Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia (PERHEPI) Lely Pelitasari Soebekty mempertanyakan kewenangan untuk memutuskan kebijakan impor pangan usai Badan Pangan Nasional (BPN) dibentuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Mekanisme impor ini nanti dari siapa? Ketika ada pendelegasian penetapan ekspor dan impor diberikan ke BPN, maka nanti akan seperti apa pada bisnis prosesnya?” ungkap Lely dalam diskusi virtual INDEF, Senin (30/8).
Menurut Lely, bila merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang BPN, seharusnya badan ini punya kewenangan soal kebijakan impor.
Sebab, dalam beleid itu dikatakan bahwa salah satu tugas BPN adalah mengkoordinasikan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan terkait ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan.
Sementara kebijakan impor memiliki dampak pada persoalan ketersediaan pangan dan stabilisasinya stok serta harganya. Di sisi lain, dari segi struktural, menurut Lely, seharusnya Kepala BPN nantinya memiliki jabatan yang setingkat dengan menteri.
“Karena dulu BPN dirancang setingkat menteri, bahkan menko, tapi sekarang belum diatur, ini harus diselesaikan agar terjawab,” ucapnya.
Selain itu, menurutnya, pemerintah perlu memperjelas peran BPN dan Bulog karena belum terlalu jelas di perpres tersebut. Sementara bila dilihat dari struktur aturan, ia mengatakan Bulog saat ini justru memiliki tingkat yang lebih tinggi dari BPN.
Pasalnya, Bulog didirikan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perum Bulog. Sedangkan BPN dibentuk berdasarkan Perpres 66/2021.
“Kalau dihadapkan perundang-undangan, lebih tinggi PP. Betul tugasnya dialihkan dari Kementerian BUMN ke BPN lalu ke Bulog, tapi ini harus dijelaskan, jangan tumpang tindih,” jelasnya.
Di sisi lain, ia turut meminta pemerintah memberi kewenangan kepada Bulog nanti bila sudah ada berada di bawah koordinasi BPN agar memiliki kewenangan tata kelola beras yang lebih besar.
Tujuannya, agar keluar masuk beras tidak hanya ditentukan oleh penugasan dari pemerintah, namun juga manajemen dan pengawasan langsung dari Bulog.
“Diharapkan Bulog jadi punya fleksibilitas untuk beli dan jual, kalau sekarang kan mesti ada penugasan dari pemerintah dulu, kalau tidak, tidak boleh keluar berasnya, dan menjadi turun mutu,” ujarnya.
Atur Komoditas Ikan
Sementara itu, Ekonom sekaligus Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengusulkan agar ikan masuk dalam komoditas pangan yang stabilitas pasokan dan harganya berada di bawah kewenangan BPN.
Sebab, menurutnya, ikan merupakan komoditas berprotein tinggi, seperti salah satu tugas BPN yaitu mengurangi kerawanan gizi masyarakat.
“Saya melihat persoalan pangan kita tidak hanya pada protein hewani seperti itu dan karbohidrat, tapi juga protein perikanan, ini protein terbaik untuk gizi masyarakat bahkan,” ucap Arif.
Padahal, sambung Arif, pemerintah sebelumnya mendorong masyarakat untuk lebih banyak mengonsumsi ikan karena merupakan sumber protein tinggi.
Di sisi lain, menurutnya, ikan perlu masuk ke bawah kewenangan BPN karena masalah di sektor perikanan saat ini masih cukup rumit dan butuh peran dari lembaga kuat untuk segera membenahinya. Salah satunya terkait kelogistikan.
“Problem perikanan pada logistik yang dampaknya ke harga dan kualitas. Untuk perikanan ada isu ketahanan pangan yang serius sekali juga. Jadi perikanan ini harus disentuh, kenapa ikan kok tidak dimasukkan ke BPN?” katanya.
Selain ikan, Arif juga mengusulkan agar komoditas garam juga masuk ke ranah BPN, baik garam konsumsi maupun rafinasi. Garam dianggapnya juga punya peran penting dan porsi besar dalam tingkat konsumsi masyarakat dan industri.
Apalagi, komoditas ini juga memiliki masalah tata kelola. Begitu juga dari sisi sengkarut data produksi dan stok.
“Ini di lintas kementerian selalu punya data yang berbeda, dan kehadiran BPN harusnya bisa jadi jalan tengah,” imbuhnya.
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210830174030-532-687450/ekonom-pertanyakan-wewenang-impor-pangan-jika-ada-bpn