Operasi pasar menjadi jurus andalan pemerintah untuk menekan harga beras. Seperti tahun 2018, operasi pasar cadangan beras pemerintah oleh Bulog pada 2019 dilakukan sejak awal tahun dengan tujuan menjaga ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga beras medium.
Operasi pasar berlangsung serentak di seluruh wilayah Indonesia, terutama di pasar-pasar strategis dan pasar yang berpotensi naik harga.
Pemerintah yakin operasi pasar bakal membuat harga beras terjaga stabil. Selain untuk menjaga daya beli masyarakat, operasi pasar beras juga diyakini bisa menjinakkan inflasi.
Jurus stabilisasi harga dengan mengandalkan operasi pasar terlihat dari besarnya volume beras. Dari awal tahun hingga 9 Mei 2019, volume operasi pasar telah mencapai 216.742 ton beras. Ini jumlah yang sangat besar.
Adapun rata-rata operasi pasar per tahun dalam periode 2014-2017 hanya 147.000 ton beras. Bukan tak mungkin volume operasi pasar 2019 bakal melampaui tahun 2018 yang mencapai 544.000 ton beras, terbesar dalam satu dekade terakhir.
Pertanyaannya, mengapa volume operasi pasar kian besar?
Pertama, operasi pasar digelar sepanjang tahun.
Pada 2018, operasi pasar dilakukan di semua provinsi dan dilaksanakan sepanjang tahun tanpa jeda, termasuk saat musim panen raya. Pola semacam ini dicontek ulang pada 2019.
Kedua, peran operasi pasar sebagai outlet penyaluran Bulog semakin penting. Ini berjalan seiring menciutnya outlet penyaluran lewat bantuan sosial beras sejahtera (rastra). Tahun 2018, bansos rastra hanya menyerap 1,2 juta ton, jauh dari rata-rata penyerapan 2014-2017 yang 2,825 juta ton. Bahkan, bansos rastra tinggal 350.000 ton pada 2019.
Tingkat efektivitas
Ketika operasi pasar berlangsung masif, tanpa jeda dan jadi andalan outlet penyaluran Bulog, pertanyaannya adalah: apakah efektif?
Pertama, operasi pasar tanpa jeda, apalagi saat panen raya, sesungguhnya telah melanggar prinsip dasar logistik. Operasi pasar seharusnya dihentikan saat musim panen raya karena bakal membuat salah urus di lapangan.
Operasi pasar dilakukan agar harga turun, setidaknya stabil. Harga gabah/beras saat panen raya biasanya turun.
Operasi pasar saat panen raya berpeluang membuat harga gabah yang turun akan jatuh, bahkan di bawah HPP/biaya produksi, seperti dilaporkan Kompas (4-5/4/2019).
Kedua, efektivitas operasi pasar beras rendah. Sejarah perberasan puluhan tahun di negeri ini mengajarkan satu hal penting: operasi pasar beras adalah instrumen jangka pendek.
Tujuannya memengaruhi harga, tetapi efektivitas dalam memengaruhi harga beras bergantung pada banyak hal: stok pedagang; stok pemerintah; volume, jenis, dan harga beras yang digerojok ke pasar; serta psikologi publik.
Dengan satu jenis beras, yakni jenis medium, mustahil operasi pasar bisa meredam harga semua jenis beras di pasar.
Apalagi jika beras operasi pasar Bulog dari stok lama atau beras impor yang pera. Di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, ada 17-an jenis beras, di kota-kota lain ada lima-tujuh jenis beras.
Inflasi pada 2018 bisa ditekan di bawah satu digit, 3,13 persen. Ditilik dari sumbernya, peranan harga pangan (volatile foods) kembali mendominasi di tahun 2018: 43,1 persen dari inflasi nasional.
Padahal, pada 2017 peranan kelompok pangan terhadap inflasi berhasil ditekan hanya 26 persen.
Kembali dominansi kelompok pangan terhadap inflasi 2018 menandai harga-harga pangan yang stabil tinggi, terutama beras.
Pada 2018, harga beras medium I dan II masing- masing Rp 11.895 per kg dan Rp 11.725 per kg, melampaui harga eceran tertinggi di wilayah produsen (Rp 9.450 per kg) dan bukan produsen (Rp 10.250 per kg). Januari-5 April 2019, harga beras medium I dan II juga di atas HET (PIHPS, 2019).
Operasi pasar tak lebih tukang pemadam kebakaran. Apinya bisa saja mati, tetapi sumber api tak tersentuh.
Di zaman Presiden Soeharto, operasi pasar menuai kritik. Makanya, sejak 1998 operasi pasar ditanggalkan, lalu diganti pendekatan subsidi terarah lewat beras untuk rakyat miskin (raskin)—kini jadi rastra.
Stabilisator harga
Sejak era Presiden Yudhoyono dan Jokowi, beleid operasi pasar kembali dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga. Pemerintah sepertinya lupa operasi pasar beras tak adil karena bukan cuma rakyat miskin, melainkan kelompok kaya dan pedagang/pengecer juga bisa menikmatinya.
Sebagai pemain, kelompok terakhir ini membuat operasi pasar tak efektif.
Operasi pasar beras akan efektif kalau volume beras yang digerojok ke pasar tidak terbatas jumlahnya dan siapa pun boleh membelinya, baik konsumen, pedagang, maupun pengecer.
Apa tidak terjadi moral hazard? Jika pasar diisi sampai jenuh, kecil peluang praktik penyalahgunaan. Namun, cara ini memerlukan biaya besar karena butuh stok beras yang besar pula.
Dan, yang lebih penting, cara ini tidak adil karena tidak jelas pemerintah mau membantu kelompok mana: kelompok miskin, kelompok kaya, atau keduanya?
Kalau pemerintah mau konsisten, seharusnya bukan operasi pasar beras yang digalakkan, melainkan memperbesar volume subsidi atau bantuan pangan.
Ketika ada subsidi/ bantuan pangan dalam bentuk bansos rastra atau bantuan pangan nontunai, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya tetap diberlakukan, terjadi double standard: subsidi umum dan subsidi terarah.
Selain tidak adil bagi warga miskin, langkah standar ganda semacam ini juga hanya akan menguras anggaran.
Belum terlambat bagi pemerintah mendesain ulang operasi pasar, berikut bantuan pangan.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)