kantor-bulog

Perkuat BULOG, Jangan Dilemahkan!

Baru-baru ini kita mendengar pernyataan dari Muhaimin Iskandar “Cak Imin” Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), agar BULOG dibubarkan saja.

Pernyataan ini dilontarkan disela kegiatan peluncuran pupuk organik dan beras sehat “Moralis”, di Desa Cikedung, Indramayu.

Baca : Jika Tidak Berfungsi, Ketum PKB Minta BULOG Dibubarkan

Ada beberapa argumentasi yang dilontarkan Cak Imin agar BULOG dibubarkan.

Pertama; ia menilai BULOG sudah melenceng dari fungsinya sebagai penopang kesejahteraan petani.

Dulu lanjut dia, BULOG sempat menjadi andalan petani, penopang disribusi, dan penyangga pangan para petani agar produktivitas terjaga serta harga komoditas hasil tani yang kompetitif.

“Namun akhir-akhir ini BULOG hanya menjadi sub kecil dari kebutuhan kita,” katanya.

Kedua : Ia beralasan, tantangan yang dihadapi petani kian berat. BULOG ditantang agar bisa menangani pemasaran produk-produk pertanian serta membeli komoditas pertanian dengan harga layak ketika petani mengalami kesulitan biaya produksi.

Pernyataan ini sebenarnya tidak ada yang salah, wajar dan sah-sah saja dan sudah banyak dilontarkan publik.

Politisi dan akademisi yang diharapkan paham pun juga banyak belum paham dan bertanya-tanya, apalagi dengan orang awam.

Mereka tahunya BULOG tetap wajah lama dengan segala kewenangan dan fasilitas yang dimiliki. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan lembaga andalan pangan satu ini.

Ada beberapa alasan yang perlu publik ketahui, mengapa BULOG yang sekarang berbentuk Perum seakan tidak berdaya jika dibandingkan dengan BULOG berbentuk LPNK yaitu Badan Urusan Logistik.

a. Kewenangan BULOG terbatas

BULOG sekarang bukanlah BULOG seperti yang dahulu. BULOG dahulu merupakan singkatan dari Badan Urusan Logistik yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen disingkat (LPND) atau sekarang bernama Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).

LPNK adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden.

Kepala LPNK berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui menteri atau pejabat setingkat Menteri yang mengkoordinasikan.

Memasuki Era Orde Baru dibentuk Badan Urusan Logistik (BULOG) pada tanggal 10 Mei 1967, berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967.

Kehadiran BULOG sebagai lembaga stabilisasi harga pangan memiliki arti khusus dalam menunjang keberhasilan Orde Baru sampai tercapainya swasembada beras tahun 1984.

Keppres No.39/1978 tanggal 5 Nopember 1978, tugas pokok BULOG yaitu melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gandum dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik bagi produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijaksanaan umum Pemerintah.

Memasuki Era Reformasi, beberapa lembaga Pemerintah mengalami revitalisasi serta reformasi termasuk BULOG.

Tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) yang tidak menginginkan intervensi pemerintah terlalu masuk pada komoditas pangan, membuat tugas BULOG dibatasi untuk komoditi beras dan gula pasir.

Selanjutnya, tugas ini lebih diciutkan lagi dengan Keppres RI No.19 tahun 1998 dimana peran BULOG hanya mengelola komoditi beras saja.

Akhirnya, pada Rakortas Kabinet tanggal 13 Januari 2003, Presiden memutuskan menyetujui penetapan RPP menjadi PP dan ditetapkanlah PP No. 7 Tahun 2003 Tentang Pendirian Perusahaan BUMN berbentuk Perum BULOG tanggal 20 Januari 2003 (Lembaran Negara Nomor 8 tahun 2003).

Artinya, dengan berbentuk Perusahaan BUMN maka kewenangan BULOG sekarang semakin kecil dan terbatas. Berbentuk BUMN artinya juga berada dibawah koordinasi Kementerian BUMN.

Semua kegiatan pokok juga harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Kementerian yang lain.

Sehingga seolah-olah peranan BULOG akhir-akhir ini seakan tidak kelihatan dan hanya seperti menjadi sub kecil dari kebutuhan Negara.

Tugas tersebut antara lain;

(a) kegiatan pembelian gabah beras petani dengan Kementerian Pertanian; (b) kegiatan operasi pasar dengan Kementerian Perdagangan; (c) kegiatan penyaluran Rastra dengan Kementerian Sosial; (d) serta kegiatan lainnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang banyak bersinggungan dengan beberapa Komisi.

b. BULOG berbentuk Perum

Dengan rangkaian cerita panjang peristiwa diatas, terlihat sekali bahwa kewenangan BULOG semakin kecil dan seakan tidak berdaya.

Seperti contoh, waktu BULOG berbentuk LPND ketika harga pangan tinggi dengan cepatnya BULOG melakukan intervensi pasar tanpa melakukan koordinasi dengan pihak lain karena langsung dibawah Presiden.

Sekarang ketika berbentuk BUMN, Perum BULOG harus berkoordinasi dulu dengan Kementerian Perdagangan untuk melakukan operasi pasar.

Akibatnya, terkadang harga terlanjur cepat meroket dan sulit diatasi karena waktu yang digunakan untuk koordinasi yang panjang, termasuk mengurus surat izin pelaksanaan operasi pasar.

Selain itu, dengan sudah berubah bentuk menjadi perusahaan umum BUMN maka prinsip bisnis harus dikedepankan.

Karena BUMN dituntut untuk memberikan keuntungan kepada Negara selaku pemegang saham.

Jadi, semua kegiatan yang dikelola oleh BULOG harus menghasilkan laba dan tidak boleh rugi.

Itulah mengapa terkadang BULOG seperti di persimpangan dan terkesan lambat mengambil keputusan untuk segera melakukan tindakan. Karena disana ada pertimbangan bisnis.

Terkadang penugasan yang dilakukan pemerintah tidak mempetimbangkan hal itu. Disuruh melaksanakan tugas namun tidak ada kompensasi kerugian dan jaminan pasar untuk menyalurkannya.

Sehingga tidak bisa mempersalahkan pihak BULOG, yang lambat mengambil keputusan karena penugasan yang bersifat merugikan perusahaan.

Untuk menyikapi hal itu, agar terdapat solusi tepat “win-win solution” ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan :

1. Mempercepat terbentuknya Badan Otorisasi Pangan

Sebenarnya kalau kita benar-benar ingin terwujudnya kedaulatan pangan dengan goal akhir kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya maka harus ada “good will” serta konsistensi dari kebijakan yang sudah diambil.

Seperti contoh ; UU pangan no 18 tahun 2012 sudah mensuratkan agar dalam waktu tiga tahun sudah terbentuk lembaga otorisasi pangan. Namun sampai dengan detik ini, penghujung tahun 2017 batang hidung lembaga ini belum terbentuk juga.

Baca : Menanti Sang Pangeran Ditengah Polemik Pangan

Seharusnya anggota DPR sebagai wakil rakyat pro aktif mendorong terbentuknya lembaga pangan yang semestinya terbentuk akhir tahun 2015.

Karena, Undang Undang Pangan No. 8 tahun 2012 yang disahkan oleh DPR bulan Oktober 2012 dilatarbelakangi akibat carut-marutnya penanganan pangan di negeri ini.

Sembilan bahan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, masih terus menyisakan persoalan tiap tahunnya, silih berganti seakan tiada henti.

Mulai dari isu kenaikan harga, produksi yang berkurang, persoalan distribusi, isu keamanan pangan, koordinasi yang lemah antar lembaga hingga maraknya praktek kartel pangan.

Pemerintah seolah-olah tidak berdaya menghentikan fenomena-fenomena yang terjadi, mulai dari makanan pokok beras hingga bahan pangan kecil seperti bawang dan cabai.

Oleh karena itulah, DPR harus mendorong Pemerintah saat ini agar segera meleburkan berbagai instansi untuk menjalankan kebijakan pangan.

Watak pangan strategis yang multidimensi dan reorientasi tata pangan nasional yang berdaulat, sangat sulit dan tidak akan pernah bisa dilaksanakan oleh sebuah Kementerian teknis yang teramat sektoral.

Lembaga yang bernama Badan Pangan Nasional inilah sangat diharapkan sebagai pemain tunggal untuk membuat kebijakan tunggal terkait masalah pangan nasional.

2. Memberikan Penugasan Khusus Kepada BULOG

Untuk mengatasi berbagai persoalan pangan yang ada, sebenarnya tidak sulit diselesaikan.

Masalah harga tinggi karena kelangkaan produksi serta harga rendah karena produksi tinggi dapat diatasi dengan memberikan penugasan khusus kepada Perum BULOG.

Sebagai wakil pemerintah, maka BULOG harus dipersenjatai agar menjadi kekuatan penyeimbang pasar.

Seperti contoh ketika kasus harga tinggi yang disebabkan karena kelangkaan pangan di dalam negeri. Pada titik ini biasanya pemerintah mengeluarkan kebijakan impor.

Maka BULOG sebagai perpanjangan tangan pemerintah juga harus diberikan kuota impor yang sama.

Hal ini bertujuan agar komoditas yang diimpor oleh BULOG mampu membanjiri pasaran dengan harga HET yang telah ditentukan. Sehingga terciptalah harga normal atau harga keseimbangan di pasaran.

Sedangkan pada kasus harga rendah akibat produksi yang melimpah sehingga petani sulit untuk memasarkan produknya, maka BULOG harus diberikan penugasan khusus untuk melaksanakannya.

Artinya, penugasan kepada BULOG harus diiringi dengan captive market yang jelas serta bentuk kompensasi berupa “fee” akibat kerugian dari penugasan yang diberikan.

Sehingga, BULOG sebagai perusahaan BUMN dapat menjalankan proses bisnisnya dan tidak membebani keuangan Negara.

Oleh karena itu, untuk mengatasi polemik pangan yang tidak berkesudahan dari tahun ke tahun dan kasusnya selalu sama dan berulang-ulang, maka langkah yang paling urgent yang harus diambil pemerintah adalah membentuk secepatnya Badan Pangan Nasional.

Andaikan Badan Pangan Nasional sudah terbentuk, maka perubahan atas Perpres satu ke Perpres yang lain tidak akan terjadi dan yang paling penting adalah tidak terjadinya overlapping kebijakan satu dengan kebijakan yang lain.

Artikel by Julkhaidar Romadhon, Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya