stok bulog di gudang
Foto by tempo

Melempemnya Pengadaan Beras BULOG

Salah satu kunci sukses swasembada beras adalah melalui pengadaan gabah/beras dalam negeri oleh BULOG yang tinggi, di atas 4 juta ton per tahun.

Namun, hingga pertengahan Agustus, pengadaan BULOG baru mencapai 1,64 juta ton setara beras, atau 30 persen di bawah target sebesar 5,46 juta ton, atau baru terwujud 44 persen dari target Perum BULOG (3,74 juta ton) yang disahkan oleh Kementerian BUMN.

Mengapa realisasi pengadaan BULOG begitu rendah? Apakah pemerintah ”keliru penetapan target” yang terisolasi dengan pasar, dan/atau BULOG ”salah strategi” dalam memupuk pengadaan beras/gabah dalam negeri?

Salah satu respons pemerintah pada saat harga gabah ”jatuh”, Februari lalu, adalah penyerapan gabah/beras BULOG ditingkatkan.

Targetnya ditetapkan fantastis 5,46 juta ton setara beras hingga Agustus 2017, padahal dalam rencana kerja anggaran pendapatan BULOG hanya 3,74 juta ton per tahun.

Target ini dialokasikan ke setiap divisi regional dan subdivisi regional BULOG yang dipantau secara ketat dan dievaluasi pelaksanaannya hampir setiap hari (Kompas, 2/3).

Pada saat yang sama, pemerintah membuat relaksasi harga pembelian pemerintah (HPP) menurut kualitas gabah kering panen (GKP) dengan kadar air 26-30 persen (sebelumnya maksimum 25 persen), butir hampa 11-15 persen (sebelumnya maksimum 10 persen). Target pengadaan harian dipantau hampir setiap hari, peran penyuluh dan Babinsa dioptimalkan.

Pada awal tahun, BULOG telah mengubah strategi pengadaan dalam negeri, tidak mengacu lagi pada harga tunggal hanya kualitas medium.

BULOG menetapkan tiga jenis kualitas beras pengadaan pada rentangan harga terendah Rp 7.150 hingga tertinggi Rp 7.500 per kilogram (kg).

Gabah dibeli dengan empat jenis kualitas, terendah Rp 4.050 hingga tertinggi Rp 4.650 per kg gabah kering giling (GKG).

Untuk mengejar pengadaan beras dalam negeri pada musim panen gadu ini yang produksinya sudah sangat berkurang, dibuatlah sejumlah strategi baru, antara lain beberapa minggu terakhir BULOG menaikkan HPP sebesar 10 persen sehingga menjadi Rp 4.070 (GKP) dan Rp 8.030 (beras kualitas medium).

Demikian juga Satgas Pangan sangat aktif merazia serta menyegel gudang dan penggilingan padi. Sejumlah pelaku usaha dituduh jadi penimbun atau pengoplos beras.

Pola pengadaan BULOG

Target pengadaan beras pemerintah/BULOG menjadi penting dievaluasi awal Juli, karena 70 persen pengadaan BULOG berlangsung dalam periode Maret-Juni.

Dalam periode Maret-Juni lalu, BULOG baru mampu memupuk pengadaan 1,17 juta ton, lebih rendah daripada pengadaan dalam periode bulan yang sama 2014-2016 yaitu 1,65 juta ton, atau lebih rendah daripada pengadaan periode yang sama tahun lalu 1,8 juta ton.

Kalau dalam periode ini BULOG hanya mampu melakukan pengadaan gabah/beras berkurang jauh dari angka 2 juta ton, usaha pencapaian target pengadaan di atas 3 juta ton mustahil dapat terwujud.

Hasil penelitian memperlihatkan, pengadaan BULOG periode Maret-Juni dapat mencapai sekitar 500.000 ton per bulan, tetapi pengadaan gabah/beras mulai Juli hingga Desember rendah, rata-rata 100.000 ton setara beras per bulan. BULOG mampu memupuk pengadaan pada Juli (261.000 ton) dan sampai pertengahan Agustus (104.000 ton).

Akhir-akhir ini perdagangan beras antarpulau, antarmusim ”sepi”, padahal biasanya lebih hangat dalam musim gadu.

Hal itu membuat potensi terjadi instabilitas harga di daerah defisit menjadi tinggi. Aktivitas Satgas Pangan telah membuat pengusaha penggilingan padi dan pelaku usaha ”takut”.

Di banyak tempat, Satgas Pangan menggerebek dan menyegel sejumlah gudang gabah/beras dan penggilingan padi dengan alasan penimbunan dan pengoplosan, seperti yang terjadi di Bekasi (Jawa Barat), Lahat (Sumatera Selatan), Mojokerto (Jawa Timur), dan Medan (Sumatera Utara).

Dengan berbagai kejadian di atas, BULOG sedikit mendapat ”berkah” walau tidak terlalu menggembirakan. Pada musim gadu, pada umumnya penggilingan padi enggan menjual beras ke BULOG karena harga pasar yang telah tinggi dan terkena pajak penambahan nilai (10 persen dihitung dari volume penjualan).

Akan tetapi, sekarang terjadi sebaliknya, BULOG dicari. Penggilingan padi/pelaku usaha ”paling aman” melakukan kontrak pengadaan gabah/beras dengan BULOG atau setidaknya mereka ingin menyelamatkan stok yang masih tinggi yang diperoleh dari musim panen raya lalu. Dengan cara itu, mereka terhindar dari berbagai tuduhan, terutama penimbunan.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dan respons kebijakan yang kurang mempertimbangkan hasil penelitian telah membuat BULOG ”kebingungan”.

Pertama, BULOG diperkirakan tidak akan mampu memenuhi pengadaan hingga 3 juta ton setara beras hingga akhir tahun. Strategi apa pun yang ditempuh BULOG untuk menyerap lebih banyak gabah/ beras tak ampuh lagi kalau mengandalkan insentif HPP.

Kedua, semakin aktif peran Satgas Pangan, semakin menghambat perdagangan antarmusim, antarpulau, dan antartempat. BULOG pasti kewalahan dalam menyerap gabah petani, terutama pada musim panen raya.

Kalau itu terjadi, diperkirakan kejatuhan harga gabah petani sering terjadi dan meluas. Demikian juga instabilitas harga di daerah defisit akan tinggi, juga meluas, BULOG akan kewalahan intervensi pasar.

Ketiga, pengadaan BULOG sebaiknya dirancang komprehensif, tak boleh ad hoc dan jangka pendek sifatnya. Pemerintah tentu tak ingin BULOG ”rontok” karena beban dalam melaksanakan tugas publik yang berubah begitu cepat dan sulit diramalkan, serta belum harmonisnya antarinstrumen kebijakan.

M Husein Sawit, Dewan Pengawas Perhepi dan narasumber tetap di House of Rice