penyalahgunaan kartu seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak bisa saja terjadi.

Sebenarnya pernyataan ketakutan Presiden Jokowi akibat keterlambatan rastra yang berdampak kepada indikasi ekonomi, sudah diutarakan sejak sidang kabinet paripurna di Istana Merdeka bulan Juni 2017.

Sehingga tidak perlu menjadi barang aneh. Waktu itu keterlambatan rastra disebabkan oleh kesengajaan Mentan menahan penyaluran rastra selama 4 bulan sejak Januari 2017.

Mentan beralasan penahanan penyaluran beras rastra untuk menyelamatkan petani. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah menghemat biaya operasional seanyak 3,9 triliun.

Beliau mengatakan “keterlambatan pembagian rastra akan berdampak pada hasil indikasi ekonomi yang telah disurvey oleh BPS. Kejadian ini beliau harapkan tidak terjadi lagi. Mestinya kalau ada hal yang penting seperti ini Presiden diberitahu, sehingga dampak yang ada dari keterlambatan ini benar-benar tidak dirasakan langsung oleh masyarakat.

DAMPAK PERALIHAN RASTRA MENJADI BPNT

Rastra harus dipandang Pemerintah sebagai instrumen kebijakan ekonomi bukan dipandang sebagai kebijakan sosial.

Dihulu, raskin bisa dipandang sebagai indirect income transfer karena membeli hasil produksi petani yang rentan terhadap fluktuasi harga saat panen raya.

Dihilir, raskin adalah transfer energi untuk meningkatkan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan produktivitas Sumber Daya Pemerintah (SDM).

Apabila, bantuan beras diganti dengan uang berarti tidak ada lagi kewajiban BULOG untuk membeli gabah/beras petani untuk memenuhi pagu Raskin.

Akibatnya, tidak ada lagi instrumen stabilisasi harga gabah/petani sehingga harga rentan mengalami fluktuasi.

Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) merupakan bentuk implementasi konsep liberalisasi pangan.

Dimana pemerintah menyerahkan harga beras yang dibeli masyarakat penerima manfaat kepada agen.

Warga miskin bebas memilih harga beras yang kualitas dan harganya lebih mahal dari rastra.

A. Swasembada Pangan

Dengan beralihnya program Rastra menjadi BPNT maka tidak adalagi kewajiban BULOG untuk memenuhi rastra sebanyak 2,78 juta ton.

Artinya, pengadaan BULOG ke depan tidak akan sebanyak tahun sebelumnya yaitu dikisaran angka 4 juta ton.

Sehingga, target pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dengan menyerap gabah petani sebanyak 4 juta ton jelas tidak tercapai.

B. Stabilisasi harga ditingkat petani

Dampak berkurangnya penyerapan gabah/beras petani tentu adalah kejatuhan harga gabah/beras petani itu sendiri pada saat panen raya.

Kondisi ini akan memperkuat para tengkulak/spekulan/mafia beras untuk memainkan perannya lebih besar dalam menentukan harga gabah/beras petani.

Pada akhirnyalah, petani yang rata-rata sudah miskin makin bertambah miskin lagi.

C. Stabilisasi harga ditingkat konsumen

Program Rastra dan operasi pasar merupakan senjata andalan pemerintah selama ini untuk mesntabilkan harga di pasaran.

Harga beras yang stabil akan menjamin jalannya roda perekonomian bangsa. Penghapusan program rastra yang diperuntukkan untuk warga miskin sebanyak 15,8 juta RTS, akan membuat tingginya permintaan beras dipasaran.

Sehingga sudah dapat dipastikan dampaknya dalam menghambat roda perekonomian.

Keadaan ini juga muaranya akan membuat masyarakat miskin baik yang berada di pedesaan dan perkotaan makin bertambah miskin.

Sehingga dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan dampak negative yang lebih besar akibat diterapkannya program BPNT.

Maka sungguh tepat langkah yang diambil Presiden dengan menginstruksikan jajaran dibawahnya agar menunda dan mengevaluasi pelaksanaannya.

Artikel by. Julkhaidar Romadhon