pangan beras raskin bulog

Melepas Beras Kepada Pasar

HULU DAN HILIR

Sejak lama sudah bangsa dan negara ini mempunyai ketergantungan terhadap beras sebagai pangan, tidak hanya golongan masyarakat tertentu, tetapi semua lapisan masyarakat tersentuh dengan dampak atas keberadaan beras.

Sedikit saja info tentang negatif mengenai beras akan menjadi isu nasional, entah factor ketersediaan dan/atau factor instabilitas harga akan membuat sebagian pihak bertanya-tanya dan karena banyaknya pihak yang berkepentingan terhadap beras maka isu tentang beras akan segera merebak.

Hal ini merupakan salah satu indikasi adanya suatu permasalahan yang belum juga terselesaikan dengan baik, terutama bagi Pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan juga terhadap beras sebagai pengelola negara.

Beberapa tahun terakhir permasalahan beras menjadi polemic yang tidak berkesudahan. Sebab itulah tulisan ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan terhadap carut marut pengelolaan beras khususnya oleh Pemerintah.

Walaupun mungkin tidak akan tuntas merumuskan permasalahan dan mencari solusi untuk pengelolaan beras oleh Pemerintah, setidaknya diharapkan dengan adanya tulisan ini Pemerintah menjadi lebih komprehensif mengelola perberasan nasional.

Beras adalah komoditi pangan yang sangat bergantung pada alam dan manusia, meskipun dapat diperbarui melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.

Membahas perberasan tidaklah dapat dilihat dari satu sudut pandang tertentu saja, harus dipikirkan secara komprehensif mulai dari hulu sampai ke hilir.

Di sisi hulu, pasokan beras dari produsen (petani dan penggilingan) menentukan banyaknya persediaan. Di sisi hilir, banyaknya masyarakat yang membutuhkan beras menentukan besarnya permintaan.

Baca juga : Tuntutan Kreativitas BULOG Jaga Harga Beras

PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS

Bahasan tentang produksi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan terkait produktivitas yaitu seberapa besar hasil produksi yang dapat diperoleh dari suatu luasan dan periode waktu tertentu.

Produksi dan produktivitas padi berada di sisi hulu menentukan jumlah pasokan yang dapat disediakan untuk kebutuhan pangan masyarakat. Tentunya produksi dari dalam negeri yang diutamakan sebagai sumber pasokan, walaupun belum tentu dapat dipenuhi sepenuhnya dari dalam negeri.

Sebagaimana diketahui bahwa ketahanan pangan adalah hal strategis dalam konteks kenegaraan, terutama bagi Pemerintah selaku pemangku jabatan yang mengelola negara. Dalam hal ini Pemerintah berkepentingan terhadap ketersedian pangan khususnya beras sebagai pangan pokok.

Dengan kata lain kebutuhan pangan pokok masyarakat yakni beras harus dapat dipenuhi oleh Pemerintah. Berapa jumlah yang harus disediakan tentu juga harus melihat seberapa besar kebutuhan masyarakat terhadap beras.

Menyandingkan angka produksi nasional beras dengan kebutuhan masyarakat akan didapati apakah swasembada pangan terwujud atau tidak.

Definisi swasembada pangan sendiri adalah pemahaman yang harusnya diluruskan, swasembada pangan tidak harus diartikan mampu memenuhi kebutuhan pangan tanpa mendatangkan dari luar negeri.

Yang perlu ditekankan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat, walaupun mungkin harus mendatangkan dari luar negeri akibat kondisi tertentu. Jika Pemerintah berasumsi bahwa swasembada pangan sama dengan tidak impor, maka terdapat sedikitnya dua kemungkinan yang akan terjadi.

Pertama, pada saat produksi dalam negeri tidak mencukupi maka Pemerintah tetap harus berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kedua, pada saat kebutuhan masyarakat melebihi kemampuan produksi dalam negeri makan Pemerintah pun tetap harus berupaya memenuhi pasokan pangan.

Sebaliknya, jika pasokan lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan maka Pemerintah juga tidak akan terlepas dari permasalahan lain, terutama terkait dengan pengendalian harga.

Tarik menarik antara pasokan dan kebutuhan, hal ini adalah dua hal berbeda yang harus dikonsepkan secara utuh.

Pada kejadian pertama mengindikasikan permasalahan di sisi hulu, sedangkan kejadian kedua mengindikasikan permasalahan di sisi hilir.

Dari sini perlu diluruskan seberapa besar proporsi sumber pasokan untuk mendefinisikan swasembada pangan.

FAO menyatakan bahwa suatu negara dinyatakan swasembada pangan jika dapat memenuhi 90% kebutuhannya yang dipasok dari dalam negeri.

Maka dari itu, Pemerintah tidak perlu ngotot dengan asumsi bahwa swasembada pangan sama dengan tidak impor.

Toh juga pada akhirnya di awal tahun 2018 ini Pemerintah akhirnya memutuskan melakukan impor beras sebanyak 1,78 juta ton.

Lalu bagaimana dengan kondisi pasokan beras dalam negeri yang selama ini dikelola oleh Pemerintah, sudahkah tercapai swasembada yang sebenarnya?

FAO pernah memberikan apresiasi swasembada kepada Indonesia ketika Presiden Soeharto menyampaikan pidatonya di pertemuan FAO waktu itu, meskipun pada sat itu Indonesia masih impor beras sebanyak 414 ribu ton.

Banyak ulasan mengenai hal ini di berbagai media yang menyatakan bahwa Indonesia belum mampu swasembada beras yang disebabkan oleh berbagai hal terkait produksi dan produktivitas.

Pun jika ada yang mengulas keberhasilan swasembada namun  bukan swasembada yang riil karena hanya bersifat sementara.

Hal ini dikarenakan, produktivitasnya menurun. Produktivitas padi tahun 2015 sebesar 5,34 ton per hektar, tahun 2016 turun menjadi 5,24 ton per hektar, dan tahun 2017 hanya mencapai 5,16 ton per hektar.

Salah satu penyebanya adalah adanya kerusakan tanah yang terjadi pada area yang luas dan penggunaan pestisida yang tidak bijak.

Hal lain yang cukup krusial terhadap pasokan beras dalam negeri adalah luas lahan baku sawah yang semakin menurun.

Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS dan BIG dan LAPAN, terjadi penurunan luas lahan baku sawah dari di tahun 2013 dari 7,75 juta hektar menjadi 7,1 juta hektar. Penurunan ini disebabkan maraknya alih fungsi lahan sawah menjadi rumah, jalan, maupun pabrik.

Ini mengindikasikan bahwa proteksi terhadap lahan sawah oleh Pemerintah sangat lemah.

Jika kemudian Pemerintah melalui Kementrian Pertanian gencar meningkatkan produksi untuk mengimbangi berkurangnya lahan sawah dengan mengganti bibit padi unggul dan melakukan tanam 2 kali setahun bahkan 3 kali setahun, juga belum dapat menjamin produksi padi nasional dapat memenuhi kebutuhan beras masyarakat.

Ketika dipaksakan dengan menggunakan pupuk kimia yang intensif justru kemudian pada akhirnya menyebabkan penurunan produktivitas karena tindakan ini hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia, sementara aspek biologi tidak terpikirkan.

Langkah lain yang dilakukan Pemerintah adalah mendorong mekanisasi pertanian mulai dari tanam menggunakan mesin planter sampai dengan tahap panen  menggunakan mesin harvester untuk mengurangi kehilangan volume panen akibat menggunakan cara-cara tradisional.

Namun hal ini juga tidak memberikan hasil maksimal karena penerapannya yang masih secara sporadis. Hanya daerah tertentu saja yang dilakukan mekanisasi dan tersebar dalam kluster kluster kecil yang kemudian menjadi mangkrak karena para petani dan lahan swahnya yang belum disiapkan untuk menerima mekanisasi.

PRODUKSI BERAS DAN PASARNYA

Mungkin ada masyarakat yang sekedar tahu bahwa nasi yang mereka makan adalah beras tanpa mengetahui asal muasal darimana beras dihasilkan.

Nasi yang dimakan didapatkan setelah memasak beras, beras didapat dari hasil proses mengolah gabah menggunakan teknik tertentu, gabah diperoleh dari padi yang ditanam petani.

Wujud nasi yang siap dimakan ternyata bermacam jenisnya tergantung dari teknik pengolahan yang dilakukan yang semuanya berbahan baku sama yaitu gabah, meskipun gabah itu sendiri bermacam pula jenisnya tergantung varietas padi yang ditanam.

Permasalahan muncul ketika masyrakat bahkan Pemerintah mengelompokkan jenis beras, gabah, dan padi menggunakan kriteria yang berbeda. Ketika masih berwujud padi pengelompokan menggunakan kriteria varietas, seperti varietas padi IR64, ciherang, mekongga dan sebagainya.

Ketika berwujud gabah, tidak lagi menggunakan kriteria varietas tetapi sebagian besar penggilingan beras hanya menggunakan kriteria baik buruknya gabah berdasarkan tingkat kadar air dan perkiraan rendemen yang diperoleh.

Kadar air gabah ditentukan oleh teknik pengeringan yang dilakukan sehingga gabah tersebut siap digiling, dengan kata lain gabah yang dipanen langsung dari sawah tidak serta merta dapat digiling menjadi beras tetapi harus melalui proses pengeringan.

Rendemen adalah proporsi antara beras yang dihasilkan dari jumlah gabah yang digiling, biasanya dihitung menggunakan prosentase.

Pada saat berwujud beras, pengelompokan jenis beras menggunakan kriteria komposisi fisik utuh tidaknya butir beras yang dihasilkan dari proses pengolahan berupa perbandingan volume butir utuh, butir patah dan butir menir.

Semakin kecil jumlah butir patah yang dihasilkan dikategorikan sebagai beras yang lebih baik kualitasnya, biasa disebut dengan beras broken 5%, broken 10%, broken 15%, broken 20%, dan sebagainya.

Kriteria broken 20% adalah kriteria pengelompokan beras yang digunakan oleh Pemerintah dalam menetapkan HPP.

Baca juga : Bos Bulog Buwas: Insyaallah Tak Ada Impor di 2019

Kriteria tambahan yang digunakan adalah derajat sosoh dan tingkat kadar air beras. Derajat sosoh adalah proporsi terkelupasnya kulit ari gabah dari butir beras, dinyatakan dalam prosentase.

Derajat sosoh 95% menandakan bahwa sebanyak 95% kulit ari terkupas dari butir beras dan 5% masih melekat pada butir gabah tersebut.

Namun masyarakat pada umumnya mengabaikan kriteria ini karena cukup sulit untuk menentukan derajat sosoh, kemudian kebanyakan masyarakat menggunakan metode secara visual saja karena lebih mudah.

Semakin terlihat putih dan bersih maka masyarakat mengartikan bahwa beras tersebut sudah diproses dengan baik, meskipun tidak semua varietas padi menghasilkan beras yang putih dan bersih secara visual, misalnya varietas cidenok.

Gabah dari padi varietas cidenok akan menghasilkan beras yang secara visual cenderung kusam (doff) walaupun sudah digiling sedemikian rupa hingga terkelupas 100% kulit arinya.

Tingkat kadar air beras juga digunakan untuk mengelompokkan jenis beras, walaupun lebih cenderung digunakan oleh Pemerintah.

Dalam menetapkan HPP, Pemerintah menetapkan standar kualitas tertentu salah satunya kadar air dengan ketentuan kadar air maksimal 14%.

Ditetapkan demikian karena pada tingkat tersebut beras yang dibeli oleh Pemerintah cukup aman dari kemungkinan turun mutu untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu.

Secara umum beras pada tingkat kadar air 14% cukup aman disimpan dalam jangka waktu 3 sampai dengan 6 bulan. Namun yang terjadi di lapangan, masyarakat cenderung  mengabaikan tingkat kadar air tersebut karena yang berlaku di masyarakat adalah beras diproduksi untuk dikonsumsi.

Kebanyakan penggilingan memproses beras dengan tingkat kadar air 14% – 16% karena beras yang dihasilkan memang tidak untuk disimpan dalam jangka waktu berbulan bulan, melainkan segera dilempar ke pasar agar segera dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat.

Selain itu, dengan memproduksi beras berkadar air lebih dari 14% akan memberikan tambahan keuntungan karena secara fisik volume beras yang dihasilkan bertambah.

Misalkan, jika mengolah gabah kadar air 15% sebanyak 10 ton maka akan diperoleh tambahan volume beras yang dihasilkan sebanyak ± 1% setara ± 100 kilogram.

Perbedaan orientasi terhadap beras antara Pemerintah dan masyarakat terhadap kriteria kadar air menyebabkan distorsi pada kebijakan perberasan.

Pemerintah mengharapkan pasokan beras dari dalam negeri untuk disimpan namun beras yang tersedia di pasar dalam negeri sebagian besar adalah beras yang tidak untuk disimpan tetapi untuk dikonsumsi.

Jadi untuk mendapatkan nasi membutuhkan proses yang sedemikian panjang. Proses mendapatkan beras ini juga tidak terlepas dari permasalahan distribusi.

Telah diketahui umum bahwa tidak semua wilayah NKRI dapat menghasilkan beras, karena tidak semua tempat bisa ditanami padi meskipun luas. Wilayah produsen padi terkosentrasi sebagian besar di pulau jawa, propinsi sulawesi selatan, propinsi Bali dan NTB, propinsi lampung, dan sedikit wilayah lainnya.

Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah konsumen yang dipasok kebutuhan berasnya dari wilayah produsen. Kondisi ini dapat menyebabkan masalah pemerataan sehingga terjadi kekurangan pasokan di wilayah konsumen, khususnya daerah terpencil atau daerah yang sudah tidak lagi memiliki persawahan namun kebutuhannya sangat tinggi seperti Jakarta dan kota kota besar lainnya.

Selama ini distribusi beras dari wilayah produsen ke wilayah konsumen lebih banyak dilakukan oleh sector swasta yang belum diatur secara tegas oleh Pemerintah tentang pengelolaan daerah asal dan destinasi beras yang didistribusikan.

Maladministrasi dalam pengelolaan distribusi ini dapat menyebabkan terjadi kekosongan beras di daerah yang produksinya berlebih karena harus memasok beras ke wilayah lain.

Permasalahan distribusi beras antar wilayah tidak hanya terkait kekosongan pasokan semata. Karena belum ada pengaturan yang tegas oleh Pemerintah terkait distribusi beras, sector swasta dengan modal besar dapat melakukan penimbunan stok beras dengan dalih jalur distribusi yang tidak lancer dan sebagainya.

Kendala lainnya adalah adanya kepala daerah dengan kuasa otonominya dengan sengaja mengganjal kelancaran distribusi beras, khususnya beras importasi yang dilakukan oleh Pemerintah pusat.

Seperti halnya yang terjadi di Propinsi Jawa Timur, beras impor sampai dengan saat ini belum diijinkan untuk memasuki pasar di wilayah Jawa Timur dengan dalih untuk melindungi harga petani. Di saat wilayah Jawa Timur yang notabene adalah wilayah produsen terbesar mengalami kekosongan beras di pasar tertentu karena panen tertunda dan tingginya harga gabah, beras impor tidak dapat memenuhi kekosongan pasar tersebut.

Dampaknya adalah beras dalam negeri dari wilayah lain atau beras yang dikuasai oleh sector swasta dari wilayah lain di luar Jawa Timur mengalir kembali ke pasar di Jawa Timur. Hal ini tentunya akan membawa dampak lanjutan berupa instabilitas harga di pasar karena distribusi yang tidak efisien.

BUDAYA DAN SELERA PASAR

Selera masyarakat sebagai konsumen sudah bergeser sejak jaman kemerdekaan beberapa dekade silam. Pergeseran selera ini sudah berlangsung lama dan sudah begitu mengakar, tentu saja berimbas pada pola konsumsi yang kemudian mempengaruhi permintaan pasar.

Saat ini, hampir semua masyarakat Indonesia makan nasi sebagai menu utama untuk memenuhi asupan karbohidrat. Meskipun ada beberapa pangan pokok lainnya yang dapat digunakan sebagai pengganti semisal jagung, namun masyarakat kurang berminat.

Jagung kemudian lebih condong digunakan sebagai pakan daripada pangan. Jikalau pun ada pangan berbahan jagung hanya bersifat pelengkap.

Pada awal kemerdekaan masyarakat tidak mempermasalahkan jenis dan kualitas beras yang diinginkan karena pada saat itu perhatian masyarakat adalah mendapatkan beras untuk mencukupi kebutuhan pokok, bisa makan.

Seiring berjalan waktu didukung dengan kestabilan negara, secara umum masyarakat mulai dapat meningkatkan taraf hidupnya. Adalah hal yang wajar ketika masyarakat meningkat taraf hidupnya kemudian mulai memilih produk yang sesuai dengan daya belinya.

Pun demikian dengan pilihan masyarakat pada komoditi beras, masyarakat mulai memilih jenis dan kualitas beras yang sesuai dengan daya belinya. Pada komoditi beras, masyarakat mulai menentukan standarnya sendiri terhadap kualitas beras yang akan dibelinya, terutama pada kriteria visual dan rasa.

Secara umum beras ditentukan berkualitas bagus oleh masyarakat jika secara visual beras tersebut putih dan bersih serta terlihat utuh butiran berasnya, semakin putih bersih dan utuh maka semakin bagus kualitasnya.

Setelah itu masyarakat sebagai konsumen memilih jenis beras sesuai harapan rasa atau selera nasi ketika beras tersebut dimasak, sehingga kemudian pilihan jatuh pada beras pera, beras pulen, atau beras aromatic semisal beras pandan wangi dan sebagainya.

Perlahan permintaan terhadap beras berkualitas bagus meningkat. Hal ini tentu direspon oleh pengusaha penggilingan agar tidak kehilangan pangsa pasar mereka.

Para pengusaha penggilingan ini berlomba berinvestasi guna meningkatkan teknik pengolahan mereka supaya dapat bersaing di pasar komoditi beras.

Meskipun kualitas beras ditentukan oleh kualitas gabah dan kualitas benih dan kualitas proses tanam, namun kualitas beras juga ditentukan oleh teknik pengolahan dan perpaduan bahan baku pada tahap mengolah gabah menjadi beras.

Jika sebelumnya gabah cukup dikupas dan dipoles untuk mendapatkan beras, proses ini kemudian ditambah dengan teknik pembersihan dan sortir.

Untuk membuat beras hasil giling menjadi bersih secara visual, dikembangkan teknik menggunakan mesin double polish, myst polish, destoner, color sorter.

Sedangkan untuk menghasilkan beras yang utuh buitran berasnya dkembangkan teknik menggunakan mesin separator, sifter, sieve dan lain sebagainya, termasuk menggunakan berbagai macam jenis mesin dryer untuk memastikan kadar air sesuai standar giling.

Investasi ini tentu membutuhkan dana yang harus kembali pada pemilik penggilingan sebagaimana pakem finansial dalam dunia usaha.

Untuk mendapatkan pengembalian investasi tentulah dibebankan kepada konsumen yang pada akhirnya mendongkrak harga jual beras yang diproduksi, sebanding  dengan peningkatan kualitas sesuai harapan konsumen.

Tidak ada yang salah dengan kondisi ini karena hal ini memang yang seharusnya terjadi. Yang mejadi masalah adalah ketika kurva normal permintaan bergeser tetapi ada sebagian masyarakat yang tidak dapat menjangkau pergerseran tersebut.

Bagi masyarakat yang berpenghasilan cukup atau berlebih hal ini bukan menjadi masalah, tetapi bagi yang berpenghasilan terbatas hal ini menjadi masalah. Pun demikian bagi Pemerintah ketika harus mencukupi cadangan beras karena terjadi pergeseran pasar ini.

Pasar sudah bergeser dari beras medium ke beras premium, tetapi pengadaan beras yang dilakukan oleh Pemerintah belum mengikuti pergeseran tersebut yakni masih menggunakan standar kualitas di segmen beras medium.

Pasar bergeser menyebabkan pasokan beras medium berkurang karena pasar lebih condong produksi ke beras premium sedangkan Pemerintah hanya membeli beras medium untuk cadangan pangan.

Kebijakan ini berimbas pasokan pangan dari dalam negeri seolah tidak tercukupi padahal pasokan beras dalam negeri cukup banyak hanya saja berupa beras prmium.

INTERVENSI PEMERINTAH PADA PASAR BERAS

Sudah diketahui umum bahwa sejak terjadinya kesepakatan antara Pemerintah dengan IMF, negara banyak kehilangan kendali terhadap pasar karena hampir semua komoditi dilepaskan kepada mekanisme pasar.

Saat itu hanya komoditi beras yang masih dikuasai Pemerintah, itu pun tidak sepenuhnya hanya beras untuk kepentingan masyarakat golongan tertentu yang masih dikuasai oleh Pemerintah melalui program RASKIN.

Hal ini dilakukan karena kewajiban negara untuk melindungi masyarakat dari kerawanan pangan, khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Adanya program ini membuat Pemerintah dapat memberikan jaminan pangan bagi masyarakat tidak mampu dengan harga yang sangat terjangkau.

Namun demikian bukan berarti tugas Pemerintah selesai, masih ada masalah lain yang dihadapi Pemerintah yaitu tentang stabilisasi harga.

Instabilitas harga tidak hanya berpengaruh pada segmen tertentu saja, tetapi mempengaruhi seluruh aspek pasar.

Pada komoditi beras, instabilitas harga berpengaruh pada semua segmen beras.

Ketika pasar beras bergeser ke segmen beras yang lebih bagus daripada beras medium, hal ini menyebabkan harga pasar terkerek naik termasuk segmen beras medium karena berbagai factor, salah satunya adalah biaya produksi beras premium yang lebih tinggi daripada beras medium.

Permasalahan instabalitas adalah hal berat yang dihadapi Pemerintah karena instrument untuk mengendalikan harga dilepas kepada mekanisme pasar.

Kondisi disparitas waktu, harga, dan tempat yang seharusnya dikendalikan oleh Pemerintah menjadi dikendalikan oleh pasar melalui mekanisme penawaran dan  permintaan yang pada akhirnya berujung pada pembentukan harga oleh pasar.

Sementara dilain pihak Pemerintah hanya dapat mempengaruhi harga saja melalui penetapan HPP yang hanya menjaga sector hulu supaya harga tidak jatuh di musim panen.

HPP yang ditetapkan oleh Pemerintah tidak cukup menjaga stabilisasi harga karena korelasi yang terjadi adalah permintaan sepanjang waktu cenderung tetap sedangkan penawaran dari pasokan dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan pembentukan harga itu sendiri.

Disparitas waktu antar musim panen menyebabkan harga bergejolak dimusim panen. Disparitas tempat terjadi karena hanya wilayah tertentu yang dapat memasok beras ke pasar.

Kemudian yang terjadi adalah disparitas harga antar waktu dan antar tempat yang saling menyesuaikan dalam berupa tawar menawar yang terjadi di pasar tanpa bisa dikendalikan oleh Pemerintah.

Pada saat panen yang mana pasokan melimpah seharusnya terjadi penurunan harga meskipun dijaga harga bawahnya dengan HPP, namun faktanya harga gabah di pasar selalu berada diatas harga Pemerintah karena tidak ada regulasi yang membatasi harga maksimal gabah.

Sekali lagi, Pemerintah dengan HPPnya hanya menjaga supaya harga tidak jatuh.

Harga gabah/beras tetap diatas HPP karena permintaan terhadap beras selalu tinggi sepanjang waktu. Wilayah geografis Indonesia yang sedemikian rupa turut menyebabkan instabilitas harga karena tidak semua wilayah dapat memasok beras tetapi seluruh wilayah membutuhkan beras.

Distribusi beras dari daerah surplus produksi ke daerah deficit diperlukan untuk pemerataan pasokan beras untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tidak semua wilayah memiliki akses distribusi yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan beras, hanya kota-kota besar saja yang memiliki akses kemudahan itu.

Daerah pedesaan dan daerah terpencil kurang terlayani untuk mendapatkan beras. Dari data BPS bisa dilihat bahwa jumlah penduduk Indonesia lebih dari 60% berada di Pulau Jawa, sedangkan wilayah geografis lainnya yang sangat luas dihuni oleh sisanya.

Banyaknya masyarakat di luar pulau jawa yang juga membutuhkan beras secara otomatis juga menyebabkan kurva permintaan bergeser naik yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga beras di pasar.

Sejak tahun lalu Pemerintah melalui Kementrian Perdagangan melakukan campur tangan secara langsung di pasar beras nasional dengan menerapkan harga eceran tertinggi (HET), bermaksud menekan harga yang merangkak naik di pasar.

Namun  campur tangan ini belum juga dapat memenuhi harapan stabilnya harga karena beberapa hal yang kurang tepat.

Pertama, harga ditetapkan secara tidak adil untuk jenis beras medium dan premium saja sedangkan diantaranya terdapat beras yang banyak dikonsumsi masyarakat, sebut saja dengan beras super.

Harga beras premium ditekan turun dari semula sekitaran Rp 15.000,00/kg menjadi Rp 12.500,00/kg, namun sebaliknya beras medium justru diangkat harganya dari sekitaran Rp 8.000,00/kg di pasaran (meskipun sudah diatas HPP) menjadi Rp 9.450,00/kg, yang mana dengan adanya kebijakan ini harga pasar beras super yang tadiya berada di sekitaran Rp 9.000,00/kg terdongkrak naik menjadi Rp 10.000,00/kg.

Dampak lain adalah harga gabah dari semula Rp 4.000,00/kg menjadi Rp 5.000,00/kg, sebuah kesempatan yang hanya dimiliki oleh pemilik gabah, karena apapun jenis berasnya semua berasal dari bahan baku yang sama yaitu gabah.

Dengan asumsi kurva distribusi normal yang mana beras super adalah beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, maka kebijakan HET ini justru menjadi penyebab kenaikan harga beras walaupun terjadi stabilisasi di tingkat harga yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Kedua, selain kebijakan HET dari Kementrian Perdagangan, ada pula kebijakan lain dari Kementrian Pertanian yang mengatur harga acuan beras.

Acuan harga dari Kementrian Pertanian juga membuat pasar semakin kebingungan karena kurang tepat pula dalam hal jenis barang yang diatur harga acuannya.

Kementrian Pertanian yang notabene berkecimpung di sector hulu terlalu jauh jangkauannya dengan menerbitkan harga acuan beras, semestinya cukup memberikan acuan harga untuk gabah saja.

Dari sudut pandang legalitas, pada saat kedua kementrian ini mengeluarkan kebijakan membuat bingung pelaku perberasan sebab selama ini kebijakan pemerintah terhadap harga gabah dan beras diatur dalam Instruksi Presiden, bukan kebijakan kementrian.

Yang terjadi di pasar adalah ambiguitas terhadap ketentuan harga yang mana harga pada Instruksi Presiden dibawah harga yang diatur kebijakan lain setingkat menteri, yang notabene menteri berada dibawah Presiden secara structural.

Pada poin ini nampak betul carut marut pengelolaan beras oleh Pemerintah. Kebijakan Pemerintah terhadap perberasan terlihat dilakukan secara parsial, masing-masing kementrian membuat kebijakan yang tidak komprehensif dan kurang harmonis sehingga tidak nampak benang merah yang jelas untuk menjalankan ketahanan pangan.

Satu-satunya benang merah yang terlihat dengan jelas adalah seolah Pemerintah bermaksud melepaskan beras kepada pasar. Hal strategis yang seharusnya dikelola dengan baik oleh Pemerintah karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Artikel kiriman Andin Cholid