Badan Urusan Logistik (Bulog) kini telah bertransformasi dari entitas yang merupakan representasi negara menjadi representasi pelaku pasar.
Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, Bulog sepenuhnya merupakan representasi negara. Kekuasaan negara masuk ke pasar pangan via lembaga ini.
Tekanan deregulasi dan keterbukaan pasar menyebabkan kuasa pasar Bulog mulai dikurangi oleh negara menjelang akhir Orde Baru.
Bulog hanya ditugasi mengurus beras dan gula pasir sejak 1997 dan selanjutnya hanya ditugasi mengurus beras sejak 1998.
Pada era reformasi, gelombang liberalisasi menyebabkan Bulog bertransformasi lebih lanjut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003, Bulog berubah dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi badan usaha milik negara (Perum Bulog).
Bulog telah berubah menjadi pemain pasar. Bedanya dengan swasta, Bulog masih mendapat keistimewaan dari negara, yakni menjadi satu-satunya pelaku pasar beras yang diberikan bisnis dengan kewajiban pelayanan publik (PSO).
Menyediakan beras subsidi untuk rumah tangga miskin (raskin), menyediakan beras untuk operasi pasar, dan menjamin harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap petani gabah dan beras, juga menyediakan cadangan beras pemerintah untuk kepentingan darurat dan bencana alam.
Bisnis PSO ini tentu saja minim risiko karena dijamin oleh negara. Dalam pengadaan gabah dan beras untuk menjamin kebijakan HPP untuk gabah dan beras, Bulog ditugasi membeli gabah petani.
Dari tugas ini, Bulog mendapat keuntungan yang relatif pasti karena ditopang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Begitu juga ketika menyalurkan beras ke masyarakat. Negara telah menyediakan outlet-outlet pasar beras Bulog, seperti beras untuk pegawai negeri Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian RI pada era Orde Baru, juga beras untuk rumah tangga miskin atau beras sejahtera pada era reformasi.
Contohnya, pada 2017, penerima beras sejahtera sebanyak 14,3 juta rumah tangga dan setiap rumah tangga mendapat 15 kilogram beras subsidi.
Artinya, negara sudah menyediakan pasar yang akan menyerap sekitar 3 juta ton beras Bulog melalui program ini. Bulog tidak perlu banting tulang mencari pasar, membuka pasar baru, dan berinovasi untuk ekspansi pasar.
Pemerintah sebagai pemilik saham terbesar Bulog seharusnya sadar bahwa transformasi Bulog ini juga membutuhkan perubahan karakter pengelolanya.
Dari sisi kepemimpinan, Bulog tampak tidak terlihat bertransformasi. Badan ini sampai hari ini dikelola oleh figur-figur berkaliber birokrat, bukan figur pengusaha yang bisa menjadikannya berperan sebagai pelaku pasar (BUMN).
Hari ini manajemen Bulog gamang karena outlet pasarnya akan hilang dengan kebijakan baru yang dicanangkan pemerintah ihwal subsidi beras.
Kebijakan beras sejahtera diganti dengan bantuan pangan non-tunai (BPNT), yang menggantikan penyaluran beras langsung menjadi uang dalam kartu.
Dengan uang itu, rakyat yang mendapat subsidi dibebaskan membeli kebutuhan pokoknya.
Manajemen Bulog kebingungan mencari solusi penyaluran beras Bulog. Saat ini, sekitar 2,6 juta ton beras hasil serapan dari petani dan impor di gudang-gudang Bulog terancam busuk.
Dalam jangka pendek, masalah ini harus diselesaikan negara, misalnya dengan menunda kebijakan BPNT.
Tapi, dalam jangka menengah panjang, pemerintah sebagai pemilik Bulog harus menempatkan sosok yang bisa menjalankan fungsi bisnis Bulog non-PSO secara maksimal.
Ada sejumlah potensi bisnis non-PSO Bulog yang belum dikembangkan secara optimal, seperti (1) industri berbasis beras, atau industri yang terintegrasi dengan proses manufaktur perberasan; (2) industri yang menghasilkan produk-produk pendukung di luar proses manufaktur perberasan (karung, kemasan, dan lain-lain);
(3) industri pangan yang menghasilkan produk turunan dari beras atau industri pangan primer dan sekunder lainnya (gula, berbasis jagung, dan lain-lain); dan (4) jasa pemberdayaan/penyewaan aset, seperti gudang, kantor, dan tanah kosong.
Artikel by Andi Irawan
Lektor Kepala pada Program Pascasarjana Agribisnis Universitas Bengkulu