“Keterlambatan pembagian rastra ini berdampak pada hasil indikasi ekonomi yang telah disurvei oleh BPS”. “Kejadian ini kita harapkan tidak terjadi lagi. Mestinya, kalau ada hal yang penting seperti ini saya diberi tahu sehingga dampak yang ada dari keterlambatan ini benar-benar tidak dirasakan langsung oleh masyarakat” kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (22/6/2017).
Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi pada saat membuka sidang kabinet paripurna yang membahas mengenai evaluasi harga-harga bahan pokok dan antisipasi mudik lebaran 2017. Kedua pernyataan tersebut diambil dari laman Detik pada hari kamis Kamis (22/6/2017) yang berjudul Kesalnya Jokowi, Beras untuk Masyarakat Miskin Telat.
Sepertinya memang agak janggal ketika kita mendengar pernyataan Presiden Jokowi yang kesal, rada marah dan sangat mengkhawatirkan akan dampak indikasi ekonomi akibat keterlambatan penyaluran rastra. Karena justru akhir-akhir ini, kita mendengar isu bahwa rastra enam bulan ke depan di tahun 2017 akan distop penyaluran dan pada tahun 2018 benar-benar dihapuskan, dengan alasan tertentu. Terus mengapa kesal.. ? Ada apa dengan Rastra… ?
Memang agak rada-rada membingungkan jika kita cermati dengan seksama. Pertanyaan-pertanyaan dibawah ini pasti akan bermunculan dibenak-benak publik seperti ; Apakah memang iya, Bapak Presiden benar-benar tidak tahu masalah ini… ? Apakah Pak Jokowi tidak mendapat laporan dari Menteri-Menteri teknis terkait bahwa rastra sengaja diperlambat penyalurannya…? Apakah Pak Jokowi juga tidak dikasih tahu, bagaimana dampaknya jika rastra dihapuskanbagi perekonomian… ? bahayanya mekanisme pasar…. ? mafia pangan.. ? dan pertanyaan-pertanyaan seterusnya…?
Mengapa seperti itu ? Logikanya sangat sederhana sekali, rastra terlambat saja pak Presiden sangat kesal karena akan berimbas kepada hasil indikasi ekonomi yang telah disurvei oleh BPS, apalagi kalau rastra benar-benar dihapuskan… ? Apa yang akan terjadi… ?
Supaya tulisan ini berbobot dan tidak saling tuding, maka saya akan menyegarkan ingatan kita tentang pernyataan Mentan beberapa waktu lalu pada saat Rapat Kerja Bersama di gedung DPR RI dengan Komisi IV, ketika mendapat pertanyaan mengenai kabar penyetopan Rastra selama 6 bulan. Artikel yang dapat dilihat di laman detik tanggal 7 Juni 2017 berjudul “Rastra diganti Bantuan Pangan Non Tunai, Hemat Rp 3,9 Triliun”
Mentan Dr. Amran Sulaiman menyatakan, bahwa pemerintah memang sengaja menahan penyaluran beras RASTRA untuk masyarakat tidak mampu sejak Januari 2017 untuk menyelamatkan para petani. Dikarenakan terjadi deflasi dan untuk menyelamatkan para petani, maka pemerintah menggantinya dengan menyalurkan bantuan tunai melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Ia mengumpamakan bahwa petani ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah bisa menghemat biaya operasional Rp 3,9 Triliun. Mentan juga mengaku, pemerintah telah kembali menyalurkan Rastra pada Mei 2017.
Artinya disini adalah sudah terang benderang apa yang menjadi biang keladi keterlambatan penyaluran Rastra di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Penyetopan rastra yang secara sengaja dan baru dilakukan penyalurannya pada bulan Mei 2017, merupakan faktor utama penyaluran rastra menjadi telat.
Akibat kesengajaan menahan penyaluran Rastra, dampak lanjutannya adalah keterlambatan bagi pemerintah daerah mengeluarkan Surat Permintaan Alokasi (SPA) baik SPA Gubernur maupun SPA Bupati/Walikota ke Perum BULOG. Semua itu tentu memerlukan proses dan memakan waktu yang tidak sedikit. Setelah itu, dampak selanjutnya adalah beralih pada pihak Kecamatan maupun Kelurahan yang merupakan ujung tombak pelaksanaan rastra. Dimana, mereka harus melakukan sosialisasi kepada warga, melakukan musyawarah desa, mengumpulkan uang dari warga, yang mana semua itu memerlukan waktu yang tidak sebentar. Jadi kompleks sudah seabrek masalah yang membuat rastra menjadi telat disalurkan.
Rastra seharusnya disalurkan per alokasi setiap bulan, namun karena bulan Mei baru disalurkan maka akan terjadi penumpukan jatah rastra yang harus diambil oleh masyarakat. Penumpukan tersebut tentu sangat memberatkan bagi masyarakat miskin, karena jika mereka mau menebus semua keterlambatan jatah rastranya maka uang yang harus dibayartentu tidak sedikit. Terpaksa mereka harus mencicil penebusannya per alokasi dan tidak bisa sekaligus lima bulan. Akibatnya terjadilah keterlambatan penebusan rastra bulan berikutnya.
Seandainya saja rastra tidak sengaja di stop penyalurannya dan sudah mulai disalurkan pada Bulan Januari 2017, tentu kejadiannya tidak akan seperti ini. Tidak akan terdengar kekesalan dan kemarahan Presiden kepada Menteri terkait karena terlambatnya penyaluran rastra. Karena jika kita melihat ketersediaan stock beras yang ada di gudang BULOG, pada awal tahun 2017 atau akhir tahun 2016 stock tersedia lebih kurang sekitar 1,7 juta ton. Dimana, stock beras yang dikuasai tersebut cukup untuk penyaluran Rastra selama 6 bulan ke depan.
Namun, akibat kebijakan yang salah diambil oleh Kementerian terkait mengakibatkan dampak yang begitu besar, terutama terhadap penilaian kinerja hasil indikasi ekonomi negeri ini secara keseluruhan yang telah disurvei oleh BPS. (Baca : Jangan Sepelekan RASTRA, Kesaktian RASTRA dan BPNT ditengah Pusaran Mafia Pangan).
Oleh karena itulah, penting rasanya kejadian ini menjadi sebuah cambuk bahwa kepentingan ego sektoral harus disingkirkan dan kepentingan orang banyak harus dikedepankan. Jangan karena ingin menonjolkan kepentingan institusi sendiri terus mengabaikan keberadaan institusi yang lainnya. Hendaklah memandang persoalan harus dengan berbagai sudut pandang, bukan dengan sudut pandang yang sempit. Kebijakan yang diambil haruslah mempertimbangkan pengalaman-pengalaman sebelumnya atau sejarah yang telah ada.
Presiden juga sudah mengingatkan agar kejadian ini tidak terulang lagi dan sesuatu yang penting seperti keterlambatan penyaluran rastra beliau harus tahu. Presiden juga manusia biasa, beliau tidak mungkin paham dan mengerti detail terhadap seluruh sektor atau masalah yang ada. Kita yang mempunyai keahlian dan tahu betul terhadap masalah ini memiliki kewajiban untuk menjelaskan secara rinci duduk permasalahannya. Sehingga akan didapatkan solusi yang tepat dan kebijakan yang diambil tidak menjadi salah demi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Di dunia ini tidak ada sebuah kebetulan semua sudah ditakdirkan. Tidak ada kata terlambat, walaupun nasi sudah menjadi bubur namun pepatah bijak mengatakan “tersimpan hikmah dibalik semua kejadian”.
Artikel by Julkhaidar Romadhon
Kandidat Doktor Ekonomi Pertanian Universitas Sriwijaya