beras bulog

Kontroversi Beras dan Kebijakan Perberasan

Temuan Satgas Pangan yang direlease oleh Kapolda Sumsel yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil laboratorium, kasus beras rastra oplosan di lahat berbahaya untuk dikonsumsi dan hanya layak untuk pakan ternak dapat menimbulkan kontroversi ditengah-tengah masyarakat. Dibawah ini, pernyataan Kapolda Sumsel yang saya kutip dari dua sumber ternama yaitu detik dan antara.

Diambil dari Detik.com, pernyataan Kapolda Sumsel Irjen Pol Agung Budi Maryoto pada saat jumpa pers di Mapolda Sumsel, (Jumat, 11/8/2017) yang mengatakan “Ada tiga lab yang kita lakukan untuk pengujian beras oplosan di gudang Bulog lahat. Hasilnya, kualitas beras dibawah standar mutu yang paling rendah dan ini sangat berbahaya untuk dikonsumsi“.

Berita selanjutnya diambil dari m.antaranews.com, Kapolda Sumsel menyatakan “Hasilnya menunjukkan kualitas beras berada di bawah standar yang paling rendah dan tidak layak konsumsi dan hanya layak untuk pakan ternak. Dari beras yang direproses tersebut dilakukan pengujian mutu didasarkan beberapa hal, antara lain kadar air, derajat patahan, dan menir beras tersebut. Laboratorium menyatakan beras fisik pecah sebanyak 58,9 persen, sementara standar terendah beras hanya boleh mengandung maksimal 35 persen. Sementara itu, butir menir ditemukan sebanyak 13,7 persen, serta standar SNI mencatat kualitas terendah hanya sampai batas lima persen“.

Mengapa saya bisa mengatakan pernyataan dari Kapolda Sumsel dapat menimbulkan kontroversi…? sebuah tanda tanya besar… ?

Pertama, beras rastra tersebut sangat berbahaya untuk konsumsi dan hanya layak untuk pakan ternak. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “berbahaya” diartikan ada bahayanya; (mungkin)mendatangkan bahaya; (dalam keadaan) terancam bahaya. Sehingga, secara logika sederhana saja, kata-kata “berbahaya” yang jika dikaitkan dengan beras rastra sitaan, dapat kita asumsikan bahwa beras tersebut mengandung sesuatu zat kimia tertentu yang bila termakan akan membahayakan kesehatan tubuh. Bahayanya bisa mengakibatkan keracunan tubuh dengan gejala tertentu atau bisa sampai menyebabkan kematian.

Disitulah kontroversinya dimulai. Pada konferensi pers tersebut, Kapolda tidak menyebutkan secara eksplisit zat apa yang terkandung sehingga disimpulkan berbahaya untuk dikonsumsi. Masyarakat intelek hingga masyarakat awam pasti bertanya-tanya, zat kimia berbahaya apa yang terkandung pada beras rastra tersebut. Logikanya, andaikan beras rastra itu mengandung bahan kimia berbahaya, maka sudah pasti terdapat korban jiwa.

Karena menurut satgas pangan beras rastra tersebut sudah disalurkan sebanyak 1.089 ton. Tapi nyatanya tidak. Tidak ada pemberitaan di media massa atau laporan masyarakat yang mengatakan bahwa masyarakat penerima rastra di wilayah kerja Lahat (Lahat, Muara Enim, Prabumulih, Pagar Alam, PALI dan Empat Lawang) mengalami keracunan, muntah-muntah ataupun meninggal dunia.

Kedua, kualitas beras hasil lab menunjukkan berada di bawah standar yang paling rendah. Kesimpulan ini didapatkan setelah diperbandingkan dengan kualitas beras SNI 01-6128-1999 dari mutu 1 – mutu 5. Dimana hasil lab menunjukkan bahwa beras rastra tersebut berada berada dibawah kualitas beras mutu terendah. Yang mana persyaratan khusus kualitas mutu 5 menunjukkan ; derajat sosoh min 85%, kadar air 15%, beras kepala 60%, butir patah 35% serta butir menir 5%. Sedangkan persyaratan umum seperti; bebas hama penyakit, bebas bau apek, bebas dari campuran bekatul hingga bebas dari bahan kimia yang membahayakan.

Jika pihak kepolisian menyatakan beras rastra tersebut berbahaya karena dibawah standar SNI, itu yang menjadi salah besar. Persayaratan spesifikasi mutu beras giling hanyalah untuk menunjukkan kandungan komponen mutu fisik. Sekali lagi “fisik”, sehingga tidak bisa dikategorikan berbahaya. Orang yang makan beras premium, medium atau dibawah medium tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan mereka. Hal ini disebabkan, beras yang mereka makan hanyalah dibedakan berdasarkan mutu fisik saja.

Namun, jika persayaratan khusus seperti mengandung bahan kimia membahayakan ditemukan pada beras rastra tersebut, maka klaim membahayakan untuk dikonsumsi boleh ditujukan. Tapi nyatanya tidak. Pihak Kepolisian hanya menyimpulkan bahwa beras rastra yang sedang disidik tersebut, berbahaya untuk dikonsumsi dan layak untuk pakan ternak.

Sehingga wajar jika masyarakat jadi bertanya-tanya, zat apakah gerangan itu…? Apakah sejenis arsen, sianida atau zat toxic lainnya..?

Artinya juga secara logika, jika zat tersebut membahayakan manusia yang mengkonsumsinya berarti hewan yang ikut mengkonsumsinya juga sudah pasti berbahaya. Karena, tidak ada beda antara manusia dan hewan yang sama-sama makhluk hidup serta mempunyai organ tubuh yang hampir sama. Ini juga menyiratkan, seolah-olah berbahaya bagi manusia namun tidak untuk hewan.

Oleh karena itulah, penting rasanya dilakukan klarifikasi terhadap kata-kata “berbahaya” yang digunakan. Pernyataan tersebut justru akan membuat masyarakat menjadi resah dan takut untuk menebus rastra. Jika mereka takut untuk mengkonsumsi beras rastra, artinya akan terjadi keterlambatan penyaluran rastra. Hal ini secara langsung disebabkan akibat release atau konferensi pers yang dilakukan. Sehingga menjadi pemberitaan media yang bombastis yang mengakibatkan masyarakat dari belahan manapun di negeri ini menjadi tahu.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kalau ketakutan seperti itu terjadi pula di daerah lain. Masyarakat jadi takut untuk menebus dan mengkonsumsi beras rastra. Apa yang akan terjadi… ?

Masih ingatakah kita, ketika Presiden Jokowi pada waktu sidang kabinet paripurna bulan Juni lalu di Istana Merdeka Jakarta menjadi kesal karena keterlambatan pembagian rastra. Beliau sangat mengkhawatirkan akan dampak indikasi ekonomi, yang pastinya akan dirasakan langsung oleh masyarakat akibat keterlambatan penyaluran rastra. Sehingga, beliau menggaris bawahi supaya kejadian ini tidak usah terulang lagi dan hal penting seperti ini beliau wajib atau harus diberitahu terlebih dahulu.

Baca Juga : Satgas Pangan dan Dilema BULOG

Seharusnya satgas pangan tidak perlu membuat kegaduhan. Ekspose atau rilis yang diliput oleh berbagai media nasional sudah dapat dipastikan di dengar oleh masyarakat dipenjuru negeri ini. Bagaimana kalau pemerintah setempat yang dalam hal ini Gubernur, Walikota, Bupati, Camat dan Lurah menyatakan menolak dengan alasan takut karena bisa membahayakan kesehatan warganya… ?

Bagaimana dengan satgas pangan, apa solusi yang dapat diberikan terhadap beras yang berbahaya tersebut… ?

Apakah sarannya dimusnahkan ? kalau dimusnahkan artinya kerugian negara juga dapat dipastikan. Ataukah hanya menyalahkan BULOG sepihak karena menerima beras yang bermutu rendah. Artinya kalau itu yang disarankan, ini sangat bertentangan dengan pernyataan Mentan yang mengatakan bahwa asal jangan pasir BULOG wajib membeli gabah petani.

Artinya pula disini, sangat terlihat jelas adanya kontraproduktif kebijakan, kurangnya harmonisasi dan koordinasi antar lembaga. Karena, POLRI, Kementan, TNI maupun BULOG adalah lembaga negara yang merupakan perpanjangan tangan atau wakil pemerintah.

Apakah Satgas Pangan kurang memahami kebijakan Gabah Di Luar Kualitas, yang tujuannya untuk menyelamatkan kerugian petani yang lebih besar lagi dikarenakan gabahnya banyak dibawah standar ? Apakah satgas pangan juga tidak memahami adanya MOU antara TNI dan Kementan untuk mengejar target swasembada selama tiga tahun ?

Berkali-kali saya katakan, bahwa swasembada atau tidaknya diukur dari stok beras yang dikuasai oleh BULOG. Andaikan, satgas pangan memahami ini, maka kasus beras rastra yang kualitasnya turun mutu tidak akan menjadi polemik dan tidak perlu rasanya diseret ke ranah hukum.

Apakah satgas pangan juga tahu, bahwa HPP sekarang merupakan HPP 3 tahun yang lalu ? Sehingga, harga tersebut sangat menyulitkan BULOG untuk membeli gabah beras petani berdasarkan INPRES. Coba bayangkan, PT IBU saja membeli gabah petani dengan harga Rp 4.600 namun hasil beras yang mereka hasilkan kualitasnya medium. Lalu bagaimana dengan BULOG, yang membeli harga Rp 3.700 apakah mampu mendapatkan beras berkualitas medium.

Atau apakah satgas pangan orang-orangnya tidak mengikuti perkembangan informasi terkini, sehingga tidak tahu kebijakan perberasan yang diambil oleh pemerintah. Jika pihak Kepolisian tetap melihat kasus beras sejahtera di BULOG Lahat sebagai bentuk kerugian negara, maka ini warning keras buat pegawai BULOG di wilayah lain. Mereka mulai sekarang, harus benar-benar memastikan bahwa beras yang masuk ke gudang harus kualitas medium yang setara dengan mutu IV SNI.

Persoalan gudang kosong, persoalan petani menjerit, persoalan target pengadaan tidak tercapai, persoalan beras impor masuk karena swasembada tidak tercapai adalah persoalan belakangan. Karena yang terpenting dan sangat penting adalah kualitas standar. Peraturan hukum harus ditegakkan, tidak mengenal istilah kebijakan. Kualitas harus sesuai ketentuan  Inpres, sehingga jika tidak diikuti maka setiap beras yang masuk pasti akan bertentangan dengan UU konsumen, karena dianggap merugikan.

Dua kasus perberasan diatas, seharusnya menjadi pelajaran bagi negara ini. Kebijakan-kebijakan yang merupakan terobosan-terobosan harusnya melibatkan berbagai stake holder, termasuk aparat penegak hukum. Jangan sampai kebijakan yang dibuat pemerintah, membuat korban bagi pelaksana teknis di lapangan. Penting juga, setiap sosialisasi kebijakan untuk melibatkan aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Sehingga mereka juga memahami, bahwa kebijakan yang diambil merupakan tindakan cepat untuk mengatasi keadaan yang bersifat darurat. Coba kita bayangkan, andaikan kasus beras lahat ini sampai masuk ke meja hijau, apakah kita bisa menjamin bahwa pegawai BULOG di daerah lain tidak terpengaruh.

Pembelajaran Bersama

Berkaca dari kasus PT IBU, dimana beras merk maknyuss dan ayam jago yang mereka klaim kualitas premium, ternyata setelah hasil lab forensik keluar dikategorikan beras medium. Apalagi dengan BULOG yang notabene tidak mempunyai peralatan secanggih PT IBU. Beras yang dibeli BULOG adalah setara beras medium, tentu ketika dianalisa laboratorium, hasilnya sudah pasti bisa kita tebak.

Seharusnya, pemerintah yang berwenang mengurusi SNI beras harus memikirkan atau mengupdate informasi terakhir perberasan tanah air. Fakta yang mengatakan bahwa petani tradisional yang hanya bermodalkan luas tanah 0,3 hektar tentu secara logika tidak akan menerapkan praktek pertanian modern yang bermodalkan besar patut juga untuk dipertimbangkan.

Sehingga sangat jauh kalau kita mengharapkan hasil tani mereka berupa gabah super. Ingat dengan istilah “GIGO” Garbage in Garbage Out”. Artinya kalau gabah yang dihasilkan petani jelek, maka hasil berasnya akan jelek juga. Inilah, sebenarnya secara tidak langsung menunjukkan potret dunia perberasan tanah air.

Artinya apa, kualitas hasil gabah beras petani kita memang tidak begitu baik. Sangat rentan dengan iklim, teknologi maupun perlakuan saprodi. Iklim yang berubah-ubah setiap tahunnya, teknologi dryer maupun rice milling milik petani yang mengalami penyusutan karena termakan usia, ataupun perlakuan saprodi seperti benih yang tidak unggul, pupuk yang berkurang semuanya itu tentu akan mempengaruhi terhadap hasil gabah beras petani.

Penggilingan padi rakyat dahulu dengan sekarang tentu juga sudah jauh berbeda. Akan terjadi penyusutan alat, keausan, kerusakan dan lain sebagainya, sehingga beras yang dihasilkan banyak yang mengalami patah atau tidak sebaik ketika mesin tersebut pertama kali mereka beli.

Pertanyaannya sekarang, dengan rentannya gabah beras petani kita terhadap iklim, apakah sudah tercover oleh SNI beras yang telah diberlakukan. Artinya, SNI yang selama ini ada, apakah juga sudah mempertimbangkan faktor-faktor perubahan di atas. Perubahan kualitas beras yang dihasilkan petani dapat berubah setiap musim, sedangkan spesifikasi yang ditetapkan SNI tidak mengalami perubahan.

Ketika iklim bagus, gabah beras petani yang dihasilkan juga ikut bagus maka kemungkinan besar standar kriteria beras premium atau medium yang ditetapkan SNI bisa terpenuhi. Namun sebaliknya, jika iklim tidak baik sehingga gabah yang dihasilkan petani kemungkinan besar tidak baik juga, maka akan sangat sulit rasanya untuk menjangkau standar beras medium dan premium yang telah ditetapkan dalam SNI.

Inilah sebenarnya potret atau realita kualitas pertanian di negeri ini sebenarnya. Sehingga berdasarkan uraian panjang diatas, sungguh sangat patut untuk dijadikan kajian dan bahan renungan baik mengambil sebuah kebijakan atau mengambil tindakan untuk melangkah ke depan.

Artikel by Julkhaidar Romadhon, Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya