panen padi sawah

Sinyal Waspada dari Anomali Harga

Rentetan kasus harga gabah di bawah standar harga pembelian pemerintah sepanjang 17 bulan berturut-turut sejatinya bukanlah hal yang lumrah. Bukan perkara sepele pula karena menyangkut kelangsungan dapur dan hidup jutaan petani padi beserta keluarganya.

Beritanya tidak banyak menghiasi media massa. Namun, rentetan kasus harga di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) membunyikan alarm waspada, ada sesuatu yang tidak beres dan sedang terjadi di pasar. Situasi ini tidak menguntungkan petani dan berisiko mengancam kemandirian pangan pada masa depan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kasus harga gabah di bawah HPP terus terjadi sejak April 2020 hingga Agustus 2021. Bulan lalu ada 397 kasus harga gabah kering giling (GKP) di bawah HPP di tingkat petani atau 33,82 persen dari 1.174 titik observasi di 28 provinsi di Indonesia. Menurut regulasi terbaru yang mengaturnya, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2020, HPP untuk GKP di tingkat petani ditetapkan Rp 4.250 per kilogram.

Pada bulan yang sama tahun lalu, jumlah kasus harga GKP di bawah HPP di tingkat petani tercatat 2,16 persen dari 1.156 titik observasi.

Namun, situasi itu tidak terjadi pada beberapa tahun sebelumnya, setidaknya pada Agustus tahun 2017-2019. Sebab, sesuai dengan pola tahunannya, panen padi pada periode Agustus-September biasanya sudah jauh berkurang sehingga harga biasanya bergerak naik. Tren ini berlanjut bulan Oktober-Desember seiring dimulainya musim tanam rendeng.

Akan tetapi, sejak April 2020 situasinya menyimpang dari pola tersebut. Kasus harga gabah di bawah HPP terus terjadi. Puncaknya terjadi pada Juli 2021. Ketika itu, kasus harga gabah di bawah HPP mencapai 46,66 persen dari 1.166 titik observasi di tingkat petani dan 44,68 persen kasus di tingkat penggilingan.

Situasi harga gabah tecermin dalam data nilai tukar petani (NTP) subsektor tanaman pangan. Sejak Februari 2021, NTP tanaman pangan ”konsisten” di bawah 100, yakni di kisaran 96,6-99,78.

Artinya, petani rugi dan kesejahteraannya turun. Usahnya tidak menguntungkan. Sebab, indeks harga yang mereka terima (it) lebih kecil dibandingkan dengan indeks harga yang harus mereka bayar (ib).

Instrumen

Situasi harga gabah mencerminkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan di pasar. Situasi ini sejatinya telah diantisipasi pemerintah lewat sejumlah regulasi.

Soal menjaga stabilitas harga pangan di tingkat produsen, misalnya Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016, pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk membeli pangan sesuai dengan harga acuan.

Dengan dasar itu, pemerintah melalui Bulog semestinya menstabilkan harga dengan membeli gabah petani. Namun, instrumen itu tidak maksimal dalam pelaksanaannya.

Rentetan kasus harga gabah di bawah HPP terjadi di tengah kecenderungan turunnya realisasi pembelian gabah/beras produksi dalam negeri oleh Bulog beberapa tahun terakhir, yakni dari 2,96 juta ton tahun 2016, menjadi 1,57 juta ton (2017), 1,21 juta ton (2018), 957.694 ton (2019), dan 752.079 ton (2020).

Situasi itu tidak lepas dari dilema yang dihadapi badan usaha milik negara di sektor pangan tersebut. Dilema itu terkait dengan tugas menyerap untuk menstabilkan harga di hulu, tetapi saluran untuk mengeluarkannya mampat sehingga stok menumpuk di gudang.

Gejalanya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu, yakni sejak pemerintah mengubah mekanisme penyaluran bantuan pangan dari natura ke tunai, tetapi sejauh ini belum ada solusi jitu untuk mengatasinya. Dampaknya, penyerapan tidak bergairah dan harga di hulu rentan jatuh.

Dalam rapat dengan Komisi IV DPR, Senin (30/8/2021), Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyampaikan, perusahaan harus menanggung kerugian besar karena harus mengelola beras yang semakin turun mutunya.

Bulog bahkan masih menyimpan sisa beras hasil impor tahun 2018 dan 2019. Dalam kesempata itu, Budi menyebutkan, utang pemerintah kepada Bulog atas tugas mengeloa cadangan pangan mencapai Rp 4 triliun.

Problem Bulog jelas perlu diselesaikan agar tugas pemerintah dan amanat regulasi bisa dijalankannya dengan baik. Namun, penyelesaian problem di hulu jauh lebih mendesak, yakni menyangkut insentif usaha bagi petani.

Dengan harga yang rendah, insentif usaha jelas turun sehingga berdampak ke motivasi petani. Dalam jangka menengah-panjang, situasi ini mengancam kemandirian pangan nassional.

Bagi petani, tiada hal yang lebih menggembirakan selain harga jual yang layak atas hasil jerih payahnya. Harga layak adalah insentif paling bernilai yang akan mendorong mereka untuk memacu produksi serta produktivitas.

Penulis : MUKHAMAD KURNIAWAN
Sumber : Kompas.id