Koran Tempo pada hari Rabu 14 Juni 2017, pada berita utamanya menurunkan artikel berjudul “Ada Pemaksaan dalam Penyerapan Gabah Petani oleh TNI”. Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menyebutkan, berdasarkan kajian pihaknya periode Mei-November 2016 menemukan bahwa BULOG menerima gabah petani berkualitas buruk karena ada tekanan dalam bentuk pemaksaan dari pihak TNI agar membeli gabah beras petani.
Ombudsman juga menilai, program upaya khusus dan operasi serap gabah petani belum memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah penyerapan beras oleh BULOG. Operasi khusus TNI meliputi penyuluhan pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian, pencetakan sawah dan distribusi alat mesin pertanian.
Adapun mengenai operasi serap gabah petani, TNI terlibat dalam penyerapannya untuk dijual ke BULOG. Dalam upaya khusus, Ombudsman mendapati masih banyak sawah yang kualitasnya buruk, tidak memiliki sistem pengairan yang baik, akibatnya sawah tidak bisa panen optimal. Sedangkan dalam operasi serap gabah, Ombudsman menemukan ada pemaksaan kepada petani.
Yang menjadi pertanyaan besarnya sekarang adalah ; Mengapa pemaksaan seperti itu bisa terjadi…?
LATAR BELAKANG DAN TANTANGAN
Target Presiden Jokowi untuk berswasembada pangan dalam waktu tiga tahun terhitung semenjak keterpilihannya, masih menyisakan sekelumit polemik. Swasembada pangan khususnya beras menjadi target utama di dalam sektor pertanian.
Target terus dikejar namun tantangan juga terus berdatangan. Pihak TNI dan Kementerian Pertanian yang melakukan MOU (Nota Kesepahaman) untuk mewujudkan swasembada pangan, mendapat sorotan baik berupa kritik maupun saran dari berbagai pihak, agar melakukan evaluasi terhadap capaian tiga tahun terakhir.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono mengatakan kerjasama antara TNI dan Kementerian sudah sesuai dengan undang-undang TNI. TNI membantu mewujudkan target Presiden untuk swasembada pangan dalam waktu tiga tahun.
Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan MOU (Nota Kesepahaman) dengan TNI, turun ke lapangan untuk mengoptimalkan lahan tanam yang sudah ada, membantu mencetak sawah baru, membuat program luas tambah tanam. Kementan mendukung kebutuhan dan alat mesin. TNI melibatkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari komando distrik militer (Kodim) untuk menjadi petugas penyuluhan setelah terlebih dahulu mengikuti pelatihan.
Tahun 2017 Indonesia dihadapkan pada kondisi “la nina” yaitu lembab, hujan serta banjir di sejumlah tempat. Presiden Jokowi meminta para menteri serta kepala lembaga terkait untuk segera mengambil tindakan, supaya petani padi tidak mengalami kerugian. Hal tersebut dilatarbelakangi akibat cuaca yang tidak bersahabat, dimana curah hujan tinggi, banjir yang melanda beberapa daerah sentra produksi padi.
Keadaan seperti inilah yang menyebabkan hasil panen padi menjadi tidak baik. Petani menjadi kesulitan untuk mengeringkan gabah mereka karena matahari tidak kunjung muncul. Kadar air gabah tinggi serta butir hampa maupun butir hijau tinggi dapat mengakibatkan harga anjlok. Harga tersebut dihargai dengan Rp 2.800/kg, jauh dibawah harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 3.700/kg.
Oleh karena itulah, Pemerintah yang dalam hal ini Kementan mengeluarkan sebuah terobosan kontroversial” yaitu kebijakan penyerapan “Gabah Diluar Kualitas” atau yang lebih dikenal dengan singkatan “GDLK”.
Pandangan mengenai penyerapan gabah diluar kualitas datang dari pengamat kebijakan pertanian Husein Sawit (23 maret kompas, 2017). Dia mengatakan bahwa baik buruknya kualitas gabah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu kadar air dan kemurnian gabah. Kedua hal itu sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas beras, kalkulasi keuntungan dan atau kerugian pelaku usaha.
Petani kesulitan mencari pembeli gabah jika GKP berkadar air diatas 28 persen, apalagi kalau sudah terfermentasi atau terlalu lama “bersentuhan” dengan air, gabah berjamur, butir hampa diatas 10 persen atau gabah sudah rusak. Pembelinya pasti angkat tangan kalau mau membeli pasti ditawar dengan harga rendah.
Menurut Husein Sawit juga, dalam situasi tersebut, sangatlah tidak tepat untuk membandingkan gabah rusak dengan gabah yang sudah mempunyai standar sesuai HPP (Ka maks 25 persen dan Kadar hampa kurang dari 10 persen).
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/Permentan/PP.200/3/2017 tanggal 3 Maret 2017 tentang pedoman harga pembelian gabah dan beras di luar kualitas.
Nah pada titik itulah, kesalahpahaman bisa terjadi. Salah penafsiran hingga pemahaman yang kurang untuk membedakan antara gabah rusak dengan gabah diluar kualitas menjadi sumber pemicunya. Dikarenakan adanya pentargetan oleh pimpinan TNI kepada unit-unit terkecil satuannya di daerah, mau tidak mau perintah seperti ini wajib dilaksanakan.
Masing-masing unit terkecil satuan seperti, Korem, Kodim, Koramil mendapat target serapan per bulan untuk menyerap gabah petani diluar kualitas dari Mabes TNI. Keberhasilan target tersebut tentu ditunjukkan oleh hitam diatas putih yaitu data. Mereka berlomba-lomba untuk meminta data dari BULOG tentang serapan gabah yang sudah dilakukan di wilayah masing-masing.
Mereka beralasan, ini akan menjadi evaluasi kinerja mereka yang menyangkut karier dan promosi jabatan. Bagi pihak TNI, tongkat komando merupakan sebuah kehormatan manifestasi karier mereka. Apalah arti pangkat yang tinggi jika mereka non job alias tidak ada jabatan komando.
Filosofi inilah yang akhirnya memunculkan fenomena kontroversial dilapangan oleh pihak TNI. Intimidasi seperti pemaksaan agar BULOG mau menyerap gabah beras petani berkualitas buruk seperti yang dikatakan Ombudsman dapat saja terjadi.
Semua ini tidak lain dan tidak bukan akibat dilakukan pentargetan. Jika ini dianggap sebagai sebuah prestasi atau perlombaan, sangat kasihan bagi daerah yang mengalami kegagalan panen (fuso) atau memang bukan daerah pertanian padi. Sudah jelas sangat beda dan tidak akan sama hasilnya antara daerah surplus dan daerah defisit.
Pihak TNI yang tergabung dalam tim sergap banyak yang mengakui bahwa mereka baru belajar tentang pertanian semenjak adanya program Upaya Khusus Padi, Jagung, Kedele (Upsus Pajale) dua tahun terakhir ini.
Mereka selama ini banyak berkutat pada masalah strategi pertahanan, keamanan hingga situasi peperangan. Jika melihat latar belakang ini, jadi wajar rasanya banyak kesalahan pemahaman, ketidaktahuan, informasi yang sumir yang mereka dapatkan.
MENGGUGAH NURANI PETANI
Keterlibatan TNI dalam menggapai swasembada pangan sebenarnya sebuah langkah terobosan yang sangat baik. Pemberdayaan anggota TNI yang dalam hal ini Babinsa benar-benar sangat membantu petani. Bantuan serta dukungan yang mereka berikan sangat-sangat diperlukan pemerintah untuk membantu mencapai swasembada pangan.
Dari semua usaha dan kerja keras dari pihak TNI sebenarnya sudah sangat bagus, cuma sedikit kekurangannya adalah pada pentargetan jumlah serapan. Perintah atasan dalam dunia militer merupakan perintah komando yang harus dilaksanakan.
Namun, jika perintah pentargetan tersebut disasarkan kepada komoditas beras dirasa agak kurang tepat. Kenapa seperti itu… ? ya.. ini disebabkan karena beras merupakan komoditas strategis, ekonomi dan politis sehingga rentan disalahgunakan jika banyak pihak atau lembaga yang mengurusinya.
Sifat perdagangan beras yang dapat bergerak ke daerah mana saja tidak bisa dibatasi, baik oleh pemerintah daerah maupun pihak TNI. Pergerakan beras antar wilayah akan berhenti, jika tidak adalagi margin atau perbedaan harga yang memberikan keuntungan.
Oleh karena itulah dalam era otonomi daerah, BULOG lembaga yang mengurusi masalah beras, berdasarkan kajian berbagai pihak yang berkompeten, transformasi dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum BUMN (instansi vertikal) merupakan bentuk yang paling ideal. Andaikan BULOG menjadi instansi horizontal (dibawah gubernur) maka sangat rentan terjadi penyalahgunaan.
Mobilisasi stock dari daerah defisit ke daerah surplus pasti akan terkendala, baik masalah teknis ataupun non teknis. Terlalu banyak perintah dan aturan yang harus dipatuhi serta ditaati, sehingga sudah dapat dipastikan tingkat kerawanan pangan akan menjadi lebih tinggi. Apalagi jika Gubernur melarang untuk memberikan bantuan ke Provinsi tetangga dengan alasan stok provinsi mereka kurang, apalagi adanya sentimen kedaerahan yang menyangkut urusan pribadi.
Pemaksaan yang dilakukan oleh TNI kepada BULOG jika memang benar terjadi sangatlah disayangkan. Mengapa.. ? ya, karena BULOG merupakan lembaga pemerintah juga, sehingga kerugian BULOG juga ditanggung oleh pemerintah juga. Sebenarnya banyak cara bijak dan cantik yang dapat ditempuh oleh pihak TNI. Strategi tepat serta elegan tersebut adalah dengan menggugah hati nurani petani.
Pihak TNI bisa memberikan pengertian-pengertian kepada para petani, agar rasa nasionalismenya tumbuh dan akhirnya mereka tergugah serta mau menjual gabah dan berasnya kepada pemerintah yang dalam hal ini BULOG.
TNI juga harus menyadarkan serta mengingatkan kepada petani bahwa betapa banyak bantuan pemerintah yang telah diberikan untuk meningkatkan produksi padi mereka. Sehingga wajar dan sudah seharusnya petani menjual atau menyisihkan hasil panennya kepada pemerintah. Dengan demikian, target swasembada pangan Presiden Jokowi dapat tercapai tanpa ada satu pihakpun yang dirugikan.
Artikel by Julkhaidar Romadhon