Kantor Perum BULOG

Peran BULOG dalam Mengendalikan Harga Beras

Apa yang anda bayangkan ketika menyebut kata “beras?” Pasti yang terbayang adalah sosok petani tua dengan topi caping lusuh, sedang mencangkul tanah pada hamparan sawah yang menghijau.

Ada rasa empati dan kasihan kepada pak tani dan juga kepada jutaan orang lainnya yang menggantungkan hidup mereka dari pekerjaan bertani ini.

Doa yang sering dipanjatkan adalah semoga hasil panen dan harga gabah tetap bagus agar para petani dapat melanjutkan hidup mereka dengan layak…

Apa yang saya bayangkan ketika menyebut kata “beras” ini? Saya akan “mengelus perut” saya, sama seperti 260 juta jiwa saudara saya sebangsa setanah air “sipemangsa beras” ketika mendengar harga beras mulai merangkak naik!

Apakah harapan terbesar dari ratusan juta jiwa kaum marjinal bahkan kaum menengah itu ketika menyebut “biaya hidup?”

Harapannya adalah, “semoga harga beras tidak naik agar kita tidak makan nasi aking…”

Sayur tanpa garam itu memang tidak enak karena rasanya hambar. Akan tetapi, ketika makanan sehari-hari kita adalah nasi aking, maka sayur tanpa garam itu pun adalah sebuah kenikmatan yang tetap bisa disyukuri.

Cerita beras catu berkutu memang adalah dongeng masa lalu. Akan tetapi cerita nasi aking ini justru tayang setelah sinetron fenomenal, “Tukang Bubur Naik Haji” tayang di RCTI…

Kebetulan beberapa dari Kompasianer yang menulis artikel tentang beras ini adalah “pemakan beras enak” yang memorinya tak lepas dari “topi caping pak tani” tadi.

Karena tidak pernah memakan atau membayangkan nasi aking, maka artikel mereka tersebut sepertinya tidak mewakili kepentingan masyarakat pemakan nasi aking…

Beras itu seperti neraca/timbangan yang harus seimbang antara sisi kiri (petani) dan sisi kanan (konsumen) Pemerintah lalu hadir ditengah untuk menyeimbangkan kedua sisi tersebut agar tetap harmonis dalam kesetaraan.

Calo, mafia, pemburu rente, penimbun beras, koruptor dan para “tikus beras” lainnya itu ibarat angin yang ingin menggoyangkan neraca tadi demi keuntungan pribadi/kelompok mereka.

Sejatinya Bulog adalah perpanjangan tangan pemerintah untuk menjadi penyeimbang. Ketika panen raya tiba, Bulog berkewajiban untuk membeli seluruh hasil panen petani tersebut dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah.

Ini adalah harga mati yang tidak bisa ditawar karena disini posisi Bulog bukanlah pedagang melainkan sebagai penyangga hasil panen petani!

Inilah kewajiban pemerintah (Bulog) untuk mendukung rakyatnya (petani)

Sebaliknya ketika harga beras dipasaran merangkak naik, Bulog berkewajiban untuk melepas beras ke pasar (at any cost) untuk mengendalikan harga beras agar sesuai dengan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Ini adalah harga mati yang tidak bisa ditawar juga karena disini posisi Bulog adalah pengendali pasar!

Inilah salah satu kewajiban dari pemerintah (Bulog) untuk mendukung rakyatnya (konsumen)

Apa yang terjadi saat ini adalah kegagalan Bulog untuk melaksanakan amanah tersebut. Dalam hal kenaikan harga beras yang sangat tajam sekarang ini, kegagalan tersebut hanya disebabkan oleh satu faktor saja yaitu kurangnya stok beras di gudang Bulog! Mengapa stok beras Bulog tidak cukup?

Pertamaproduksi padi petani tidak ada.

Tiga empat bulan lalu musim tanam padi secara serempak dimulai. Tentu saja 3-4 bulan terakhir ini tidak ada panen! Ini terkait kepada musim tanam petani yang memang tidak setiap bulannya.

Biasanya petani secara serempak menanam padi dua kali dalam setahun. Hal ini juga terkait untuk pengendalian hama yang sering menyerang tanaman (seperti tikus, wereng, walang sangit dan sebagainya).

Jadi krisis kenaikan harga beras ini memang sering terjadi pada saat “burung-burung mulai menyerbu persawahan” (mendekati musim panen)

Akan tetapi musim tanam ini selalunya hampir sama saja sejak “Pak Harto menghisap cerutu sambil merayakan swasembada beras”.

Artinya “pada musim tanam padi, petani tidak akan menjual gabah lagi karena gabahnya sudah habis! Pemerintah (Bulog) tentu saja sudah mengetahui hal ini karena peristiwa ini rutin terjadi.

Pada zaman dahulu, petani biasanya mempunyai lumbung padi untuk menyimpan padi hasil panen, yang sekaligus juga berfungsi sebagai “simpedes” (tabungan).

Ketika petani memerlukan uang (misal, untuk biaya sekolah anak dan keperluan lainnya) maka petani akan menjual gabah dari lumbung tersebut.

Petani zaman now tidak lagi memiliki lumbung. Jangankan lumbung, sawah pun tiada. Mereka ini hanyalah kuli atau buruh tani diatas tanah majikan dari kota!

Hedonisme, togel, sabu, inex, cafe remang-remang dan setan kredit yang dibawa oleh reformasi ke desa telah memiskinkan para petani marjinal itu.

Ijon telah menjerat petani bahkan sebelum musim tanam dimulai! Para petani itu kini bahkan sudah mulai membeli beras untuk dimakan.

Ketika bencana membuat sawah mereka puso, maka mereka itu akan seperti tikus yang mati kelaparan dilumbung padi!

Kedua, Bulog Tak berdaya

Masih ingat kasus beras “Maknyus” tahun lalu yang menghebohkan itu? Kasus “memalukan” yang melibatkan banyak wajah para petinggi ketika melakukan penggrebekan ke gudang PT. IBU itu akhirnya raib tak berbekas karena hal itu ternyata telah membuat wajah mereka itu tersipu malu…

Tapi yang pasti, PT. IBU membeli gabah petani dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pembelian Bulog! Akibatnya petani lebih suka menjual gabah kepada PT. IBU.

Artinya apa? Kini gabah petani itu sebagian besar lebih banyak mendekam di gudang PT. IBU daripada di gudang Bulog! Tetapi hal ini justru bagus sekali.

Tugas Bulog adalah menyangga hasil panen petani ketika harga gabah jatuh! Ketika petani lebih suka menjual gabah ke pedagang, itu bukanlah dosa Bulog! Jadi dalam hal ini PT. IBU justru telah membantu Bulog secara tidak langsung.

Untuk menambah cadangan stoknya, Bulog seharusnya ketika itu melakukan impor beras terbatas dari Vietnam karena harganya jauh lebih murah daripada harga gabah petani.

Tetapi hal itu tidak dilakukan Bulog? Mengapa? Karena Bulog pasti akan dicap kapitaslis antek-antek asing aseng!Bagaimana mungkin Bulog impor beras pada saat panen raya!

Padahal justru disinilah kunci keberhasilan mencegah naiknya harga beras pada saat sekarang ini!

Ingat sekali lagi tugas pokok Bulog adalah menyangga hasil panen petani ketika harga gabah jatuh. Panen raya itu hanya dua periode, dan ketika petani lebih suka menjual gabah ke pedagang, maka bukan kewajiban Bulog juga untuk membeli gabah dengan harga lebih tinggi dari harga pedagang!

Tugas pokok Bulog lainnya (dan ini setiap saat) adalah mengendalikan HET beras. Ini bisa sukses hanya kalau gudang Bulog itu berasnya bejibun, dan harga pembelian beras Bulog itu tidak mahal agar tidak membebani kantong para pembayar pajak!

Ketika musim tanam berlangsung dan petani tidak mempunyai lumbung lagi, maka beras hanya ada di gudang Bulog dan di gudang saudagar beras.

Saudagar tahu persis berapa banyak beras di gudang Bulog tetapi Bulog tidak tahu berapa banyak beras di gudang saudagar!

Lalu pekerjaan test the water dimulai. Ketika saudagar mengurangi volume ke pasar, PIBC (Pasar Induk Beras Cipinang) langsung bereaksi dengan menaikkan harga. Bulog kemudian hanya bisa “tersipu malu melihat kerlingan nakal para saudagar genit ini…”

Melihat situasi yang terjadi pada saat sekarang ini, kuat dugaan stok Bulog memang tidak cukup kuat untuk “bertempur” di pasar demi menjaga HET beras.

Apalagi Bulog juga harus menjaga stok siaga apabila terjadi bencana nasional/KLB yang memerlukan persediaan beras yang cukup banyak dan lama.

Bulog dalam situasi terjepit. Apalagi petinggi di Kementan itu selalu berteriak-teriak bahwa kita ini sudah swasembada beras, dan Bulog juga sudah dua tahun ini tidak mengimpor beras.

Jadi ketika isu impor ini beredar, para petinggi di Kementan itu bak orang kebakaran jenggot…

Sikap seperti ini sebenarnya sangat mencederai rasa keadilan dan keperdulian sosial. Maklumlah orang Kementan itu memang belum pernah makan nasi aking!

Ketika harga beras naik mencapai Rp 2.000/kg sepertinya ada yang salah dengan kata swasembada beras! Harga beras itu hanya dipengaruhi oleh hukum penawaran dan permintaan.

Ketika terjadi “swasembada” maka harga beras akan turun. Sebaliknya ketika beras menghilang maka harganya akan naik. Metodenya sangat sederhana saja.

Jadi ketika ada yang berteriak swasembada, tidak perlu juga marah-marah. Cukup katakan, “Tolong antarkan swasembadanya ke pasar Cipinang….”

Kalau tadi diatas dikatakan bahwa Bulog berkewajiban untuk menyangga gabah petani at any cost, maka sebaliknya juga Bulog berkewajiban untuk menjaga harga beras sesuai dengan HET at any costtidak perduli apakah beras tersebut produk lokal atau impor, karena mengendalikan harga itu adalah amanahyang harus selalu dijunjung tinggi oleh Bulog!

Lalu kini timbul pertanyaan, berapakah harga keekonomisan beras itu?

Ketika pemerintah sudah menetapkan harga pembelian gabah dari petani dan HET beras, maka soal harga keekonomisan itu bukan lagi menjadi beban tanggung jawab Bulog, melainkan menjadi tanggung jawab Depkeu yang termaktub dalam APBN sebagai bagian dari subsidi pangan.

Salam hangat

Reinhard Freddy Hutabarat, kompasiana.com