Tahun 2018, merupakan tahun penuh tantangan bagi Perum BULOG dalam melakukan penyerapan gabah beras petani.
Bagaimana tidak, pada awal tahun langsung disambut dengan polemik impor beras dan harga gabah yang begitu tinggi diatas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Selama Januari 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga rata-rata harga GKP di tingkat petani mencapai Rp 5.415 per kilogram dan di tingkat penggilingan Rp 5.508 per kilogram atau naik 8,41 persen.
Rata-rata harga GKG di petani mencapai Rp 6.002 per kilogram atau naik 7,07 persen dan di tingkat penggilingan Rp 6.099 per kilogram atau naik 7,21 persen.
Harga tersebut jauh diatas HPP dalam Inpres No 5 Tahun 2015, dengan harga GKP Rp 3.700, GKG Rp 4.600 dan beras Rp 7.300 per kilogram.
Pemerintah terus meminta Perum BULOG untuk mengutamakan penyerapan dalam negeri.
Sejumlah kebijakan terkait dengan pembelian gabah ataupun beras dianggap cukup menjaga harga di tingkat petani.
Pembelian gabah beras oleh BULOG, bukan hanya bersandar pada harga pembelian pemerintah (HPP) sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2015.
Ada sejumlah skema pembelian di luar HPP yang bisa dijadikan dasar, yakni kelenturan harga pembelian hingga 20 persen diatas HPP, skema komersial dan pembelian gabah di luar kualitas.
Dengan adanya kelenturan tersebut, BULOG bisa membeli GKP dengan harga Rp 4.440 per kg di tingkat petani dan beras Rp 8.760 per kg di gudang BULOG.
Namun pertanyaannya sekarang?
Bagaimana jika harga gabah beras petani melebihi HPP?
Apakah pemerintah tetap ngotot melakukan penyerapan dengan menggandeng TNI agar memaksa petani menjual ke BULOG?
Apakah petani rela menjual gabah berasnya sesuai standar harga pembelian pemerintah walaupun diluar sana harganya lebih tinggi?
Dilema Pengadaan
Setidaknya itulah dilema pengadaan beras yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini BULOG.
Dirut BULOG Djarot Kusumayakti mengatakan “kalau produksi tersedia dan petani (pasar) mau/ridho menjual ke BULOG pada harga sesuai kualitas yang harus dijaga pemerintah percayalah BULOG pasti dengan ridho akan membelinya. BULOG juga akan sangat butuh beras untuk penugasan yang lainnya. Jangan pernah khawatir BULOG gak akan beli”.
Dari pernyataan tersebut setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita tangkap. Pertama,kalau produksi tersedia; kedua,petani ridho menjual beras ke BULOG sesuai standar pemerintah; dan ketiga, kesiapan BULOG untuk membeli.
Dari ketiga pernyataan tersebut, kita akan kupas satu persatu serta diperkuat dengan berbagai sumber yang kompeten.
Pernyataan pertama adalah kalau produksi tersedia. Artinya disini, jika produksi gabah beras petani melimpah atau benar benar ada, maka BULOG tidak akan kesulitan untuk menyerap.
Produksi yang melimpah lazimnya akan dicerminkan dengan harga. Namun persoalan yang dihadapi sekarang adalah terdapat paradoks ketika data produksi menunjukkan surplus namun harga di pasaran tetap tinggi.
Sungguh sesuatu yang aneh dan tidak lazim. Tak ada seorang ekonom pun yang mampu menjelaskan fenomena ini.
Inilah negeri kita, data produksi selalu dipertanyakan kevalidannya sejak puluhan tahun lalu. Bahkan banyak pihak menyarankan agar dilakukan revaluasi data dan jangan diteruskan metodologinya.
Data produksi padi yang ada sekarang, terlalu subjektif dan selalu menuai polemik yang tidak berkesudahan. Hal paling anyar akibat data yang simpang siur adalah polemik keterlambatan impor beras.
Keakuratan data produksi sangat berperan penting untuk menentukan kebijakan yang akan diambil pemerintah ke depannya.
Persoalan surplus atau tidaknya produksi dapat ditentukan dengan data yang valid. Oleh karena itulah persoalan data terus saja mendapat sorotan.
Sorotan pertama datang dari Wapres Jusuf Kalla yang juga pernah menjadi Kabulog. Ia menilai bahwa data pertanian kementan dengan data di lapangan tak selaras.
Ia bahkan menambahkan bahwa hampir semua data pertanian, kadang-kadang tidak sesuai dengan lapangan.
“Jika berdasarkan angka produksi gabah yang diklaim sebanyak 79 juta ton, maka kita akan surplus 20 juta ton gabah.
Perhitungan sederhananya begini, 79 juta ton gabah jika dikonversi menjadi beras akan didapatkan beras lebih kurang 47 juta ton pada tingkat rendemen 60 persen.
Dengan konsumsi rata-rata nasional 33 juta ton per tahun, maka akan ada kelebihan beras sebanyak 14 juta ton atau setara dengan 20 juta ton gabah.
Logikanya, jika ada surplus gabah sebanyak 20 juta ton atau 14 juta ton beras maka akan terjadi kelebihan stock”.
Selanjutnya sorotan datang dari dunia akademisi. Prof Dwi Andreas Sentosa dari Institut Pertanian Bogor (IPB) turut memberi perhatian serius terhadap data.
Berdasarkan data yang dimiliki pihaknya sejak tahun 2011 hingga 2016, ditemukan adanya selisih yang cukup besar. Selisih ini pun telah dilaporkan ke pemerintah sebagai bahan koreksi.
“Sebenarnya, produksi padi di tanah air dalam kurun waktu 16 tahun terakhir tidak melulu mengalami kenaikan tetapi naik turun saja. kesimpulannya produksi padi pada 2011 dengan produksi padi pada 2017 itu sebenarnya hampir sama”.
Ia juga menyampaikan adanya perbedaan data produksi antara Kementan dengan lembaga FAS-USDA dari Amerika Serikat. Dikatakannya perbedaan tersebut bisa mencapai 27,9 persen pada 2017.
“Bila dilihat dari citra satelit, luas panen menurut Kementan adalah 15,7 juta hektar, sedangkan citra satelit 11,3 juta hektar ada perbedaan yang significant”.
Hal yang sama juga diutarakan oleh pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori. Ia menilai bahwa data produksi yang selama ini ada berasal dari Kementan bukan BPS.
Untuk itu ia mendorong agar kiranya puasa data yang dilakukan BPS selama dua tahun bisa diakhiri dan kalau sudah ada hasilnya harus segera dipublikasikan.
“Semua kajian, termasuk sekarang yang dilakukan BPS dengan melakukan kerangka sample area itu, kesimpulannya sama, laporan produksi padi lebih tinggi dari yang sesungguhnya. Bedanya, hanya angkanya saja berapa persen, kesimpulannya sama, overestimate”.
Ia menambahkan bahwa ketidak akuratan data inilah yang mendasari BPS menggunakan metode baru yang bernama kerangka sampel area untuk meramal luas panen.
Dengan menggunakan metode dan teknologi terkini, data produksi beras lebih akurat.
Ketiga sorotan diatas juga diperkuat dengan pernyataan Kepala BPS, Suharyanto. Ia menilai bahwa ketersediaan pangan yang tercatat dalam data statistik harus sesuai atau mencerminkan kondisi di lapangan.
Hal ini dilakukan agar BULOG tidak selalu jadi sasaran kesalahan lagi. Ia menambahkan, selama ini BULOG kerap menjadi sasaran kesalahan dalam hal produksi beras.
“Orang kan sering bilang produksi beras melimpah tapi kok BULOG tidak bisa menyerap. Padahal pas kami cek di lapangan, memang barangnya tidak ada”.
Oleh sebab itulah, ia melanjutkan bahwa BULOG dan BPS menandatangani kesepahaman tentang data dan informasi statistik pangan di Jakarta.
Dengan adanya nota kesepahaman ini, ia berharap kedua lembaga milik pemerintah ini berharap tidak ada lagi data yang keliru mengenai produksi beras.
Pernyataan kedua adalah petani ridho menjual beras ke BULOG sesuai dengan standar kualitas pemerintah. Artinya disini adalah jual beli terjadi jika ada kesepakatan antara dua pihak.
Ada pihak yang menawarkan dan ada pihak yang membeli. Walaupun produksinya banyak dan harganya rendah kalau petani tidak mau menjual, pemerintah juga tidak bisa memaksa.
Apalagi jika harga gabah beras petani lebih tinggi dibeli pedagang dibandingkan dengan harga yang dibeli pemerintah.
Keadaan itulah yang terjadi sekarang ini. Dimana sering kita dengar kabar pemaksaan dari aparat agar petani jangan menjual ke luar daerah, namun harus menjual ke BULOG setempat.
Pada titik ini, ada pemahaman yang sedikit keliru tentang tataniaga perberasan dan salah mentafsirkan makna pembelian dengan harga pemerintah.
Jika beras dilarang untuk diperdagangkan keluar daerah, maka harga beras di daerah tersebut akan anjlok. Sebaliknya harga beras di daerah tujuan yang defisit akan mengalami kenaikan harga tinggi.
Kedua duanya tentu sangat merugikan, baik petani maupun masyarakat dan dapat menimbulkan persoalan ekonomi yang baru bagi negara seperti terjadinya inflasi.
Permasalahan selanjutnya soal harga pembelian pemerintah. Dalam Inpres No 5/2015 yang mengatur tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP), BULOG diberi tugas untuk melakukan pengadaan gabah dan beras.
Harga beli dan kualitas sudah ditentukan. HPP untuk gabah kering panen sebesar Rp 3.700 per kg sementara harga beras Rp 7.300 per kg dengan kriteria yang telah ditentukan.
Namun ketika harga gabah melebihi HPP dan fleksibilitas 20 persen, maka dalam konteks menjaga stabilitas harga di tingkat petani, pemerintah dalam hal ini BULOG dianggap berhasil.
Mengapa? ya, karena filosofi HPP adalah sebagai pengaman harga agar harga ditingkat petani tidak anjlok dan mengalami kemiskinan.
Ketika harga mereka sudah diatas HPP berarti tidak ada petani yang rugi dan kesejahteraan dipastikan meningkat. Sehingga salah besar jika pemerintah tetap memaksakan petani harus menjual gabah berasnya sesuai HPP.
Selain itu, dalam Inpres juga mensyaratkan kualitas beras yang harus diserap oleh BULOG. Kasus harga jatuh dibawah HPP yang banyak terdengar di pemberitaan, sebenarnya banyak terkait dengan kualitas.
Gabah yang terfermentasi atau busuk serta beras dengan kadar air tinggi dan banyak menir jelas sangat bertentangan dengan syarat yang diberlakukan di Inpres.
Sehingga wajar jika BULOG melakukan seleksi ketat dan menolak menerima jika bertentangan dengan syarat yang telah ditentukan.
BULOG merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan pemerintah untuk menjaga ketersediaan pangan dan melakukan stabilisasi harga di tingkat konsumen.
Dalam tugas menjaga ketahanan pangan, posisi BULOG hanya sebagai operator dan seluruh regulasi ada di kementerian terkait. Dalam melakukan pembelian gabah beras petani, BULOG menggunakan pinjaman Bank bukan dari APBN.
Dimana BULOG harus menanggung bunga lebih dari satu triliun rupiah setahun. Semuanya dilakukan secara transparan karena akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pernyataan ketiga adalah kesiapan BULOG untuk membeli. Semenjak BULOG didirikan, tugas utamanya adalah menyerap gabah dan beras petani.
Artinya, sudah setengah abad atau 50 tahun tugas tersebut sudah diemban oleh pegawainya. Artinya pula, tidak ada lembaga lain di negeri ini yang lebih berkompeten untuk urusan penyerapan gabah beras petani.
Disini juga tersirat bahwa pegawai BULOG tidak perlu diajari lagi bagaimana cara melakukannya. Dalam situasi seperti itu, tim satuan tugas dari BULOG dipastikan langsung menjemput bola ke lapangan dengan mendatangi persawahan petani dan gudang penggilingan.
Jikalau kondisinya normal dalam hal ini produksi memang tersedia, maka pegawai BULOG tidak akan mengalami kesulitan. Bukti otentik dan sejarah menunjukkan bahwa BULOG pernah melakukan pengadaan sebanyak 4 juta ton beras.
Dimana pada saat itu, harga beras diluar negeri lebih mahal ketimbang dalam negeri serta dibarengi dengan krisis ekonomi global yang melanda dunia.
Selain itu, kesiapan Perum BULOG membeli gabah beras petani bisa terlihat dari dukungan gudang penampungan. Sampai saat ini BULOG satu satunya lembaga yang memiliki gudang diseluruh Indonesia dengan kapasitas hampir 4 juta ton dan tersebar di seluruh Provinsi di Indonesia.
Berdasarkan uraian panjang diatas, ternyata tugas penyerapan gabah beras petani begitu berat dan memang harus dilakukan oleh ahlinya.
Bisa dipastikan lembaga lain tidak akan sanggup melakukannya. Tinggi rendahnya serapan gabah beras petani sangat dipengaruhi oleh banyak faktor di lapangan.
Sehingga, tidak tepat jika banyak pihak selama ini mengatakan bahwa pegawai BULOG pasif dan malas untuk menyerap gabah beras petani di lapangan pada praktiknya.
Namun sebagai operator, BULOG dipastikan selalu siap untuk menjaga ketersediaan pangan dengan melakukan pembelian gabah beras petani sesuai dengan penugasan pemerintah.
Julkhaidar Romadhon, Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya.