Tentu sungguh disayangkan dan sangat tidak pantas ketika seorang Pejabat Negara dalam hal ini Kepala Dinas Sosial (Kadinsos) Provinsi Lampung Sumarju Saini, menyebut Bulog sebagai “ayam sayur” dalam menjalankan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dari pemerintah pusat.
Pada kesempatan itu dia menceritakan, pihaknya beberapa bulan lalu sudah sosialisasi kepada Kepala Dinas Sosial se-Kabupaten/Kota Lampung tentang manajer suplayer yang saat ini dipegang Bulog.
Namun demikian sampai hari ini, program itu juga masih di awang-awang, karena tanpa ada Pedoman Umum (Pedum) dan Petunjuk Teknis (Juknis) dari Kementerian Sosial (Kemensos) semua itu tidak berlaku.
Namun penggunaan istilah “ayam sayur” sungguh tidaklah tepat ditujukan kepada Bulog sebagai sebuah lembaga. Istilah itu sering dipakai sebagai perumpamaan identik dengan lemah atau ketidakberdayaan.
Bagaimanapun juga Bulog adalah Lembaga pangan yang merupakan institusi negara dan keberadaannya sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia dari tahun 1967.
Jika Bulog benar dikatakan “ayam sayur” maka kita tentu tidak akan merasakan stabilnya harga pangan sampai detik ini. Kita tidak akan dengan tenang menjalani hari raya keagamaan, tahun baru dan momen besar lainnya, karena sibuk memikirkan kelangkaan dan kenaikan harga sembako.
Kita tentu tidak akan merasakan geliatnya perekonomian bangsa karena pemerintah sibuk memikirkan kenaikan harga bahan pangan yang terus terjadi.
Hal itu tentu sangat menganggu dan merugikan dan jelas mengganggu roda perekonomian bangsa. Semua yang kita rasakan selama ini, mulai dari ketersediaan bahan pangan, keterjangkauan harga hingga stabilisasi harga merupakan kinerja Bulog yang merupakan “macan logistik” negeri ini yang sudah mengabdi lebih dari 5 dekade.
Bagaimanapun juga, Menteri Sosial Agus Gumiwang telah mempercayakan kembali penyaluran beras BPNT ke masyarakat kepada Bulog. Kemensos juga siap memberikan 100 persen beras BPNT kepada Bulog untuk disalurkan kepada masyarakat, Bulog tak hanya akan diberi tugas menyalurkan beras BPNT ke daerah terpencil, tapi juga ke tempat yang mudah dijangkau.
Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa kebijakan pangan dalam hal ini beras haruslah dipandang secara komprehensif bukan sepotong-sepotong.
Tugas Bulog tidak hanya melakukan penyerapan gabah beras petani saja, namun juga mendistribusikan ke pelosok negeri. Daerah-daerah defisit seperti daerah timur perlu mendapatkan beras dengan harga, kualitas dan kuantitas yang sama di daerah barat.
Penyerapan beras Bulog juga bertujuan untuk menjaga harga gabah beras petani jangan sampai anjlok. Namun, beras penyerapan Bulog ini harus diberikan outlet penyaluran agar beras tidak menumpuk di gudang sehingga menjadi rusak.
BPNT & Permasalahannya?
Sebenarnya langkah yang sangat tepat, ketika pemerintah sudah menyadari ada yang keliru dalam rantai kebijakan perberasan nasional. Kebijakan itu adalah perubahan pengalihan dari bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Jika bansos rastra identik dengan intervensi pemerintah dalam hal ini Bulog, sedangkan BPNT kental dengan mekanisme pasar dalam hal ini pemasok bisa darimana saja.
Presiden Republik Indonesia memberikan arahan agar bantuan sosial dan subsidi disalurkan secara non tunai, dengan menggunakan sistem perbankan atau dikenal dengan istilah Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan ketepatan sasaran penyaluran bantuan sosial serta untuk mendorong keuangan inklusif.
BPNT adalah bantuan pangan dari pemerintah yang diberikan kepada KPM setiap bulannya melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli pangan di e-Warong KUBE PKH/pedagang bahan pangan yang bekerja sama dengan Bank.
Masyarakat dibebaskan untuk membeli jenis beras yang ada sesuai selera dan terserah untuk membelanjakannya. Selain itu uang Rp 110 ribu per bulan jika tidak dibelanjakan akan terakumulasi atau tidak akan hangus.
Masih ingatkah ketika BPNT ini diujicobakan di 44 kota besar di Indonesia dimana mengalami berbagai kendala dan hambatan?
Keterlambatan BPNT terlihat dari jumlah serapan yang baru 18 persen. Kendalanya antara lain; lambatnya distribusi Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) penerima BPNT, bantuan Rp 110.000 ke KKS terlambat, lambatnya pendirian e-waroeng, distribusi barang dari Bulog sering mengalami keterlambatan, mesin EDC dari BRI sering mengalami error hingga terdapat beberapa nama yang dobel dan beberapa nama yang salah.
Kesulitan lain dalam penerapan BPNT di lapangan adalah penyalahgunaan kartu. Sangat sulit memastikan bahwa masyarakat pemegang kartu tidak membeli barang-barang kebutuhan lain.
Jika BULOG yang menyediakan seperti tahun ini yaitu komoditas beras 10 Kg dan gula 2 Kg, maka pengawasan penggunaan kartu bisa dilakukan. Namun, tahun 2018 penyedia kebutuhan pokok untuk BPNT ini tidak lagi pemerintah yang dalam hal ini BULOG, tetapi siapa saja bisa (free market). Sehingga, penyalahgunaan kartu seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak bisa saja terjadi.
Bayangkan jika pemegang kartu membeli rokok yang justru bisa membahayakan kesehatan. Alih-alih mau menuntaskan kemiskinan, namun justru pemerintah mengeluarkan banyak anggaran untuk memberi subsidi pada rumah sakit.
Namun, ada beberapa dampak kekhawatiran yang lebih besar lagi dari penerapan BPNT, yang mana imbasnya bisa mempengaruhi kestabilan makro ekonomi secara keseluruhan seperti swasembada pangan, stabilisasi harga tingkat petani, stabilisasi harga konsumen serta program pengentasan kemiskinan.
Seharusnya Kepala Dinas Sosial baik Provinsi maupun Kabupaten Kota di seluruh Indonesia, lebih memikirkan jalan keluar atau terobosan agar program ini berjalan dengan baik dan sejalan dengan nafas dari Kementerian Sosial.
Yang harus menjadi perhatian penting terkait BPNT adalah terkait masalah kebebasan KPM membeli kapan saja serta uang per bulan dalam kartu tidak hangus namun akan terakumulasi jika uang tersebut tidak dibelanjakan rutin tiap bulannya.
1. Penerima BPNT dibebaskan kapan saja membeli
Poin ini menjadi sangat krusial karena banyak dampak yang dapat ditimbulkannya. Pengalaman waktu uji coba di 44 kota, jika penerima BPNT dibebaskan kapan saja membeli maka kebanyakan mereka tidak rutin melakukan pengambilan beras di agen yang telah ditunjuk.
Akibatnya beras yang ada di e waroeng menjadi menumpuk sehingga order selanjutnya akan terganggu karena menunggu stock lama habis terlebih dahulu. Jika hal sama terjadi pada setiap daerah dampaknya tentu berakibat kepada stock stock beras di gudang Bulog yang menumpuk.
2. Banyaknya E-Waroeng/agen yang berpartisipasi
Ini juga harus diwaspadai. Jika jumlah E-Waroeng/agen yang ditunjuk sangat banyak, tentu akan sangat sulit dalam hal pendistribusian. Bayangkan jika mereka melakukan permintaan serentak dan ingin dikirim pada waktu itu. Atau juga sebaliknya terjadi, permintaan komoditi kepada Bulog sedikit, namun jarak antar E-Waroeng/agen sangat berjauhan.
Oleh karena itu ada beberapa solusi yang dapat mengatasi hal tersebut:
1. Penerima BPNT diwajibkan segera menebus BPNT
Ini guna menghindari penumpukan stock baik di toko maupun di gudang Bulog. Ini juga mengajari mereka disiplin melakukan pengambilan, sehingga mereka merasakan manfaat program BPNT bagi keluarganya.
Namun jika masyarakat penerima BPNT belum segera atau enggak melakukan pengambilan segera, maka patut diwaspadai gejala keanehan yang terjadi. Bisa jadi mereka belum butuh dikarenakan pendapatan mereka sudah mencukupi, dan kedua, mereka sengaja melakukan akumulasi penumpukan saldo, untuk menukar dengan barang lain.
2. Melakukan Penjadwalan
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kegaduhan dalam pengambilan komoditas BPNT. Selain itu juga, penjadwalan akan mempermudahkan BULOG dalam mendistribusikan komoditas BPNT. Hal ini mengingat jumlah agen yang begitu banyak dan tersebar di setiap kelurahan/desa.
BPNT sebenarnya bukanlah sebuah program baru dari pemerintah, namun hanyalah transformasi daripada program rastra yang sudah sukses berjalan puluhan tahun.
Oleh karena itulah, agar program BPNT ini berjalan dengan baik, maka cara atau metode kesuksesan pendistribusian yang dilakukan dalam program rastra harus dan wajib diadopsi. Semuanya bisa ditiru mulai dari sisi koordinasi hingga pelaksanaan distribusi di lapangan. Tinggal saja bagaimana cara kita memandang dan mengimplementasikan di lapangan.
*) Artikel by Julkhaidar Romadhon. Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya, Koordinator Jaringan Masyarakat Pangan Indonesia (JAMPI).