Harga gabah di tingkat petani berpotensi anjlok pada panen raya musim tanam rendeng atau panen pertama tahun ini. Penyerapan oleh Perum Bulog diharapkan lebih optimal guna mengantisipasi anjloknya harga gabah di tingkat petani.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, Rabu (3/2/2021), berpendapat, dengan kapasitas gudang yang ada, Bulog dapat memasang target penyerapan hingga 2,5 juta ton. ”Petani membutuhkan penyerapan (gabah/beras) yang optimal dari Bulog,” ujarnya.
Harga gabah di tingkat petani terancam turun hingga di bawah Rp 4.000 per kilogram (kg) pada panen raya tahun ini. Berdasarkan data yang dihimpun AB2TI di 46 kabupaten sentra produksi beras, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Mei 2020 mencapai Rp 4.325 per kg, lalu meningkat hingga puncaknya pada September 2020 sebesar Rp 4.800 per kg.
Akan tetapi, harga GKP merosot sepanjang Oktober-Desember 2020 hingga menyentuh Rp 4.263 per kg. Menurut Dwi Andreas, tren tersebut anomali. Selama ini harga gabah cenderung naik sepanjang periode Oktober-Desember karena produksi dan luas panen berkurang atau relatif kecil.
Selain karena pergerakan harga itu, harga terancam anjlok karena kadar air gabah yang dipanen awal tahun ini berpotensi lebih tinggi daripada 2020 akibat faktor La Nina. Harganya berpotensi lebih rendah lantaran kualitas gabah cenderung turun karena paparan hujan.
Regulasi tentang harga pokok pembelian (HPP) untuk GKP diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras. Regulasi itu menyebutkan, GKP di tingkat petani dibeli dengan nilai Rp 4.200 per kg untuk cadangan beras pemerintah.
Target pengadaan
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan, pengadaan beras dari produksi dalam negeri ditargetkan 1,45 juta ton sepanjang 2021. ”Kami memprioritaskan penyerapan dari dalam negeri untuk mendukung petani. Adapun perkiraan kebutuhan cadangan beras pemerintah sekitar 800.000 ton. Selebihnya (penyerapan) akan menggunakan skema komersial,” ujarnya dalam temu media secara daring, Rabu (3/2/2021).
Menurut data Bulog, realisasi pengadaan dalam negeri sepanjang 2020 mencapai 1,257 juta ton. Mayoritas di antaranya digunakan untuk operasi pasar, yakni 1,027 juta ton, selain untuk program Kartu Sembako 316.906 ton dan bantuan sosial 450.000 ton. Stok beras pada akhir 2020 mencapai 990.000 ton.
Realisasi pengadaan beras oleh Bulog dari produksi dalam negeri terus turun lima tahun terakhir. Realisasi pengadaan selama kurun waktu 2016-2020 turun secara berturut-turut dari 2,84 juta ton, lalu 1,98 juta ton (2017), 1,4 juta ton (2018), dan 1,201 juta ton (2019). Berkurangnya kanal pengeluaran di hilir dinilai turut memengaruhi penyerapan di hulu.
Menurut Budi, target pengadaan beras dalam negeri mempertimbangkan kanal penyaluran yang menyempit seiring dengan perubahan skema bantuan pangan oleh pemerintah. Selain itu, pihaknya juga memilih mengandalkan skema komersial untuk menjalankan usaha perberasan.
Oleh karena itu, Bulog membangun penggilingan padi di 13 wilayah produksi beras guna menopang langkah tersebut. Di setiap wilayah Bulog akan membangun tiga silo yang masing-masing berkapasitas 2.000 ton, 1 unit pengering dengan kapasitas 120 ton per hari, dan 1 unit penggiling padi dengan kapasitas 6 ton per jam. Dengan demikian, Bulog dapat lebih optimal menyerap gabah dari petani setempat.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, petani sulit mengandalkan Bulog untuk mendongkrak harga di tingkat petani. Sebab, dia memperkirakan, serapan Bulog hanya setara sekitar 5 persen dari produksi beras nasional. Guna mengompensasinya, Bulog bisa menguatkan logistik dan distribusi dari sentra produksi yang cenderung surplus ke wilayah yang permintaannya tinggi.
Sumber : https://bebas.kompas.id/baca/ekonomi/2021/02/04/harga-berpotensi-anjlok-optimalkan-penyerapan-bulog/