Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan peran Perum Bulog dalam rantai pasok beras perlu untuk dievaluasi guna meningkatkan efektivitasnya dalam menjaga stabilitas harga pangan Indonesia.
“Masalah muncul karena di tingkat hulu, Bulog harus melakukan pengadaan beras dari petani. Tetapi, kemudian Bulog mengalami kesulitan untuk mendistribusikan beras di pasar tingkat hilir,” katanya dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.
Felippa mengingatkan bahwa tidak seperti pihak swasta, Bulog harus membeli beras dengan semua tingkat kualitas dan menyimpan stok penyangga sebagai cadangan nasional di gudangnya.
Selain itu, ujar dia, fungsi penugasan untuk menjaga stok penyangga nasional tanpa kebijakan yang jelas bagaimana distribusinya di tingkat hilir memiliki dampak jangka panjang untuk pengelolaan Bulog.
Untuk menunjang penugasan ini, lanjutnya, Bulog harus mengandalkan pinjaman komersial atau juga menggunakan anggaran pemerintah saat bersaing dengan pihak swasta dalam pengadaan beras. Ia mengemukakan, penugasan untuk menjaga stok nasional memunculkan biaya tambahan, sementara kualitas beras menurun, dan pembayaran bunga pinjaman bank semakin bertambah.
Felippa menilai bahwa pengaturan yang ada saat ini secara finansial tidak berkelanjutan untuk Bulog. Pada akhirnya, beban ada di pembayar pajak yang perlu menutup biaya distribusi beras.
“Mempertimbangkan kondisi tersebut, peran Bulog dalam rantai pasok beras perlu dipertimbangkan kembali. Bersaing dengan sektor swasta akan selalu membuat Bulog menjadi pihak yang merugi. Pihak swasta bisa menawarkan harga beras yang lebih tinggi kepada petani dan meminta kualitas beras yang lebih baik,” ujar Felippa.
Untuk itu, ujar dia, Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Pasal 8 (poin c, d, dan e) juga perlu direvisi untuk membuka peluang bagi Bulog untuk fokus melindungi keluarga prasejahtera melalui program bantuan bencana.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso memaparkan kondisi perusahaan yang dipimpinnya, yang berpotensi mengalami kerugian karena penyaluran beras yang lebih kecil dibandingkan dengan biaya penyerapan gabah dan beras petani, termasuk ongkos perawatannya.
“Tentunya potensi Bulog merugi itu pasti. Kenapa? Ya kita uangnya pinjam, bunga itu komersil berjalan terus,” kata Dirut Bulog Budi Waseso dalam acara penyampaian Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI terkait tata kelola beras di Jakarta, Senin (18/10).
Budi Waseso memaparkan sejumlah kondisi yang membuat Bulog berpotensi merugi dengan kondisinya saat ini. Yang paling mendasar adalah hilangnya pangsa pasar Bulog untuk menyalurkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang diserap dari petani.
Sejak bantuan sosial beras untuk rakyat sejahtera dihentikan dan diganti oleh Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), kata dia, Bulog kehilangan pangsa pasar sebanyak 2,6 juta ton setahun untuk menyalurkan beras CBP.
Budi Waseso menyebut saat ini Bulog hanya menyalurkan CBP untuk keperluan operasi pasar dan bantuan bencana alam yang jumlahnya sekitar 850 ribu ton setahun.
Di luar itu, Bulog bisa menyalurkan CBP apabila ada program yang dijalankan atau tidak rutin, seperti bantuan beras PPKM dan lainnya.
Sedangkan Bulog juga diwajibkan untuk menyerap gabah atau beras hasil panen petani untuk kebutuhan CBP minimal 1 juta ton dan maksimal 1,5 juta ton. Penyerapan beras petani ini dilakukan oleh Bulog dengan pembiayaan bank dengan bunga komersil. (Ant/OL-12)
Sumber: Media Indonesia