Hilangnya pangsa pasar Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) bisa dijadikan momentum untuk membenahi diri menjadi lebih profesional. Bulog diyakini bisa bersaing dengan swasta yang bermain di area yang sama.
Demikian dikatakan pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas.
Menurut Dwi, penyaluran beras rakyat sejahtera (rastra) yang beralih ke Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) membuat Bulog kehilangan pangsa pasarnya. Mengingat jumlah penyalurannya yang cukup besar hingga 2,6 juta ton.
Namun, ia menilai kondisi ini seharusnya bisa dijadikan momentum Bulog untuk meningkatkan kompetisinya. Sehingga mampu berdaya saing dengan pihak swasta, yang juga bermain di sektor komoditas beras.
Saat inilah masa transisi bagi Bulog, khususnya setelah penyaluran rastra dialihkan. Jadi, bagaimana caranya meningkatkan profesionalitas perusahaan. Sehingga bisa menggarap potensi dari pasar penyaluran beras yang hilang itu, saran Dwi saat dihubungi Rakyat Merdeka kemarin.
Ia yakin, Bulog mampu bersaing dengan pihak lainnya, mengingat gudang-gudang beras yang dimiliki memiliki kapasitas sangat besar. Hal ini menjadi keunggulan tersendiri bagi Bulog. Karena tidak ada pihak lain atau swasta yang memiliki kapasitas gudang sebesar yang dimiliki perseroan.
Saya yakin, mau itu gudang biasa pun, untuk penyimpanan beras, Bulog masih ungguldibanding lainnya, karena kapasitasgudangnya sangat besar, katanya.
Ia berharap, Bulog bisa mengoptimalkan penggunaan gudang-gudang tersebut, seperti menjalin kerja sama untuk pemanfaatannya. Sehingga potensi kerugian di depan mata bisa disulap menjadi keuntungan yang menggiurkan.
Bisa dikatakan, Bulog tak perlu investasi gudang baru pun, mereka tetap unggul, gudangnya tersebar di banyak wilayah. Tinggal itu saja, bagaimana meningkatkan profesionalitasnya, jadi bisa bersaing dengan yang lainnya, tandasnya.
Sebelumnya, Bulog berpotensi merugi tahun ini lantaran kebutuhan penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) jauh lebih rendah dari volume yang ditetapkan. Serta, hilangnya pangsa pasar hingga beban biayapenyerapan dan perawatan beras petani yang menggunakan utang bank.
Hal ini disampaikan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso. Menurutnya, Bulog diwajibkan menyerap gabah atau beras hasil panen petani untuk kebutuhan CBP minimal 1 juta ton dan maksimal 1,5 juta ton.
Sementara, Bulog hanya menyalurkan CBP untuk keperluan Operasi Pasar (OP) dan bantuan bencana alam yang jumlahnya sekitar 850 ribu ton setahun.
Di luar itu, penyaluran CBP hanya dilakukan bila ada program yang dijalankan alias program tidak rutin. Seperti bantuan beras PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
Artinya, volume penyaluran CBP ini jauh lebih dari ketentuan stok yang ditetapkan. Selain itu, Bulog juga memiliki keterbatasan wewenang untuk menyalurkan stok CBP.
Kami sudah lapor ke Mentan (Menteri Pertanian), Mendag (Menteri Perdagangan), dan Menko Perekonomian agar ke depan pengelolaan CBP dibenahi, ujarnya, dalam acara penyampaian Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI terkait tata kelola beras, di Jakarta, Senin (18/10).
Menurut pria yang akrab disapa Buwas ini, hal paling mendasar atas kerugian tersebut adalah hilangnya pangsa pasar Bulog sebanyak 2,6 juta ton setahun untuk menyalurkan CBP yang diserap dari petani.
Hal ini terjadi sejak bantuan sosial (bansos) beras untuk rastra dihentikan dan diganti dengan BPNT.
Sejak Rastra jadi BPNT, CBP berhenti dan Bulog kehilangan 2,6 juta ton kanal penyaluran. Kalau mau stok 1,5 juta ton itu berlebihan, ungkapnya.
Karena itu, pengelolaan volume yang tepat sangat diperlukan untuk menjamin tidak ada beban pengelolaan dan sirkulasi penyaluran berjalan baik. Sebab, dalam penyerapan beras petani yang dilakukan Bulog menggunakan pembiayaan bank dengan bunga komersil.
Potensi Bulog merugi, itu pasti. Kenapa? Ya karena uangnya hasil meminjam (bank), bunga komersil itu berjalan terus, akunya.
Tak hanya itu, pihaknya juga harus mengeluarkan ongkos perawatan beras selama masa penyimpanan di gudang.
Apalagi gudang yang digunakan Bulog adalah gudang biasa pada umumnya, bukan khusus untuk menyimpan beras. Hal tersebut menyebabkan kualitas beras semakin lama disimpan akan semakin turun mutunya. Dan akhirnya tak bisa disalurkan ke pasar. Maka, di situlah Bulog akan merugi.
Jadi, bagaimana mau menyimpan suatu pangan bisa awet, itu tidak mungkin. Supaya awet, perawatannya menjadi mahal, bebernya.
Dihubungi terpisah, Kepala Humas Perum Bulog Tomi Wijaya mengatakan, untuk mengatasi potensi kerugian tersebut, diperlukan harmonisasi kebijakan dari regulator. Sehingga, stabilisasi harga baik di sisi hulu maupun hilir dapat diwujudkan.
Kami harapkan adanya harmonisasi kebijakan, katanya, kepada Rakyat Merdeka .
Selama ini, pihaknya memiliki fungsi sebagai operator yang melaksanakan penugasan PSO ( Public Service Obligation ) dari regulator.
Tapi untuk komersial, Bulog juga sudah banyak melakukan inovasi terkait trading komoditas pangan, ujarnya. [IMA]