Terjadinya kenaikan harga merupakan hal yang paling ditakuti pemerintah. Bagaimana tidak, harga yang naik akan mengganggu roda perekonomian.
Bahkan jika tidak semakin dikendalikan akan mengganggu kestabilan sosial politik serta menghancurkan roadmap pembangunan yang sudah disusun.
Oleh karena itu, pemerintah akan berusaha mati-matian agar jangan ada satu pun komoditi yang mengalami kenaikan tak terkendali.
Komoditas yang paling ditakuti harganya naik, baik pemerintahan sendiri maupun di luar sana sampai saat ini adalah komoditas bahan pangan.
Tentu, komoditas yang mampu menggerakan kenaikan harga barang lainnya (inflasi) adalah kebutuhan pangan pokok atau utama. Dan, di Indonesia kebutuhan utama tersebut adalah beras.
Pemerintah mempunyai kepentingan untuk menjaga jangan sampai beras menjadi langka dan harganya melambung tinggi.
Karena, baik sejarah di dalam dan luar sana telah membuktikannya. Pemerintahan suatu negara akan hancur jika tidak mampu mengelola pangan dengan baik.
Kenaikan harga beras di sisi lain memang menguntungkan sebagian pihak terutama spekulan. Namun, hal ini sangat bertentangan dengan kepentingan pemerintah.
Biasanya momen seperti ini muncul ketika hari besar keagamaan, masa paceklik, hingga akhir tahun.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah selalu mengandalkan senjata pamungkasnya yang bernama”operasi pasar”. Dengan sekejap kota-kota yang mengalami kenaikan harga, akan dibanjiri dengan komoditas dengan harga di bawah harga pasar.
Nah, keadaan seperti inilah yang paling ditakuti para “spekulan” yang mengejar keuntungan dengan melakukan penimbunan stok.
Tentu, lembaga yang sudah biasa melakukan kegiatan operasi pasar adalah BULOG. Pada situasi dan kondisi pasar yang sudah diserbu program operasi pasar, akan membuat para spekulan berhitung cepat.
Tinggal dua opsi yang dipilih; pertama, segera melepas stock yang ditimbun untuk menghindari kerugian, dan kedua, tetap bertahan dengan menahan stok yang ada dengan konsekuensi kerugian besar akibat barang yang tidak laku.
Sebenarnya, cara ini (operasi pasar) merupakan solusi tepat dan elegan yang mesti dikedepankan oleh pemerintah, ketimbang memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) beras.
Pemberlakuan HET sangat merugikan banyak pihak, terutama pedagang dan petani. Mereka menjadi takut dalam menjalankan usahanya, berkreasi maupun berinovasi.
Baca : Mengapa HET Beras Susah Diatur Pemerintah?
Apalagi, pemberlakuan HET terus diawasi oleh tim satgas mafia pangan. Penegakan hukum setiap saat dapat saja dilakukan jika terjadi penyelewengan.
Harga merupakan cerminan keseimbangan pasar yang sebenarnya. Jika harga mengalami kenaikan, berarti ada yang salah dengan salah satu sisi baik permintaan dan penawaran.
Permintaan yang banyak akan mendorong terjadinya lonjakan harga. Begitu juga jika supply yang sedikit, juga akan menyebabkan kenaikan harga.
Ada dua program solusi sebenarnya yang sudah diterapkan pemerintah dan terbukti ampuh menekan harga. Dua program ini, sebenarnya selalu menjadi senjata ampuh andalan pemerintah.
Namun, pemerintah sekarang seakan menutup mata, tidak ambil peduli dan mencoba program lain (Bantuan Pangan Non Tunai) yang keberhasilannya belum terbukti. Dua program solusi tersebut adalah:
Program Rastra
Rastra secara filosofi sebenarnya bentuk intervensi pemerintah dari sisi permintaan. Ingat yang saya katakan di depan tadi, bahwa kenaikan harga terutama beras bisa disebabkan karena adanya lonjakan permintaan dari masyarakat.
Nah, dengan digelontorkannya rastra ini artinya mengurangi permintaan beras masyarakat sebanyak 2.78 juta ton atau 15.5 juta RTS ke pasaran umum. Sehingga mampu menekan permintaan dan harga relatif stabil.
Baca : Kesaktian RASTRA dan Jangan Sepelekan RASTRA
Sebaliknya, program yang digemborkan pemerintah sebagai evolusi dari rastra yaitu Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), membebaskan masyarakat untuk membeli beras di pasaran dengan harga berapapun.
Ini artinya sama saja dengan meningkatkan jumlah permintaan beras di pasaran umum, konsekuensinya harga akan naik.
Kita bisa bayangkan, dengan sekejap saja akan ada 15.5 juta KK yang berebut beras di pasaran lebih kurang 300 ribu ton per bulan atau 2.78 juta ton setahun.
Dan, yang lebih mirisnya lagi hasil penyidikan KPPU dan penelitian para akademisi, bahwa pasar beras di Indonesia berbentuk asimetris, dikuasai oleh beberapa pengusaha besar saja atau lebih terkenal dengan istilah kartelisasi.
Operasi Pasar
Kalau rastra tadi merupakan intervensi pemerintah dari sisi permintaan, maka operasi pasar merupakan senjata pemerintah untuk menstabilkan harga dari sisi supply atau penawaran.
Ingat, yang saya katakan diawal tadi bahwa kenaikan harga bisa disebabkan oleh karena stok atau ketersediaan beras yang memang menipis atau tidak ada.
Operasi pasar yang dilakukan di pasar-pasar atau permukiman, berarti sama saja dengan menambah stok beras yang ada.
Dengan harga beras berada di bawah harga pasar dengan dibarengi dengan stok yang banyak maka akan secara otomatis menurunkan harga.
Baca : Operasi Pasar BULOG Ampuh Menekan Harga Beras
Hal in disebabkan karena masyarakat mengurangi permintaan ke pasar, pedagang menurunkan harga karena stok yang cukup atau bisa juga spekulan melepas stok mereka.
Ini bisa dibuktikan dengan mengularnya masyarakat untuk membeli beras atau komoditas lain pada saat BULOG melakukan operasi pasar.
Namun, yang menjadi pertanyaan besarnya sekarang adalah.. mengapa pemerintah tetap bersikukuh untuk mengganti dua program yang terbukti sudah teruji untuk meredam kenaikan harga…?
Program rastra diganti dengan program bantuan pangan non tunai dan program operasi pasar dengan pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET).
Bahkan, semakin sedih lagi ada pihak yang berpikiran untuk membubarkan lembaga yang mengurusi program ini bertahun-tahun.
Baca : Jika Tidak Berfungsi, Ketum PKB Minta BULOG Dibubarkan
Semoga pemerintah cepat menyadarinya, mengambil langkah yang tepat dengan belajar dari sejarah, mengingat bahwa prediksi badai krisis 10 tahunan akan datang di tahun depan.
Artikel by Julkhaidar Romadhon, Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya