kasus beras maknyus dan ayam jago

Belajar Dari Kasus Beras PT IBU

Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan adanya berita penggerebekan pabrik beras milik PT Indo Beras Unggul (PT IBU) anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera di Bekasi yang memproduksi beras merk Maknyuss dan Cap Ayam Jago.

Penggerebekan dilakukan oleh Bareksrim Mabes Polri yang tergabung dalam Satgas Pangan pada hari kamis sore, 20 Juli 2017. Fakta dilapangan ditemukan bahwa PT IBU melakukan pembelian gabah ditingkat petani Rp 4.900,- diatas harga pembelian pemerintah sehingga diduga dapat mematikan pelaku usaha lain.

Hal ini bisa dikarenakan mayoritas petani pasti menjual gabah ke PT IBU. Hasil pembelian gabah petani selanjutnya diproses dan dikemas oleh PT IBU dengan merk Maknyus dan Ayam Jago yang kemudian dijual dengan harga Rp 13.700 dan Rp. 20.400,-/kg (m.detik.com).

Silang pendapatpun terjadi dan masing-masing pihak saling memberikan argumentasi dan pembelaan. Oleh karena itulah artikel ini mencoba mengulas sisi lainnya yang menjadi akar permasalahan sebenarnya. Sehingga, kita bisa mengambil hikmah atau pelajaran dibalik kasus besar ini.

Banyaknya sorotan dari berbagai pihak mengenai kinerja Kementan tiga tahun terakhir, mendorong Kementan untuk kerja keras dalam mencari tahu dibalik permasalahan dalam sektor perberasan. Publik menilai, tingginya alokasi anggaran yang digelontorkan ternyata belum optimal dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

Kritikan baru-baru ini datang dari Direktur INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Enny Sri Hartati menjelaskan anggaran kedaulatan pangan melonjak 53,2 persen dari Rp 63,7 triliun pada tahun 2014 mencapai Rp 103,1 triliun pada APBN 2017.

Bantuan tersebut menurut Kementan digunakan dalam bentuk subsidi input, berupa subsidi benih sekitar 1,3 Triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2 Triliun. Selain subsidi input, pemerintah juga memberikan bantuan pupuk, benih, pestisida, asuransi pertanian, alat mesin pertanian dan jaringan irigasi kepada petani yang besarnya puluhan triliun.

Namun, anggaran yang besar tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapat. Indikator atau patokan keberhasilan pemerintah berswasembada pangan, secara awam dimata publik dapat diartikan dengan tidak adanya impor.

Swasembada = Tidak Impor

Indikator yang digunakan untuk menentukan beras negara lain masuk yaitu stok beras pemerintah itu sendiri. Stok-stok ini ditempatkan digudang-gudang milik pemerintah, yang dalam hal ini gudang BULOG. Stok aman minimal yang harus dikuasai pemerintah pada akhir tahun, agar tidak melakukan impor beras rata-rata harus diatas 1 juta ton.

Dengan konsumsi beras penduduk Indonesia lebih kurang 35 juta ton, stock beras minimal ini sebenarnya hanya mampu bertahan lebih kurang 2 minggu.  Namun kenyataannya sekarang, tahun ini pengadaan beras BULOG agak seret atau tidak selancar tahun lalu. Sehingga wajar, jika pemerintah mencoba mencari tahu apa yang terjadi dibalik semua ini.

Agar tulisan ini lebih objektif, maka saya akan membahas fakta-fakta yang didapat dari sumber koran ternama. Fakta pertama; hasil penggerebekan pabrik beras di bekasi satgas pangan menyebutkan bahwa mereka membeli gabah petani rata-rata Rp 4.900,- jauh diatas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp. 3.700.

Satu sisi kita melihat bahwa tidak ada yang salah dengan harga pembelian oleh PT IBU. Logikanya, dengan harga pembelian gabah yang lebih tinggi dari harga pemerintah berarti petani mendapat keuntungan yang lebih banyak sehingga petani lebih sejahtera lagi.

Hal ini senada dengan pendapat Ekonom INDEF Dradjad Wibowo, ia menyatakan bahwa apa yang dilakukan PT IBU dalam bisnisnya merupakan sebuah inovasi tataniaga petani yang brillian. Menurutnya, perusahaan seperti produsen merk Maknyus seharusnya diberi penghargaan.

Dia juga menilai, pemerintahan ini seperti terlihat anti petani dan anti perusahaan pertanian. Sehingga dia berharap Presiden Jokowi menegur keras Kapolri Jend. Tito Karnavian dan Mentan Amran Sulaiman.

Namun pertanyaan besarnya adalah bagaimana jika kejadian pembelian gabah diatas HPP oleh PT IBU ini terjadi diseluruh Provinsi sentra produksi di Indonesia. Bagaimana dengan penyerapan gabah oleh pihak BULOG… ?

Jawabannya sudah pasti tidak optimal, karena sudah bisa dipastikan petani menjual kepada pihak yang berani membeli dengan harga tinggi. (dampak lanjutan akan saya ulas pada bagian 2, terhadap kasus beras yang lain oleh satgas pangan) Kita juga harus ingat pernyataan KPPU beberapa tahun lalu yang mensinyalir bahwa perusahaan seperti PT IBU terdapat pada 11 Provinsi sentra beras (m.waspada.co.id).

Lantas pertanyaan selanjutnya, Apakah pemerintah punya hak untuk menyuruh petani agar menjual gabahnya kepada BULOG, dengan alasan karena mereka mendapatkan subsidi input…? tentu jawabannya bisa, namun pada era demokrasi rasanya kurang tepat,  pasti banyak pihak yang menentang.

Salah satunya datang dari Muhammad Said Didu, Ketua Umum Alumni IPB 2008-2013, yang mengatakan bahwa HPP adalah harga pembelian terendah gabah/beras Bulog kelas medium produk petani. Karena yang diatur harga terendah maka sangat tidak benar jika penegak hukum melarang petani jika menjual lebih mahal.

Ingat bahwa penerapan HPP minimum tujuannya adalah untuk melindungi petani, jangan digunakan untuk menekan harga petani, itu salah. Sehingga adalah lucu mengaitkan harga jual petani dengan alasan mendapatkan subsidi sehingga harus jual murah. Ini tidak ada aturannya. Jika prinsip bahwa tiap yang mendapatkan subsidi akan diatur harganya maka ini sangat otoriter dan lebih otoriter dari negara komunis.

Fakta selanjutnya yaitu, PT IBU bisa menjual produknya RP 13.700/kg untuk beras maknyuss dan Rp 20.400/kg untuk beras ayam jago. Pertanyaannya sekarang, mengapa PT IBU bisa menjual dengan harga semahal itu dan anehnya banyak juga pembelinya.

Secara logika, jika harga beras tersebut harganya mahal daripada beras yang lain, tentu tidak akan ada yang membeli. Apakah konsumen lebih mementingkan merk… ? atau apakah beras PT IBU sudah menguasai pasar sehingga konsumen tidak ada pilihan lain pada jenis beras kelas premium.. ? jika memang konsumen tidak mempunyai pilihan lain, berarti ini sesuai dengan pernyataan ketua KPPU.

Ketua KPPU syarkawi Rauf menilai bahwa struktur industri beras cenderung kompetitif di tingkat petani dan pengecer tapi cenderung oligopoli di pusat-pusat distribusi (middleman). Hal ini merupakan salah satu hasil pemetaan jejaring distribusi yang dilakukan KPPU.

Pihaknya menemukan potensi persaingan usaha tidak sehat terjadi serta telah mengidentifikasi pelaku-pelaku usaha yang menjadi peguasanya. KPPU sedang mengawasi perdagangan beras di 11 Provinsi yang menjadi pusat produksi nasional, dimana pemain besar hanya ada lima sampai tujuh.

Artinya, mereka akan sangat mudah melakukan persekongkolan atau yang dikenal dengan praktik kartel. Syarkawi menyarankan agar rantai distribusi beras dapat dipangkas sehingga efisiensi harga dapat tercapai (m.bisnis.tempo.co).

Lantas, bagaimana solusinya… ? Apakah pemerintah akan mengawasi serta memaksa satu-satu petani yang menerima subsidi input untuk menjual gabah ke BULOG…. ?

Atau apakah pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang pedagang besar untuk membeli gabah yang menggunakan subsidi input… ? mungkin juga, pemerintah memaksa pedagang besar yang sudah membeli gabah petani agar menyisihkan atau menyetor ke pemerintah yang dalam hal ini BULOG… ?

Terbukanya mata semua pihak

Jika melihat polemik yang terjadi akhir-akhir ini, banyaknya kritikan, masukan hingga penentangan, rasanya langkah-langkah diatas pasti akan menuai kontroversi. Oleh karena itu, sesuai dengan rekomendasi INDEF, KPPU, Perguruan Tinggi dan lembaga Independen lain maka sangat diperlukan sebuah lembaga yang fokus mengurusi masalah pangan.

Pemerintah harus masuk untuk mengintervensi pasar pangan yang menurut KPPU sudah tidak kompetitif lagi. Lembaga pemerintah yang mengurusi pangan harus diperkuat agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang sudah sangat menggurita.

Lembaga pangan yang ada di negeri ini dan sudah terbiasa mengurusi pangan adalah BULOG. Namun sekarang, lembaga ini seakan tak berdaya menghadapai perusahaan-perusahaan besar yang notabene merupakan binaannya dahulu.

Sepuluh sampai dua puluh tahun yang lalu, perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dalam bidang perberasan merupakan penggilingan kecil yang dibina oleh BULOG. Namun sekarang mereka sudah mejadi besar, go public, mempunyai anak perusahaan, memiliki infrastruktur lengkap, peralatan modern dan menguasai pangsa pasar. Oleh karena itulah, wajar jika sekarang mereka tidak bisa didikte seperti dahulu.

Peralatan modern yang mereka miliki tentu sangat mudah dalam menghasilkan beras premium. Perusahaan besar ini yang menurut KPPU terindikasi kartel, karena mereka mampu mempengaruhi harga beras di pasaran. Mereka menguasai pangsa pasar konsumen di daerah masing-masing.

Menurut Bayu Khrisnamurti, bahwa harga beras premium inilah yang menjadi penggerek harga beras medium. Hal ini bisa saja disebabkan karena bahan baku beras premium dan medium adalah sama yaitu dari beras juga. Cuma yang membedakan adalah spesifikasinya seperti panjang pendek butiran berasnya dalam hal ini beras kepala dan patah, derajat sosoh, jumlah broken dan menir.

Hikmah terbesar yang dapat diambil dari kasus penggerebekan dari PT IBU di bekasi ini adalah perlunya lembaga pemerintah untuk mengurusi pangan. Kasus ini sudah membukakan mata semua pihak. Banyak orang akhirnya menyadari bahwa masalah pangan tidak bisa diurus serampangan karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Baca juga : Urgensi Badan Pangan Nasional

Mereka sama-sama berpendapat bahwa dalam era globalisasi yang sangat terbuka seperti sekarang ini, penting sekali rasanya pihak swasta diberikan pesaing seimbang dari pihak pemerintah. BULOG  sebagai wakil pemerintah harus diperkuat dan dipersenjatai agar mampu berfungsi maksimal serta mengintervensi pasar yang tidak kompetitif.

Masyarakat sangat merindukan kembalinya BULOG seperti marwahnya terdahulu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Janji Mentan harus ditagih untuk mengumumkannya sehabis lebaran. Jika tidak, kasus kasus seperti ini pasti akan terjadi lagi dan terulang terus tiap tahunnya.

Pelajaran terbesar secara tidak langsung yang dapat kita ambil dari penggerebekan PT IBU adalah ; bahwasanya pemerintah harus berpikir ratusan kali untuk menyerahkan semua urusan ke dalam mekanisme pasar. Sudah sepatutnya pemerintah mengkaji ulang program-program pemerintah seperti voucher pangan atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang menyandarkan sepenuhnya dalam percaturan pasar.

Tangan tuhan atau invisible hand  terjadi apabila baik konsumen maupun produsen memiliki kekuatan yang seimbang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah logis jika kita menyandingkan perusahaan besar yang memiliki aset besar dengan masyarakat miskin yang selama ini menerima rastra.. ? Apakah pemerintah masih meragukan tentang fakta-fakta diatas… ? atau apakah kurang cukup bukti dan masih menunggu bukti-bukti lainnya… ?

Artikel by Julkhaidar Romadhon