Tahun ini, pemerintah mengubah mekanisme penyaluran bantuan pangan, dari natura dalam bentuk beras menjadi nontunai melalui transfer langsung ke keluarga penerima.
Bantuan pangan nontunai mulai disalurkan di 44 kota dan 6 kabupaten tahun ini. Menurut rencana, bantuan pangan nontunai bakal diperluas ke semua kota dan sebagian kabupaten tahun depan.
Perubahan pola ini diharapkan membuat bantuan lebih tepat sasaran, sekaligus mengurangi risiko penyimpangan. Keluarga penerima manfaat (KPM) pun memiliki keleluasaan untuk membelanjakan dana bantuan, termasuk soal pilihan kualitas dan harga beras.
Akan tetapi, perubahan itu menyimpan risiko, khususnya bagi Perum BULOG yang selama ini bertugas menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi ke kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Tugas itu termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Baca juga : Voucher Pangan, Rastra dan BULOG
Mekanisme penyaluran beras bersubsidi sebelumnya telah beberapa kali diubah. Tahun 2002, bantuan ini bernama raskin, beras untuk rakyat miskin. Pada 2015, pemerintah mulai memperkenalkan rastra, beras untuk rakyat sejahtera.
Serupa dengan raskin, rastra bertujuan mengurangi beban keluarga berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Masalahnya, ketika bantuan tak lagi berupa natura, lalu akan disalurkan ke mana beras hasil penyerapan BULOG? Padahal, tugas menyerap gabah/beras masih melekat pada BULOG.
Alat Negara
BULOG adalah alat negara untuk mengamankan harga gabah/beras di tingkat petani melalui kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP). Ketika tak ada lagi jalur penyaluran beras serapan BULOG, apakah tugas menyerap gabah/beras sekaligus stabilisasi harga pangan masih relevan buat BULOG?
Dengan perubahan itu, jumlah rumah tangga sasaran atau KPM berkurang dari 15,5 juta pada 2016 menjadi 14,3 juta pada 2017 dan diperkirakan tinggal 5,6 juta pada 2018. Penurunan tajam ini sejalan dengan perluasan target bantuan pangan nontunai (BPNT) dari 1,4 juta KPM tahun ini menjadi 10 juta KPM tahun depan.
Jumlah beras yang harus disalurkan BULOG juga dipastikan jauh berkurang dari 2,5 juta ton tahun ini. Sejumlah pengamat berpendapat, sampai saat ini, keterlibatan BULOG dalam BPNT belum jelas.
Kondisi ini berkonsekuensi pada hal lain, yakni stabilisasi harga gabah/beras di masa depan? Terlebih targetnya cenderung naik, dari rata-rata 1,8 juta ton pada 2003-2007 menjadi 3,4 juta ton pada kurun 2008-2009, dan 4,5 juta ton 2015-2016.
Baca juga : Rastra Dihapuskan, Waspadai Bertambahnya Penduduk Miskin
Selain itu, raskin/rastra yang diberikan 15 kilogram per KPM per bulan juga dinilai masih efektif sebagai alat stabilisasi. Dengan harga Rp 1.600 per kg, raskin/rastra juga dianggap mampu meredam gejolak harga beras, sekaligus inflasi.
Ketika raskin/rastra tak ada, stabilisasi sepenuhnya bergantung pada cadangan beras pemerintah, saat ini jumlahnya sangat kecil atau sekitar 350.000 ton dari total konsumsi sekitar 33 juta ton.
Beberapa solusi disampaikan pengamat, akademisi, dan praktisi terkait problem itu. Pertama, pemerintah dipandang perlu menugaskan BULOG mengisi beras dan pangan lain di warung-warung gerai BPNT.
Cara ini dapat menggantikan fungsi raskin/rastra sebagai stabilisator, sekaligus membuat fungsi BULOG sebagai penyangga harga pangan tetap terjaga.
Kedua, cadangan beras pemerintah perlu diperbesar, setidaknya 10 persen dari total konsumsi, agar lebih berdaya mengintervensi pasar.
Namun, solusi ini menuntut alokasi anggaran pemerintah lebih dari Rp 15 triliun. Fungsi stabilisasi harus terjaga agar petani sebagai produsen tetap termotivasi mengembangkan usaha tani.
Tanpa perlindungan negara melalui harga pembelian pemerintah, petani tak punya tameng agar terhindar dari kerugian. Tentu kita tak menginginkannya.
Artikel by MUKHAMAD KURNIAWAN