Kebijakan impor daging kerbau perlu dievaluasi. Impor daging kerbau diinisiasi pertama kali pada 2016. Pemicunya adalah harga daging sapi yang tinggi menjelang dan saat Ramadan.
Saat itu, harga daging sapi bertengger di angka Rp 120 ribu per kilogram. Daging kerbau dari India yang murah menjadi pilihan, terutama untuk memenuhi target harga daging sapi yang diminta Presiden Jokowi, yakni Rp 80 ribu per kg.
Tahun ini, pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, akan mengimpor sapi bakalan 550 ribu ekor dan daging kerbau 60 ribu ton. Impor ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan daging 600 ribu ton pada tahun ini. Jumlah ini belum final.
Yang mengejutkan, pada saat India memutuskan membeli banyak minyak sawit Indonesia setelah cekcok dengan Malaysia (Reuters, 2020), Indonesia berkomitmen melipatgandakan kuota impor daging kerbau tahunan menjadi 200 ribu ton.
India merupakan eksportir terbesar kedua daging kerbau dengan lebih dari 20 persen pangsa pasar dunia untuk 65 negara tujuan ekspor. Vietnam dan Malaysia, yang keduanya tertular penyakit mulut dan kuku (PMK), merupakan dua importir terbesar daging kerbau India dengan 52 persen pangsa pasar.
Baca juga : BULOG dan Misi Suci Ketahanan Pangan
India memiliki sumber daya ternak luar biasa: 199 juta ekor sapi dan 108 juta ekor kerbau. Tapi PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai lebih dalam perdagangan internasional (Naipospos, 2016).
Indonesia yang bebas PMK sampai saat ini masih harus berjuang meningkatkan populasi sapi, terutama jumlah sapi indukan, dan produksi daging untuk memenuhi kebutuhan nasional yang terus meningkat.
Sejumlah kebijakan telah dibuat, seperti membuka impor jeroan sapi dan kewajiban memasukkan indukan 5 persen dari setiap impor sapi bakalan.
Namun pelbagai upaya itu belum mendekatkan Indonesia pada pencapaian swasembada daging sapi. Bahkan ada kecenderungan ketergantungan impor justru semakin tinggi.
Pada 2016 dan 2017, porsi impor daging sapi dan kerbau mencapai 35,84 persen, naik menjadi 39,44 persen pada 2018, dan turun lagi menjadi 37,65 persen pada 2019 (Andri Hanindyo, 2019).
Jauh-jauh hari, Indonesia menargetkan swasembada daging sapi. Saat tanda-tanda itu tidak tercapai, target swasembada diundurkan. Ini terjadi berulang-ulang, seperti sesuatu yang lazim.
Kebutuhan untuk mengkaji ulang impor daging kerbau dari India menjadi amat mendesak di tengah tetap tingginya porsi impor. Hal yang tidak banyak disadari, impor daging kerbau dari India sebenarnya memiliki efek domino yang buruk dan berpotensi akan menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging sapi.
Pertama, impor daging kerbau melenceng dari tujuan semula: dari pendorong penurunan harga daging sapi menjadi penopang utama pasokan.
Ini bisa dilihat dari porsi impor daging kerbau yang terus naik setiap tahun berturut-turut selama 2016-2019, dari 39 ribu ton, 54 ribu ton, 79 ribu ton, hingga 80 ribu ton.
Ini terjadi barangkali karena daging kerbau terbukti gagal menjadi faktor pendorong turunnya harga daging sapi. Harga daging sapi masih tetap bertahan tinggi karena ongkos produksi tak mungkin ditekan. Ironisnya, harga daging kerbau pun terkerek di atas Rp 80 ribu per kg.
Kedua, terpukulnya mata rantai industri daging sapi. Hal ini ditandai oleh lebih dari 14 perusahaan penggemukan sapi yang bangkrut (Tawaf, 2019).
Bukan mustahil, satu per satu dari 30 industri sapi potong sisanya bakal menyusul. Padahal industri ini menyumbang triliunan rupiah selama puluhan tahun dalam pembangunan peternakan rakyat perdesaan.
Baca juga : Dirut BULOG Klaim Indonesia Surplus Beras 2,8 Juta mulai April 2020
Riset “Pasar Daging Sapi dan Daging Kerbau 2017 di Jabodetabek” (APDI, 2017) menemukan penurunan kinerja pemotongan sapi rata-rata 47 persen sejak ada daging kerbau beku. Kondisi ini memang bukan semata-mata karena impor daging kerbau dari India, melainkan juga pelbagai kebijakan yang kontraproduktif.
Harga daging kerbau India yang murah, yang kurang dari setengah harga daging sapi Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit bersaing.
Dampak buruk impor daging kerbau dari India sudah dialami Filipina dan Malaysia. Dari 220 peternakan sapi potong teregistrasi di Filipina pada awal 1990-an, saat ini tinggal tujuh peternakan.
Pada awal 1990-an, Sabah, Malaysia, yang biasa menyembelih sapi tiap tiga pekan, berhenti begitu saja dengan masuknya daging India (Naipospos, 2016).
Ketiga, ancaman perubahan status bebas PMK Indonesia.
Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan memang membolehkan impor dari suatu zona bebas PMK di negara yang belum bebas PMK, seperti India dan Brasil.
Namun aturan ini menegasikan pentingnya kaidah keamanan maksimum. Jika PMK kembali berjangkit, kerugiannya tak ternilai. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986), menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2002), mencapai US$ 1,66 miliar.
Baca juga : Arahan Tim Komisi IV DPR RI Agar BULOG Kembali Kepada Fungsi Sosialnya
Agar tidak berdampak buruk, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, daging kerbau impor hanya dijual di pasar modern. Tanpa jaminan itu, harga daging sapi lokal yang hampir dua kali lipat dari kerbau akan terjun bebas.
Kedua, memastikan tidak ada pengoplosan, yang diduga marak terjadi di pasar-pasar tradisional.
Ketiga, pemberian insentif kepada peternak, baik subsidi pakan, sapi lahir, maupun permodalan berbunga rendah.
Tanpa memperbesar jumlah sapi indukan, sebaiknya Indonesia membuang jauh-jauh cita-cita swasembada daging.
Artikel by Khudori
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat dan pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia