Peristiwa klasik menjelang Ramadhan biasanya selalu ada gejolak harga komoditas pangan yang cenderung meningkat dan sekarang diperparah lagi oleh kenaikan tarif listrik. Padahal, Bulog yang didirikan sejak 10 Mei 1967 seharusnya mampu berperan optimal sesuai Perpres No 48 Tahun 2016 tentang Peran Bulog terhadap ketahanan pangan nasional.
Namun fakta di lapangan menunjukkan Bulog sebagai BUMN tidak hanya memberikan jaminan terhadap ketersediaan pangan secara mudah dan murah untuk rakyat, tetapi juga eksistensinya mencari profit pada waktu yang bersamaan. Artinya, stabilisasi dan distribusi pangan yang mudah dan murah secara tidak langsung juga berperan dalam pengendalian inflasi.
Patut diketahui, bahwa peran Bulog dalam konteks pengendalian inflasi dan problem inflasi tahunan Ramadhan memberikan gambaran betapa bahan pangan adalah faktor mutlak yang harus disediakan negara. Ini penting menjadi acuan, karena urgensi peningkatan kesejahteraan petani yang belum sebanding dengan kondisi nilai tukar petani yang cenderung menurun.
Tidak hanya itu. Cuaca yang tidak kondusif juga berperan mereduksi daya tarik sektor pertanian karena ketika musim hujan terjadi banjir, sedangkan saat musim kemarau cenderung paceklik. Ini membuat problem pelik ketersediaan 11 komoditas pangan terkait tugas berat Bulog sesuai dengan Perpres No 48 Tahun 2016, yaitu beras, jagung, kedelai, cabai, gula , minyak, terigu, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan telur ayam.
Artinya kasus lonjakan harga dari ke-11 komoditas tersebut menjadi tantangan Bulog sehingga hal ini mengisyaratkan bahwa kasus cabai kemarin adalah persoalan yang tidak hanya dari aspek pasokan, tetapi juga distribusi. Belum reda kasus cabai, kini masyarakat juga resah dengan kasus bawang putih yang mencapai Rp50.000/kg, sementara menjelang Ramadhan pasti juga akan terjadi lonjakan harga ayam ras dan telur ayam.
Kita melihat fluktuasi harga pangan setiap menjelang Ramadan- Idul Fitri secara tidak langsung menunjukkan adanya inkonsistensi penegasan pemerintah tentang jaminan ketersediaan dan pasokan bahan pangan. Artinya, meski pemerintah setiap tahun menegaskan jaminan bahan pangan, fakta menunjukkan masih terjadi lonjakan harga, dan bukan semata-mata disebabkan ketidaksinkronan permintaan-penawaran, tetapi dipicu faktor lain seperti kasus penimbunan oleh pedagang atau kartel demi meraih keuntungan spekulan.
Fakta ini juga seharusnya menjadi problem yang harus dituntaskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar tidak ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan merugikan pihak lain, terutama rakyat. Selain itu, pemerintah membentuk Satgas Pangan untuk memantau perkembangan harga dan juga meredam aksi spekulan, termasuk juga penindak an terhadap penimbun.
Fakta problem tahunan inf lasi Ramadan dan kilas balik 50 tahun peran strategis Bulog tentu harus ada evaluasi agar ke depan peran Bulog tidak hanya memberikan kontribusi terhadap ketersediaan pangan yang mudah dan murah, tetapi juga implikasinya terhadap profit bagi negara. Artinya, tidak ada alasan bagi Bulog untuk tidak memetakan berbagai persoalan distribusi, sebab tantangan ke depan semakin berat, bukan hanya untuk menjamin ketersediaan pangan yang mudah dan murah, tetapi juga konteks persaingan dan fluktuasi faktor makro.
Realitas ini sekaligus menegaskan bahwa jaminan pangan sekitar 250 juta rakyat saat ini tergantung pada peran Bulog , sementara prediksi jumlah penduduk tahun 2035 mencapai 350 juta jiwa yang tentunya membutuhkan peran nyata dari Bulog. Bagaimanapun, peran strategis Bulog tidak hanya menjamin ketersediaan pangan secara mudah dan murah tapi juga konsisten mendukung stabilisasi dan distribusi pangan agar tidak terbelit inflasi dari sektor pangan.
Article by FIRDAUS BADERI