produk-kita

Perlunya Perbaikan Pola Bisnis di BULOG

Terkait permasalahan Bulog, Pengamat BUMN Toto Pranoto menjelaskan terkait permasalahan utang BUMN yang masih terjadi sampai dengan saat ini karena tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan para perusahaan yang sangat besar.

Hal ini lantaran perusahaan milik negara itu membutuhkan investasi atau belanja modal yang cukup besar dan pemerintah berupaya memutar otak agar dapat menyehatkan kembali perusahaan miliknya.

Apalagi, pandemi Covid-19 telah membuat kinerja sejumlah BUMN oleng lantaran mengalami penurunan pendapatan dan tergerusnya laba, hingga banyak perusahaan tersumbat arus kas atau cash flow-nya.

Termasuk yang terjadi pada Bulog yang mempunyai utang yang lumayan besar dan terkendala dalam produksi.

“Unsur equitas tentu relatif terbatas sehingga dibutuhkan pinjaman untuk financing pengadaan aset. Namun poin pentingnya adalah seberapa jauh utilisasi aset dari hasil utang tersebut bisa men-generate revenue dan laba perusahaan yang memadai,” ujar Toto kepada Law-Justice.

Sehingga artinya apabila investasi perusahaan-perusahaan BUMN dapat berjalan baik maka kemampuan BUMN untuk membayar bunga dan pokok pun dapat berjalan lancar.

“Tapi kalau kondisi yang terjadi sebaliknya maka utang BUMN bisa menjadi sumber problem bagi perusahaan,” sambungnya.

Untuk itu, para BUMN termasuk Bulog yang masih memiliki utang-utang yang cukup banyak, Toto mengatakan perusahaan tersebut dapat menggunakan alternatif lain seperti melakukan refinancing untuk melunasi secara tepat waktu utang bunga maupun utang pokok.

Misalnya saja dengan memperpanjang tenor jatuh tempo atau memperbaiki struktur keuangan secara lebih sehat dengan meningkatkan equitas, baik bersumber dari pemegang saham ataupun memanfaatkan alternatif funding lewat Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI).

Dengan demikian, pendanaan SWF pun dinilai dapat berpotensi memperbaiki arus kas dan beban utang para perusahaan BUMN.

Adapun salah satu yang kerap terjadi dan paling krusial dalam praktek pengelolaan BUMN di Indonesia adalah terjadinya benturan kepentingan atau conflict of interest (COI) suatu kondisi kepentingan perusahaan dengan anggota Direksi, Dewan Komisaris atau kepentingan kekuatan politik dan sosial tertentu.

Menurut Toto, conflict of interest dapat terjadi kalau misalnya pengambilan keputusan oleh direksi BUMN tidak secara independen.

“Artinya keputusan tersebut “diwarnai” kepentingan pihak tertentu di luar perusahaan. Akibatnya keputusan tersebut berpotensi merugikan kepentingan perusahaan BUMN,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Pertanian Khudori mengungkapkan bahwa potensi kerugian yang terjadi pada Bulog karena tidak adanya outlet untuk penyaluran beras yang pasti.

Khudori menyebut hal itu membuat beras yang diserap di hulu tidak ada kepastian akan disalurkan ke mana.

Outlet komersial Bulog yang kecil dan serapan beras nasional yang besar, menjadi tidak logis apabila mewajibkan penyerapan di hulu tetapi tidak ada jaminan yang pasti di hilir.

“Outlet komersial Bulog masih kecil. Sementara yang diserap itu besar. Tidak logis memang mewajibkan penyerapan di hulu tapi tidak ada jaminan outlet penyaluran yang pasti di hilir. Akibatnya apa? Beras menumpuk dan potensial rusak,” ungkap Khudori kepada Law-Justice.

Khudori memaparkan penyimpanan beras membutuhkan biaya besar untuk perawatan, biaya gudang, dan sebagainya.

Apabila kemudian nantinya beras rusak, maka harganya akan anjlok, dan kerugian akan berlipat ganda.

“Sudah begitu, tidak jelas kalau beras rusak atau turun mutu bagaimana mekanisme yang cepat agak kerugian tidak tambah besar. Sementara argo bunga bank jalan terus. Kompletlah,” paparnya.

Khudori juga menyarankan, apabila ke depan Bulog masih diperintahkan menyerap beras di hulu, maka perlu ada outlet yang pasti di hilir.

“Kalau penugasan menyerap di hulu masih ada, ya harus ada outlet pasti di hilir,” tukasnya.

Law-Justice mencoba untuk meminta konfirmasi kepada Kementerian BUMN terkait problematika yang terjadi di Bulog.

Namun sampai saat ini, kementerian BUMN belum merespon pertanyaan yang dilontarkan oleh Law-Justice.

Namun sebelumnya, Komisi VI DPR RI melakukan Rapat Kerja bersama Menteri BUMN Erick Thohir beberapa waktu lalu.

Terkait dengan Bulog, Erick menegaskan kalau Bulog kini tidak masuk dalam daftar Holding BUMN Pangan.

Pasalnya, terdapat perbedaan fungsi kedua grup pangan tersebut dan ia menyatakan BUMN Pangan disiapkan untuk menyerap (off taker) dan memasarkan hasil pangan petani dan nelayan.

Sementara, Bulog ditugaskan untuk menjadi stabilisator harga pangan skala nasional.

Erick menyebut Bulog disiapkan untuk mengintervensi pasar ketika harga pangan melambung dengan menyerap hasil pangan dan disimpan di cold storage atau tempat penyimpanan.

“Memang ada pertanyaan kenapa Bulog tidak dimasukkan, visi BUMN ada dua, istilahnya ada dua grup pangan. Satu Bulog sebagai fasilitator di mana Bulog mengintervensi ketika harga naik dan Bulog bisa membeli barang-barangnya dengan nilai tertentu,” kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (25/01/2022).

Sumber artikel : Siapa Menangguk Untung dari Utang Bulog Triliunan