Masih ingatkah pertanyaan saya pada artikel berjudul “Belajar dari kasus beras PT IBU“. Bayangkan jika perusahaan sebesar PT IBU melakukan pembelian gabah diatas HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yaitu RP 4.600. Lantas, kegiatan pembelian yang serupa dilakukan di 11 Provinsi sentra produksi padi, (menurut KPPU perusahaan sejenis ada di 11 Provinsi).
Terus bagaimana dengan nasib penyerapan beras pemerintah yang dalam hal ini BULOG hanya boleh membeli seharga Rp 3.700 sesuai HPP… ?
Nah, jika PT IBU merupakan contoh kasus beras dari pihak swasta, maka saya akan mengambil contoh kasus beras dari pihak pemerintah yang terjadi di BULOG Subdivre Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Dua kasus yang berbeda, namun secara tidak langsung masih mempunyai keterkaitan, dengan syarat kita mau berpikir atau menganalisa sedikit jauh.
Reproses beras oleh pihak BULOG di lahat dinilai Satgas Pangan sebuah tindakan pengoplosan, walaupun sudah dibantah oleh pihak BULOG karena memang sudah sesuai peraturan perusahaan yang berlaku. Sebuah “dilema” memang bagi BULOG sebagai pengawal kedaulatan pangan.
Pembentukan Satgas Pangan
Foto by AntaraNewsPada kasus BULOG Lahat, Satgas pangan diibaratkan seperti berburu di kebun binatang sendiri. Padahal menurut KPPU, para mafia atau kartel di luar sana sudah memasuki seluruh lini bisnis pangan di negeri ini. Sebuah langkah “mundur”. Kenapa bisa seperti itu.. ? semua orang pasti tahu, bahwa BULOG adalah bagian dari Tim Satgas Pangan itu sendiri.
Hampir setiap hari pegawai BULOG di seluruh Indonesia “mati-matian” melakukan Gerakan Stabilisasi Pangan (GSP) demi tercapainya stabilisasi harga. Mereka rela berpanas-panasan, basah kehujanan, bermandi keringat ditengah terik panas matahari menjual kebutuhan pokok sehari-hari, hanya untuk terciptanya situasi harga yang kondusif ditengah-tengah masyarakat.
Walaupun tidak disebutkan secara ekplisit oleh Presiden Jokowi pihak yang berjasa dalam menstabilkan harga, namun merekalah aktor dibalik layar yang sesungguhnya.
Lalu pertanyaannya, ketika BULOG melakukan operasi pasar ditengah harga pangan yang meroket kemana perusahaan-perusahaan sekelas PT IBU… ? apakah mereka juga turun ke jalan dengan menjual produk-produk premiumnya seharga produk medium… ? apakah mereka rela rugi sedikit untuk membantu rakyat miskin dengan mengeluarkan stock beras di gudangnya, lalu menjual dengan harga di bawah pasar ?
Apakah mereka turut prihatin serta merasa sedih dengan penderitaan rakyat karena merekalah yang telah membesarkan omzet perusahaannya ? atau apakah sebaliknya, justru melakukan penimbunan stock agar barang semakin meroket dan semakin mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi… ?
Menurut Kapolri Jend. Tito Karnavian Satgas Pangan Mabes Polri di pimpin Irjen Pol Setyo Wasisto, didalamnya tergabung instansi-instansi terkait seperti Kementan, Kemendag, KPPU, BULOG, Bea Cukai dan Kemendagri. Pembentukan satgas pangan bertujuan untuk menstabilkan harga pangan menjelang bulan suci ramadhan dan lebaran 2017 (m.antaranews.com)
Koordinasi antar lembaga dan pembentukan satgas tersebut merupakan perwujudan dari perintah Presiden Jokowi yang meminta sejumlah menterinya agar menstabilkan harga sembako.
Selain melakukan pengawasan harga dan ketersediaan sembako, satgas ini juga bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kartel dan mafia pangan. Namun belakangan ini Satgas Pangan mendapat banyak sorotan setelah menggerebek pabrik beras PT IBU di Bekasi. Kritikan datang dari Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi.
Ia menilai ada yang perlu dibenahi dalam penjelasan tugas pokok dan fungsi Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang dibentuk Polri, jangan sampai Satgas Pangan yang baik ini mengganggu dan menjadi moral hazard.
Menurutnya, Satgas Pangan untuk pengawasan, stabilisasi harga dan pasokan, jangan jadi sumber masalah baru soal ketidakpastian. Ia juga mengkhawatirkan sepak terjang satgas pangan malah membuat pengusaha dan petani sektor pertanian ketar-ketir (m.inilah.com).
Kebijakan Gabah Di Luar Kualitas dan Sergap TNI
Pasti orang banyak bertanya, bingung serta tidak mengerti apa kaitannya kasus beras BULOG di Lahat dengan Kasus Beras di Bekasi oleh PT IBU… ?
Saya disini tidak mencoba untuk memihak pihak manapun, tetapi argumentasi yang saya lontarkan akan berusaha netral dengan berdasarkan rangkaian fakta-fakta yang terungkap, sehingga membentuk sebuah cerita utuh.
Wajar jika saya berargumentasi karena basic saya memang dari Pertanian, tapi bagaimana dengan satgas pangan apakah mereka sarjana pertanian…? tentu karena mereka penegak hukum, sudah pasti latar belakang pendidikannya kebanyakan dari hukum dan sudah dapat dipastikan juga mereka melihat permasalahan dari sisi hukumnya.
Apakah kita masih ingat pernyataan Mentan Amran Sulaiman beberapa waktu lalu di media-media ternama, yang mengatakan “bahwa selama bukan pasir, Gabah petani harus dibeli BULOG” kalau tidak ingat, baca linknya di http://regional.kompas.com/read/2016/04/01/18132411/Menteri.Amran.Selama.Bukan.Pasir.Gabah.Petani.Harus.Dibeli.BULOG.
Artinya apa, tidak ada alasan bagi BULOG untuk menolak hasil gabah petani yang merupakan hasil jerih payah mereka dengan kualitas gabah apapun.
Pertanyaannya sekarang… ? apakah gabah yang dihasilkan oleh petani kita kualitasnya baik semua seperti petani Thailand dan Vietnam… ?
Kalau jawabannya baik, lalu mengapa ada kebijakan dari pemerintah yang memerintahkan BULOG untuk menyerap gabah di luar kualitas atau gabah diluar standar. Ya karena tidak lain dan tidak bukan, gabah petani kita kualitasnya ada yang jelek dan rentan sekali terhadap gangguan iklim.
Kasus di lapangan yang bisa ditemui seperti; gabah basah yang menyebabkan kadar air tinggi, gabah rusak akibat terendam hingga terfermentasi yang disebabkan tingginya intensitas hujan.
Kalau gabah seperti kondisi diatas, basah dan terfermentasi, pertanyaan besar saya adalah dimanakah peran para penggilingan swasta raksasa seperti PT IBU dan teman-temannya yang notabene sudah menguasai di 11 provinsi sentra produksi padi… ?
Apakah mereka tetap mau membeli gabah tersebut dengan harga tinggi diatas HPP seharga Rp 4.600.. ? yang tambah anehnya lagi, justru banyak pihak yang mendukung dan membela bahkan menyuruh presiden agar diberi penghargaan oleh pemerintah karena inovasinya… ?
Andaikata perusahaan tersebut tetap mau membeli gabah rusak dari petani senilai Rp 4.600, berarti benar sekali pendapat para pakar yang berpendapat bahwa petani kita benar-benar sejahtera.
Pasti keadaan ini akan sejalan dengan pemberitaan-pemberitaan di media nasional. Tidak akan ada lagi pemberitaan-pemberitaan negatif yang keluar di media yang menyatakan petani menjerit, melarat, bertambah miskin karena harga gabah dan berasnya anjlok.
Ini artinya pula, pemerintah bisa menghemat uang negara atau APBN. Pemerintah kita tidak perlu repot-repot lagi memberikan asuransi pertanian jika mereka gagal panen yang berdampak pada gabah dan berasnya berkualitas jelek.
Tidak perlu lagi ada subsidi input dari pemerintah kepada petani senilai 39 Triliun tentu hal ini sudah pasti akan menghemat anggaran dan keuangan negara.
Tetapi justru fakta yang terjadi adalah kebalikannya. Ketika tejadi fuso atau gagal panen yang mengakibatkan gabah dan beras mereka bermutu jelek/rendah pasti petani menjerit karena tidak ada yang membeli. Dalam kondisi seperti inilah pemerintah menugaskan BULOG untuk menyerap hasil gabah petani tersebut.
Mengapa pemerintah tidak menugaskan perusahaan perusahaan swasta seperti PT IBU yang notabene memiliki peralatan modern serta didukung infrastruktur yang lengkap untuk membelinya. Toh logikanya mereka pasti tidak akan kesulitan untuk mengeringkan gabah yang memiliki kadar air tinggi. Mereka juga tidak akan kesulitan dengan gabah yang jelek sekalipun untuk menghasilkan beras bermutu tinggi.
Jawabannya tentu, perusahaan-perusahaan itu sebelum melakukan pembelian akan melakukan sortasi terlebih dahulu atau pilih-pilih. Mereka akan menghargai mahal untuk gabah yang kualitas baik, murah untuk kualitas gabah jelek. Maka berlakulah istilah pasar ” ada rupa ada harga”.
Nah, pada titik inilah biasanya petani pasti menjerit, harga gabah dengan kualitas jelek pasti dibeli oleh perusahaan tersebut dengan harga murah jauh dibawah HPP. Jeritan mereka inilah yang biasanya terdengar di media-media nasional yang mengatakan pemerintah tidak peduli dengan nasib mereka.
Lalu pertanyaannya sekarang, kemana harga gabah atau beras yang bermutu rendah milik petani kalau tidak dibeli oleh pihak swasta..?
Apakah mereka buang ke laut..? Ataukah mereka biarkan saja biar dimakan burung…?
Jawabannya tentu tidak karena sudah bisa dipastikan petani kita akan semakin bertambah miskin.
Nah, pada saat krusial inilah pemerintah masuk dan melakukan intervensi. Untuk mengatasinya, sebagai wakil pemerintah, BULOG diberi tugas agar membeli hasil jerih payah petani bagaimanapun kualitasnya. Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Mentan dan sudah jelas dasar hukumnya.
Fenomena lain yang harus kita ingat adalah target pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Langkah terobosan fenomenal yang dilakukan Kementan untuk membantu mewujudkannya adalah dengan menggandeng pihak TNI. Bintara pembina desa (Babinsa) dikerahkan untuk membantu petani dalam hal peningkatan produksi dan produktivitas pertaniannya.
Tentunya, lagi-lagi keberhasilan dari kerja keras tersebut di lapangan diwujudkan dengan banyaknya jumlah beras yang diserap oleh BULOG. Target-target jumlah serapan beras petani diberikan oleh pihak Mabes TNI kepada satuan unit terkecil di wilayah kerja masing-masing. Sehingga, hal semacam ini yang pada akhirnya menuai polemik dan membuat rancu bagi pelaksana teknis di lapangan.
Bahkan Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menyebutkan, berdasarkan kajian pihaknya periode Mei-November 2016 menemukan bahwa BULOG menerima gabah petani berkualitas buruk karena ada tekanan dalam bentuk pemaksaan dari pihak TNI agar membeli gabah beras petani.
Berita ini dimuat di harian Koran Tempo pada hari Rabu 14 Juni 2017 dengan artikel yang menjadi halaman utama yang berjudul ” Ada Pemaksaan dalam Penyerapan Gabah Petani oleh TNI”.
Jika pemaksaan tersebut benar-benar terjadi, maka sudah bisa kita bayangkan masalah apa yang akan menghadang selanjutnya. Ini artinya, gudang BULOG tidak saja menerima hasil gabah atau beras yang baik tetapi juga terdapat gabah beras yang bermutu rendah. Khusus beras yang berkualitas rendah ini diperlukan treatment tersendiri dan harus segera cepat disalurkan.
Masalah ini akan semakin bertambah rumit lagi, ketika stock yang besar tersebut tidak dibarengi dengan jumlah penyaluran yang banyak pula. Stock beras sudah dipastikan akan menumpuk di gudang dan sudah bisa dipastikan pula terjadinya penurunan kualitas atau mutu.
Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan peralatan prosessing milik BULOG banyak yang sudah tua dan tidak berfungsi maksimal. Memang sudah ada PMN (Penyertaan Modal Negara) dari pemerintah untuk membangun pabrik penggilingan canggih, namun masih membutuhkan waktu lama hingga 2-3 tahun ke depan. Sehingga lengkaplah sudah penderitaan lembaga yang satu ini.
Stock Beras dan Reproses BULOG
Masalah-masalah inilah yang tidak bisa dibaca dan dianalisis oleh aparat penegak hukum sebagai bahan pertimbangan. Wajar mereka tidak terpikir ke arah sana, sudah saya katakan di awal tadi mereka latar belakang pendidikannya bukan ekonomi pertanian tetapi hukum. Sehingga mereka menilai berdasarkan kacamata hukum yang berdasarkan fakta lapangan bukan akar permasalahan sebenarnya.
Oleh karena itulah, pada kasus seperti ini diperlukan pendapat ahli untuk meluruskan permasalahan yang sebenarnya terjadi sebagai bahan pertimbangan.
Secara logika, bisa saja pegawai BULOG di lapangan menolak untuk menerima gabah beras petani yang tidak sesuai dengan standar mutu, dengan alasan akan bertentangan dengan hukum. Namun, tentu sudah dapat kita bayangkan bersama apa yang akan terjadi. Beras akan menunjukkan kelasnya untuk kesekian kalinya sebagai komoditas pokok strategis, ekonomis sekaligus politis.
Penolakan gabah beras petani yang tidak sesuai standar akan berdampak kosongnya gudang-gudang BULOG, sehingga mendorong pemerintah untuk melakukan impor. Impor akan menjadi senjata yang menarik bagi lawan-lawan politik untuk menggoyang pemerintahan yang sedang berkuasa.
Selanjutnya, petani menjerit karena biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat. Sudah pasti, kemiskinan akan tambah merajalela terutama di pedesaan.
Pemerintah sudah menyadari dampak yang ditimbulkan dengan menyimpan beras dalam jumlah banyak dengan waktu yang lama. Logika sederhana saja, dengan masa puncak panen raya yang terjadi dalam waktu tiga bulan antara bulan April – Mei, apakah dimungkinkan bagi pegawai BULOG di gudang untuk membuka karung satu-satu demi memastikan kualitas beras yang masuk.
Tentu tidak seperti itu, BULOG punya prosedur sendiri dengan mengambil sampel agar beras petani cepat diterima di gudang untuk dilakukan penyimpanan dan perawatan.
Sehingga wajar, jika ada satu atau dua karung yang mengalami masalah dalam kualitasnya. Oleh sebab itulah, dalam rangka mengatasi stock besar yang disimpan di gudang BULOG, maka pemerintah mempunyai cara tersendiri untuk mensiasitinya di lapangan.
Terhadap beras yang kedapatan kualitasnya jelek, BULOG melakukan reprocessing atau proses ulang yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas beras. Kegiatan reproses ini bisa saja meliputi meliputi pencampuran beras tertentu dengan beras lain.
Metode lain yang dapat dilakukan adalah blowing (pengembusan), glosor, sosoh, pencampuran (mixing) dan pengkabutan. Langkah-langkah inilah yang dilakukan oleh BULOG Subdivre lahat terhadap beras rastra sebelum disalurkan, agar layak salur.
Jika masyarakat tetap menilai beras tersebut tetap tidak layak, mereka bisa saja meminta penggantian dengan beras yang lebih layak lagi. BULOG juga pasti tidak akan bersikukuh untuk tetap menyalurkannya, karena metode lain jika beras tersebut tetap tidak layak adalah dilakukan lelang atau dimusnahkan.
Pemerintah memperbolehkan bagi masyarakat yang menerima beras rastra yang kualitasnya jelek untuk mengembalikan kepada pihak BULOG. Pihak BULOG pun juga menyadari hal itu dan dengan sigapnya akan diganti dengan beras yang berkualitas baik.
Mekanisme seperti ini sebenarnya sudah biasa terjadi di seluruh wilayah di Indonesia dan tidak menimbulkan masalah bagi penerimanya.
Kembali lagi pada kasus penggerebekan oleh satgas pangan di BULOG Lahat, seharusnya bercermin dari uraian panjang diatas, temuan Satgas Pangan sebanyak 39 ton rastra yang dinilai oleh mereka tidak layak, solusinya sangat sederhana.
Mereka tinggal kembalikan saja kepada pihak BULOG untuk ditukar dengan kualitas yang lebih baik.
BULOG sudah bisa dipastikan akan menggantinya dengan kualitas beras yang baik. Selesai masalah dan beres, sehingga tidak perlu diseret ke ranah hukum.
Penyeretan ke ranah hukum inilah sebenarnya yang sangat ditakutkan banyak pihak. Kasus ini akan menjadi rujukan atau yurispendensi hukum bagi kasus lainnya yang sejenis. Sudah bisa dipastikan, kasus-kasus beras rastra jelek di negeri ini yang sudah ditukar oleh BULOG dengan kualitas baik dapat dipidanakan juga. Sehingga kedepannya penuhlah penjara negeri ini oleh pegawai-pegawai BULOG saja.
Akhirnya apa yang terjadi, tentu pasti akan berbuntut panjang. Ke depannya pegawai BULOG akan menjadi ketakutan, moralnya runtuh, malas melakukan aktivitas dan hanya menerima gabah petani yang sesuai kriteria saja.
Sehingga, apa yang ditakutkan oleh banyak pihak bahwa pembentukan Satgas Pangan malah justru menciptakan masalah baru dan membuat orang-orang yang berkecimpung dalam bidang pangan menjadi ketakutan benar-benar terbukti.
KONKLUSI
Oleh karena itulah, pemahaman yang utuh dalam rangkaian cerita diatas mesti dapat juga untuk dijadikan pertimbangan-pertimbangan bagi satgas pangan sebelum melakukan penindakan. BULOG adalah lembaga milik negara, apapun yang dilakukan oleh BULOG tentu buat negara juga.
Proses reproses yang dilakukan BULOG juga bertujuan untuk menyelamatkan kerugian negara yang lebih besar lagi. Agar kasus ini tidak terulang dikemudian hari, maka akar permasalahan pokok yang sebenarnya haruslah diobati.
Walaupun BULOG didukung dengan jaringan gudang besar yang tersebar di seluruh Indonesia namun tidak dipersenjatai dengan peralatan modern untuk menghasilkan beras bermutu tinggi, semuanya akan menjadi sia-sia saja. Pangan dinegeri ini tetap akan dikuasai sekelompok pemain besar saja yang berorientasi keuntungan semata.
Mari kita dukung bersama lembaga BULOG ini agar menjadi pesaing dan pemain global, bukan malah untuk digembosi. Sehingga lembaga ini menjadi besar dan kuat, serta mampu menjadi penyeimbang pasar pangan yang sudah tidak kompetitif lagi. Sesama lembaga pemerintah haruslah saling mendukung dan sudah selayaknya mengesampingkan kepentingan ego sektoral demi satu tujuan yaitu rakyat sejahtera, bangsa kuat dan Indonesia Jaya.
Artikel by Julkhaidar Romadhon