bahan pokok sembako bulog

Urgensi Badan Pangan Nasional

Perdebatan dibentuknya Badan Pangan Nasional akhir-akhir ini kembali menguat. Banyak pihak menginginkan segera dibentuknya lembaga yang satu ini. Sebenarnya, isu pembentukan Badan Pangan Nasional sudah mencuat pada awal tahun 2013 dengan nama “Badan Otorisasi Pangan”. Undang Undang pangan No.8 tahun 2012 yang telah dibuat oleh DPR dan disahkan pada akhir tahun 2012, mensyaratkan bahwa dalam waktu tiga tahun atau akhir tahun 2015 lembaga ini harus terbentuk. Oleh sebab itu, sebenarnya amanat UU Pangan ini bukan lagi untuk diperdebatkan atau menjadi polemik berkepanjangan, namun untuk segera dan secepat mungkin diwujudkan.

Lahirnya Undang Undang Pangan

Undang Undang pangan No. 8 tahun 2012 yang disahkan oleh DPR bulan Oktober 2012 dilatarbelakangi akibat carut-marutnya penanganan pangan di negeri ini. Sembilan bahan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, masih terus menyisakan persoalan tiap tahunnya, silih berganti seakan tiada henti. Mulai dari isu kenaikan harga, produksi yang berkurang, persoalan distribusi hingga isu keamanan pangan. Pemerintah seolah-olah tidak berdaya menghentikan fenomena-fenomena yang terjadi, mulai dari makanan pokok beras hingga bahan pangan kecil seperti bawang dan cabai.

Instansi pemerintah yang ditugasi mengurusi masalah pangan seperti mengalami “kebakaran jenggot” menghadapi fenomena pangan yang terjadi. Banyak kalangan menilai mereka berjalan sendiri-sendiri atau individualistis. Kebijakan yang dibuat dinilai begitu banyak yang tumpang tindih dan cenderung saling tidak mendukung. Oleh karena itulah, diperlukan suatu lembaga tersendiri yang terkonsentrasi serta mampu untuk mensinkronisasikan kebijakan yang telah dirumuskan.

Dibawah ini akan dipaparkan beberapa contoh kasus, tentang carut marut pangan dinegeri ini dan pentingnya pembentukan Badan Pangan Nasional.

Masih ingatkah kita kasus kelangkaan bawang putih tahun 2015… ? dimana menyumbangkan inflasi terbesar pada bulan tersebut dan terbesar secara nasional bahkan pada bulan Mei 2017 tahun ini menyumbang angka inflasi sebesar 0,08 persen.

Kasus langkanya bawang putih pada tahun 2014 patut menjadi pelajaran. Sikap yang menganggap enteng bahan pokok yang kecil dan tidak strategis telah menjadi boomerang tersendiri bagi pemerintah saat itu. Kenaikan harga yang hampir mencapai 3-4 kali lipat telah menjadi penyebab penyumbang inflasi terbesar pada bulan-bulan tersebut dan menjadi penyumbang inflasi yang terbesar secara nasional pada akhir tahun.

Keran impor bawang dibuka pemerintah sebagai solusi instant mengatasi kekurangan stok bawang di dalam negeri. Beberapa perusahaan di dalam negeri diperbolehkan untuk memasukkan bawang dari negara lain. Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Impor sudah dilaksanakan namun harga bawang di dalam negeri tetap naik.

Fenomena ini membuat bingung pemerintah, namun akhirnya terjawab juga. Ternyata telah terjadi praktek kartel atau permainan harga bawang putih oleh para importir. Mereka sengaja menimbun stock di pelabuhan, agar terjadi kekosongan stock dan harga makin melambung.

Hasil akhir dari investigasi yang dilakukan KPPU memutuskan bahwa telah terjadi praktik kartel disana. KPPU mengeluarkan keputusan untuk mendenda 19 perusahaan bawang putih dengan nilai bervariasi mulai dari puluhan juta sampai dengan hampir 1 milyar tergantung peran dari masing-masing.

Lalu bagaimana dengan bahan pokok lain seperti daging sapi atau ayam potong, apakah masih menyisakan persoalan…?

Sama seperti bawang, daging sapi dan ayam potong masih meninggalkan persoalan. Momen-momen hari besar keagamaan selau menjadi ladang keuntungan bagi bisnis ini. Tahun 2016, harga daging sapi dibeberapa wilayah tanah air sempat menembus angka 130 ribu per kg. Sampai-sampai pedagang daging yang berada di wilayah Jakarta, Tangerang dan Jawa Barat melakukan mogok berjualan, akibat pembeli yang sepi.

Kabareskrim Polri memimpin langsung penggerebekan pada dua lokasi yang diduga menjadi tempat penimbunan sapi serta dagingnya di daerah tangerang. Hasilnya di temukan 4.000 ekor sapi di tempat penggemukan sapi (feedloter), dimana 500 ekor sapi seharusnya dipotong sebelum hari raya Idul Fitri 1437 H tetapi tidak segera dilaksanakan.

Namun kasus ini berhenti ditengah jalan, tidak sampai ke meja hijau. Hal ini terkendala dengan peraturan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang untuk menjamin stabilitas harga dan ketersediaan barang yang beredar di pasar. Disana disebutkan, kriteria bisa dikategorikan penimbunan jika menyimpan dalam jangka waktu tiga bulan, namun para feedloter belum melampaui batas itu. Kelemahan itulah yang diusulkan Polri agar direvisi, sehingga kriteria dikatakan penimbunan diubah jika dianggap dapat meresahkan masyarakat.

Untuk ayam potong, kasusnya hampir serupa dengan daging sapi. KPPU memutus 12 perusahaan yang terlibat dalam praktek kartel ayam. Mereka diputus bersalah karena terbukti bersepakat melakukan afkir dini induk ayam (parent stock) pada 14 September 2015. Bahkan, kesepakatan itu dicapai setelah serangkaian pertemuan yang diakukan beberapa bulan sebelumnya. Afkir dini induk ayam sengaja dilakukan, sehingga mengakibatkan peternak ayam skala kecil membeli bibit ayam dengan harga yang mahal. Hal ini secara tidak langsung akan menaikkan harga ayam di tingkat konsumen.

Fakta diatas, merupakan serangkaian peristiwa kenaikan harga bahan-bahan pangan pokok yang terjadi selama ini. Lantas, bagaimana dengan koordinasi antar Lembaga dan Kementerian apakah masih terdapat masalah…. ?

Lemahnya koordinasi antar kementerian ditunjukkan dengan polemik perlu tidaknya impor beras pada bulan oktober 2015, antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Disini jelas terlihat kemampuan koordinasi dan kerjasama antar kedua menteri yang sangat kurang. (m.tempo.co.id). Mentan Amran Sulaiman mengatakan selama setahun kepemimpinannya, Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Namun, Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan pemerintah masih melakukan negosiasi terkait rencana impor beras dari Vietnam dan Thailand. Dua hal yang saling bertentangan dan bertolak belakang.

Contoh kasus lainnya ketika Mentan mengatakan tidak akan impor bawang merah pada tahun 2016. Pernyataan tersebut didasarkan pada data yang ia pegang, dimana produksi bawang merah di Indonesia sebanyak 241 ribu ton sedangkan kebutuhan 175 ribu ton sehingga impor tidak diperlukan. Belakangan Mentan malah menjilat ludah sendiri dengan mewacanakan untuk mengimpor 2.500 ton bawang merah dengan alasan menstabilkan harga menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri (m.gresnews.com).

Selain itu juga, koordinasi yang lemah serta birokrasi yang berbelit-belit terjadi pada kasus impor daging sapi. Hal ini diakui oleh Menteri Perdagangan Thomas Lembong terhadap keterlambatan dalam eksekusi impor sapi untuk memenuhi kebutuhan puasa dan lebaran tahun 2016. Keterlambatan proses perizinan kuota tambahan berasal dari Kemendag yang terlalu lama dalam penerbitannya. Izin importasi untuk BULOG sebagai pengimpor baru turun beberapa minggu sebelum puasa. BULOG menilai hal ini begitu terlambat. Idealnya, izin sudah harus diturunkan paling lambat H-3 bulan sebelum puasa. Agar kenaikan harga daging sapi yang dikarenakan akibat kurangnya pasokan daging sapi dari dalam negeri dapat diredam (m.republika.co.id).

Keterlambatan izin impor tentu menyulitkan pada proses impor itu sendiri terutama soal operasional angkutan yang tidak maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyaknya kontainer yang menjemput daging beku dari pelabuhan Tanjung Priok, padahal jika impor daging dilakukan lebih awal distribusi daging ke luar akan lebih cepat.

Polemik Badan Pangan Nasional

Pemerintah saat ini terus didorong agar meleburkan berbagai instansi untuk menjalankan kebijakan pangan. Watak pangan strategis yang multidimensi dan reorientasi tata pangan nasional yang berdaulat, sangat sulit dan tidak akan pernah bisa dilaksanakan oleh sebuah Kementerian teknis yang teramat sektoral. Selain itu, kasus kenaikan harga pangan yang silih berganti, koordinasi yang lemah antar lembaga serta maraknya praktek kartel pangan menjadi pendorong utama menguatkan segera pembentukan lembaga ini. Lembaga yang bernama Badan Pangan Nasional sangat diharapkan pemerintah selaku pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional.

Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan pada salah satu pasal yaitu Pasal 126 dalam UU pangan No. 8 tahun 2012 berbunyi, “Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden” serta pada Pasal 127 disebutkan, “Lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan”.

Kartel pangan merupakan musuh bersama yang dapat diberangus, jikalau ada koordinasi yang kuat antara pembuat kebijakan pangan di negeri ini dengan pelaksana dari kebijakan tersebut. Akan lebih baik lagi andaikan antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan berada dalam satu atap sehingga koordinasi akan lebih mudah dan sasaran cepat tercapai. Karena selama ini, BULOG yang merupakan BUMN yang bergerak dalam bidang pangan selalu kesulitan dalam mengambil tindakan cepat.

Hal ini dikarenakan, terlalu banyaknya Kementerian teknis yang harus dihadapi BULOG hanya untuk sekedar berkoordinasi. Birokrasi yang panjang memerlukan waktu yang lama atau kurang efektif untuk sekedar merumuskan langkah-langkah kebijakan yang diambil. Sehingga tindakan reaktif dan responsif yang cepat sering terlambat. Analoginya, ibarat api sudah membesar dan menghanguskan semuanya, setelah itu baru mobil pemadam kebakaran datang membawa air.

Wacana yang terus berkembang sampai sekarang dalam pembentukan Badan Pangan Nasional adalah pemisahan dua fungsi yaitu regulator dan operator. Opsi pemisahan tugas inilah yang paling banyak didukung para kalangan mulai dari pakar hingga akademisi dari perguruan tinggi. Mereka menilai harus ada pemisahan antara lembaga pembuat kebijakan (regulator) dengan lembaga pelaksana kebijakan (operator). Pemisahan ini dilakukan agar tidak terjadi conflict of interest atau konflik kepentingan. Selain itu, pemisahan dilakukan guna mengurangi terjadinya praktik-praktik penyimpangan yang mungkin bisa saja terjadi dikemudian hari.

Sebenarnya pemerintah telah memberikan sinyal urgensinya pembentukan Badan Pangan Nasional dengan dikeluarkannya Perpres No. 71 Tahun 2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang serta Perpres No 48 tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum (Perum) BULOG dalam rangka ketahanan pangan nasional. Sinyal itu semakin diperkuat dengan rencana Kementerian BUMN untuk membentuk holding BUMN Pangan, yang terdiri dari tujuh BUMN dimana BULOG sebagai holdingnya. Menteri BUMN menargetkan holdingisasi selesai terbentuk akhir tahun 2017.

Namun semuanya seakan sirna, ketika terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No 20 tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan Presiden Nomor 48 tahun 2016 tentang penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) BULOG dalam rangka ketahanan pangan nasional. Dimana dalam rangka pelaksanaan penugasan kepada Perum BULOG khusus untuk komoditas gabah dan beras dilimpahkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian untuk jangka waktu 6 (enam) bulan ke depan.

Terbitnya Perpres pengganti yang berisikan perubahan tugas BULOG, menunjukkan betapa rapuhnya konsep kebijakan pangan di negeri ini. Perubahan dari kebijakan satu ke kebijakan yang lain yang begitu cepat, semakin menunjukkan tidak adanya roadmap kebijakan pangan ke depan. Ini juga secara tersurat semakin menunjukkan carut marutnya penanganan pangan di negeri ini. Saling ambil alih kewenangan semakin menampakkan kuatnya ego sektoral suatu Kementerian. Secara tidak langsung, inilah cerminan lemahnya koordinasi dan komunikasi antar lembaga yang ada dalam pemerintahan saat ini.

Andaikan Badan Pangan Nasional sudah terbentuk, maka perubahan atas Perpres satu ke Perpres yang lain tidak akan terjadi. Overlapping kebijakan satu dengan kebijakan yang lain juga tidak akan terdengar. Hal ini dikarenakan, pembuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional merupakan kewenangan lembaga pangan ini.

Semoga janji Menteri Pertanian Dr. Amran Sulaiman dihadapan Komisi IV DPR RI tanggal 7 Juni 2017, untuk mengumumkan pembentukan Badan Pangan Nasional setelah Hari Raya Idul Fitri bukan isapan jempol saja. Mari kita tunggu dan kawal bersama, agar lembaga pangan yang merupakan harapan besar bangsa ini untuk mengurusi masalah pangan benar-benar lahir dan segera terwujud. Semoga…..

Artikel by Julkhaidar Romadhon