beras

Mempertanyakan Produksi Beras

Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakan angka produksi gabah yang diklaim mencapai 79 juta ton. Dia kembali mengingatkan agar evaluasi stok tersebut dilakukan menyeluruh, termasuk data dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Baca : Stok Beras : Impor Bisa Jadi Pilihan

“Kalau begitu kita kelebihan 20 juta ton gabah. Itu bisa surplus bertahun-tahun. Sekarang kan enggak. Harga naik itu kan berarti stok kita mulai menipis,” jelasnya. Ia menambahkan “bisa saja kita impor untuk menutupi stok 500 ribu atau 1 juta ton, itu bisa saja kalau stok kurang. Walaupun nanti panen Januari-Februari akan bertambah stoknya, memang kita harus [tetap] berhati-hati. Tetapi kita juga harus optimistis bahwa panen berikutnya akan cepat,” ujarnya.

Subjektifitas Data Produksi

Ada dua kata kunci yang bisa diambil dari pernyataan Wapres JK diatas. Pertama, kelebihan stock tetapi nyatanya tidak dan kedua, harga naik karena stock yang menipis. Dua kata kunci tersebut akan saya perkuat dengan argumentasi dan referensi ilmiah yang telah ada.

Pada kata kunci pertama, JK sebenarnya mempertanyakan kebenaran data produksi beras yang ada. Jika berdasarkan angka produksi gabah yang diklaim sebanyak 79 juta ton, maka kita akan surplus 20 juta ton gabah.

Perhitungan sederhananya begini, 79 juta ton gabah jika dikonversi menjadi beras akan didapatkan beras lebih kurang 47 juta ton pada tingkat rendemen 60 persen. Dengan konsumsi rata-rata nasional 33 juta ton per tahun, maka aka nada kelebihan beras sebanyak 14 juta ton atau setara dengan 20 juta ton gabah.

Logikanya, jika ada surplus gabah sebanyak 20 juta ton atau 14 juta ton beras maka akan terjadi kelebihan stock. Surplus secara ekonomi diartikan penawaran beras yang berlebih, konsekuensinya tentu dicerminkan dengan harga yang rendah. Sehingga, hal inilah yang membuat JK heran dan bertanya-tanya, dimana letak kesalahannya.

Secara riil stock yang dikuasai BULOG sudah menipis, namun data beras tetap menunjukkan trend surplus atau berlimpah. Oleh karena itulah, JK menekankan kepada Kementan dan BPS agar data produksi beras dilakukan evaluasi. Mirisnya, pernyataan JK sekarang agar dilakukan evaluasi sudah dilontarkan dua tahun yang lalu.

Namun, sampai detik ini belum juga ditemukan cara yang tepat untuk mendapatkan data seakurat mungkin dan tetap menjadi polemik berkepanjangan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono.

Pada acara House of Rice di Jakarta, Jumat (25/08/2017), ia mengatakan bahwa metode yang digunakan selama ini untuk mencatat produksi pangan, yaitu eye estimate, merupakan metode yang berdasarkan pada laporan pandangan mata oleh petugas. Sehingga, hasil dari data yang dikumpulkan terlalu subjektif dan tidak akurat.

Ia menambahkan, “karena yang menjadi pokok persoalan mendapatkan data produksi adalah luas panen. Kalau luas panen menggunakan metode yang selama ini ada eye estimate itu bukan metode pengukuran. Itu subjektif dan belum menerapkan pengukuran yang objektif. Oleh karena itu, dengan kerangka sampling area (KSA) kita sudah memanfaatkan teknologi informasi, dan menerapkan pengukuran yang objektif tadi “.

“Sebelumnya pengumpulan data dilakukan oleh BPS dan Kementerian Pertanian. Yang BPS menggunakan metode sampling yang benar. Tetapi pengukuran yang dilakukan kementerian menggunakan pengukuran pandangan mata, itu subjektif. Itu yang diduga overestimate,”. Dia menambahkan, proses pendataan produksi beras 2018 akan dimulai Januari hingga April 2018. Hasilnya diperkirakan keluar pada Juni 2018.

Baca : Data Produksi Beras, Realitas atau Subjektifitas?

Tingginya subjektivitas angka produksi padi selain faktor “eye estimates” pandangan mata dan ubinan juga disebabkan faktor lain yang tidak dimasukkan untuk menjadi variabel penentu.

Faktor-faktor objektif seperti penyusutan, penggunaan produksi padi untuk benih, pangan dan industri tidak menjadi pertimbangan dalam menentukan angka produksi padi yang sebenarnya.

Belum lagi factor angka konversi rendemen, alih fungsi lahan pertanian 100 ribu hektar pertahun yang menjadi perumahan, ruko dan lain sebagainya, sawah yang rusak, gagal panen dan terendam menambah rumit untuk memecahkan angka misteri produksi padi di negeri ini.

Alasan diatas bukan tanpa dasar, hal ini bisa dibuktikan ketika Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian mengundang BPS, BPN dan Bappenas untuk mengadakan Focus Group Discussion (FGD) pada bulan Maret 2015 untuk mencari solusi bagaimana mensinkronisasikan atau mengharmonisasikan data angka produksi padi antar instansi ditiap tahunnya yang selalu berbeda-beda. Sehingga nanti disepakati bagaimana cara pengukuran yang tepat hingga kemudian dihasilkan data yang benar-benar valid.

Harga sebagai Cerminan Stock

Pada kata kunci kedua, JK menyimpulkan bahwa akibat stock yang tidak ada maka berakibat kepada tingginya harga.

Sehingga tidak menutup kemungkinan akan dilakukan impor untuk menutupi kekurangan stock yang ada. Wapres JK tidak perlu kita ragukan lagi ketajaman instingnya.

Mantan Kepala BULOG dan pengusaha besar nan sukses pasti sangat mengerti dengan hukum pasar. Keseimbangan pasar yang sebenarnya dicerminkan dengan harga.

Jika harga mengalami kenaikan, berarti ada yang salah dengan salah satu sisi baik permintaan dan penawaran.

Permintaan yang banyak akan mendorong terjadinya lonjakan harga. Begitu juga jika supply yang sedikit, juga akan menyebabkan kenaikan harga.

Nah, berdasarkan teori harga itulah JK berkesimpulan bahwa harga beras yang naik karena disebabkan stock beras yang menipis. Sebagai seorang sosok yang berpengalaman di bidang pemerintahan, Wapres JK tidak akan berspekulasi terlalu dalam atau main-main dengan pangan.

Salah sedikit mengambil keputusan maka akan berakibat fatal bagi rakyat Indonesia. Sehingga, walaupun tidak terlalu popular isu impor beras, namun JK dengan percaya diri melontarkan isu tersebut.

Isu impor beras memang selalu hangat dan biasanya memiliki magnet tersendiri. Pro dan kontra biasa terjadi dan akan banyak konflik kepentingan terjadi disana.

Isu tersebut biasa digoreng oleh lawan-lawan politik, untuk mencitrakan kinerja yang buruk dari pemerintahan. Namun berbagai fenomena tersebut tetap tidak menyurutkan JK, jika tetap melakukan impor.

JK tidak termakan isu dan selalu siap untuk tidak popular dengan prinsipnya dan itu sudah dilakukannya dua tahun yang lalu. Prinsip utama yang sangat penting dikemukakan adalah demi kepentingan rakyat banyak.

Impor dilakukan untuk menjaga stabilitas harga dan stock nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia (https://www.merdeka.com/uang/wapres-jk-pemerintah-impor-beras-untuk-menjaga-rakyat.html).

Berdasarkan argumentasi yang ada, jika keputusan melakukan impor beras yang merupakan jalan terakhir dilakukan adalah sebuah keputusan yang tepat.

Keadaan ini juga diperkuat dari pernyataan peneliti Cides Indonesia yang mengatakan sampai pertengahan Februari 2017, ternyata fenomena La Nina dengan ”hujan berlebih” diikuti banjir dan longsor masih dipicu angin timur dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia utara Australia.

Bencana banjir di sebagian besar wilayah Indonesia akhirnya memperoleh perhatian setelah menerpa sejumlah wilayah di ibu kota Jakarta.

Sebelumnya banjir itu menggenangi banyak kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, Sulawesi, bahkan Papua secara silih berganti sejak Oktober 2016. Fenomena meluasnya banjir sebenarnya sudah diprediksi saat masih terjadi kekeringan akibat El Nino pada 2015/2016.

Selain itu, keputusan tersebut bisa diperkuat dengan catatan kenaikan harga yang ada selama ini. Pada bulan Mei 2017, rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 8.790,00 per kilogram naik sebesar 1,58 persen.

Sedangkan rata-rata harga beras kualitas rendah di penggilingan sebesar Rp 8.374,00 per kilogram naik sebesar 0,82 persen (https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/06/02/090880970/bps-harga-gabah-mei-2017-naik-4-10-persen).

Hal ini juga diperkuat dari pernyataan Kepala BPS Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Rabu (1/11/2017).  Harga beras medium ditingkat penggilingan per Oktober 2017 mengalami peningkatan sebesar 2,03% menjadi Rp 9.117 per kg.

“Untuk harga beras jenis medium naik 2,03% menjadi Rp 9.117 per kg dibandingkan dengan September Rp 8.935 per kg,” kata Suhariyanto (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3708900/harga-beras-medium-naik-jadi-rp-9117kg).

Nada yang sama juga disampaikan dengan pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Billy Haryanto, bahwa kondisi ketersediaan beras medium dalam negeri masih kosong, terutama stok harga beras dengan harga dibawah Rp 9.000 per kilogram.

Ia menjelaskan, kenaikan harga beras saat ini menunjukkan kalau stok beras betul betul kosong. Padahal, beras medium merupakan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. “lebih dari 50% masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras medium”.

Pernyataan yang sama dilontarkan Ate pedagang beras lain di PIBC. Pengiriman pasokan beras ke Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, mengalami penurunan.

Para pedagang di sana mengaku pengiriman beras dari daerah turun hingga 50%. Jika biasanya dia mendapat pengiriman di atas 500 ton per hari, saat ini Ate hanya mendapat sekitar 200-300 ton.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa subjektifitas data produksi yang ditunjukkan dengan angka produksi beras sangatlah terlalu besar.

Hal ini juga diperkuat dengan data dan fakta yang ada. Semua ini bisa menjadi pegangan atau dasar pemerintah untuk dijadikan opsi kebijakan yang akan diambil kedepannya.

Tidak ada kata haram, jika demi untuk kepentingan rakyat banyak. Pengalaman adalah pembelajaran yang baik, sehingga tidak ada kata dalam kamus untuk berspekulasi dengan pangan.

Ketidakpopuleran haruslah dilawan demi untuk masa depan bangsa, dan ini sudah dilakukan Wapres JK dua tahun yang lalu.

Artikel by Julkhaidar Romadhon Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya